Ceknricek.com — Secara garis besar, ada tiga layanan upaya berhenti merokok. Pertama, melalui layanan berhenti merokok di tingkat primer, seperti puskesmas atau klinik-klinik. Kedua di tingkat sekunder, yaitu di rumah sakit. Ketiga, layanan Quit Line melalui telepon.
Di tingkat primer, pendekatan untuk berhenti merokok yang sudah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan melalui puskesmas di 33 provinsi ialah konseling dan peningkatan motivasi atau motivation support.
“Pendekatan konseling ini ada beberapa macam, yaitu melalui pendekatan 5A (Ask, Advice, Assess, Assist, Arrange), pendekatan ABC (Ask, Brief Advice, Cessation Support), atau di Indonesia menggunakan pendekatan 4T (Tanyakan, Telaah, Tolong dan Nasihati, serta Tindak Lanjut),” kata Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K) dikutip dari guesehat.com, Jumat (31/5).
Namun, perlu diingat, jika ingin benar-benar berhenti merokok, modal awal yang harus dimiliki ialah motivasi. “Data dari RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki motivasi rendah dalam berhenti merokok, tingkat keberhasilannya hanya sekitar 30 persen. Namun jika motivasinya tinggi, tingkat keberhasilannya sekitar 70 persen,” ucapnya.
Program berhenti merokok di tingkat primer atau puskesmas dijalani selama 3 bulan dengan kontrol rutin setiap 2 minggu. “Kalau dalam 3 bulan tidak berhasil, biasanya dirujuk ke layanan sekunder atau rumah sakit untuk mendapatkan terapi berhenti merokok yang lebih lengkap,” tambah dr. Agus.
Jika muncul kendala yang cukup berat saat berhenti merokok, seperti gejala putus nikotin (withdrawal) yang cukup berat ditandai dengan stres, mudah marah, hingga depresi, orang tersebut harus dirujuk ke layanan sekunder untuk mengatasi withdrawal.
“Pada prinsipnya, orang yang mau berhenti merokok kendalanya ada 5 hal, yaitu motivasi, adiksi atau ketagihan, withdrawal atau putus nikotin, perilaku atau kebiasaan, dan faktor lingkungan. Jadi, layanan tingkat sekunder membantu mengendalikan kelima aspek tersebut,” ungkapnya.
Untuk layanan berhenti merokok sekunder di rumah sakit, awalnya adalah konseling. Dilakukan assessment terlebih dulu, dilihat dari adiksinya atau motivasinya. Setelah itu, menggunakan modalitas tambahan, seperti obat-obatan atau farmakoterapi. Namun, kalau cara konseling dan pemberian obat dirasa kurang, biasanya ada terapi pendukung, seperti hipnoterapi, psikoterapi atau terapi psikiatrik bersama dengan dokter khusus kejiwaan, terapi perilaku, terapi akupuntur, acupressure, serta rehabilitasi medik. Selain itu, bisa juga disertai dengan konsultasi gizi.
“Misalnya, berat badan seseorang setelah withdrawal naik secara berlebihan, maka konsultasi gizi diperlukan untuk mengendalikan berat badan. Namun, tidak semua orang diberikan semua modalitas pendukung itu. Harus dilihat aspek atau masalahnya ada di mana,” tuturnya.
Sama seperti di tingkat primer, program berhenti merokok sekunder di rumah sakit juga dijalankan selama 3 bulan dan kontrol setiap 2 minggu. “Kalau di rumah sakit, modalitas untuk layanan berhenti merokok memang lebih lengkap karena tidak sekadar konseling, melainkan ada terapi obat dan terapi pendukung lainnya,” ujarnya.
Selain melalui layanan tingkat primer dan sekunder, Kementerian Kesehatan juga sudah menyediakan layanan upaya berhenti merokok Quit Line melalui telepon 0800-177-6565. ”Pendekatan layanan ini sama seperti di tingkat primer, yaitu konseling melalui telepon dan aksesnya gratis ke seluruh masyarakat di Indonesia,” tutup dr. Agus.