Ceknricek–Belum. Bahkan masih jauh panggang dari api. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2022 Indonesia terus mengalami tantangan serius. Mengutip dari Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, CPI Indonesia tahun 2022 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 60 poin dari tahun 2021 atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995.
Bandingkan dengan Selandia Baru, Singapura dan negara-negara Skandinavia yang selalu nangkring di peringkat teratas dengan skor di atas 85%. Kenapa ya korupsi tidak mau pergi dari negeri ini meski KPK sedemikian galak dan para tersangka sudah dipermalukan? Samuel Huntington dalam bukunya Culture Matters menghubungkan korupsi dengan budaya satu negara. Menurutnya semakin komunal semakin tinggi tingkat korupsinya. Banyak yang tidak sependapat tapi saya salah seorang yang sepakat dengan pemikirannya.
Terlepas dari faktor budaya, melihat modus korupsi di tanah air selama ini, penyebabnya mengerucut ke dua saja ; kebutuhan dan kerakusan . Banyak pejabat dan penyelenggara negara yang “terpaksa” korupsi karena kebutuhan. Biaya hidup yang jauh lebih besar dari pendapatan, keinginan mensejahterakan dan menjamin masa depan keluarga sementara penghasilan pas-pasan berpotensi mendorong pemilik kuasa mencari penghasilan lebih dengan cara yang tidak halal.
Banyak yang harus maling uang rakyat karena tekanan mengembalikan biaya politik yang sangat tinggi. Sudah bukan rahasia praktek wani piro yang ada di masyarakat telah menyebabkan politik di Indonesia berbiaya tinggi, sangat tinggi bahkan.
Faktor kedua adalah kerakusan. Belakangan ini pelaku korupsi adalah mereka yang sudah mapan incomenya, bahkan berlebih. Rakyat bertanya sudah kaya kok masih nyolong ?? Mereka ini tak lain dan tak bukan manusia rakus. Tidak pernah puas dengan apa yang dipunyai, selalu ingin lebih karena nafsu kemewahan dan duniawi. Mau itu perlu atau rakus, keduanya sama jahatnya karena mereka mencuri. Perilaku jahat mereka memperlambat bahkan menggagalkan program-program pembangunan pemerintah serta menurunkan tingkat kepercayaan investor.
Ketika seseorang dinilai berdasarkan capaian materinya, bukan isi kepala, capaian akademik dan prestasinya, kebutuhan hedonisme akan lahir dan menjadi-jadi. Menjadi persoalan ketika sumbernya berasal dari penyalahgunaan kekuasaan.