Ceknricek.com – MENCUATNYA kasus Dr. dr. Terawan Agus Putranto (TAP), penerap terapi "cuci otak" untuk menangani stroke — metode ini kemudian dinilai kurang punya "rujukan ilmiah" — memaksa Rektor Univesitas Hasanuddin Prof DR Dwie Aries Palubuhu angkat bicara.
Bernada membela, Prof Dwie Aries mengatakan : "Dari sisi sains temuan DR TAP itu memenuhi syarat akademik dan telah diuji berkali kali hingga dipresentasikan pada promosi doktor. Ini membuktikan bahwa proses dalam mengkaji ilmu tersebut sudah benar".
Ditemui wartawan ceknricek.com Iwan Perwira, pada acara Temu IImiah Internasional Kedokteran Gigi Seluruh Indonesia, yang di gelar di Makassar, Kamis (5/4), rektor perempuan pertama UNHAS ini menambahkan, hasil temuan DR TAP itu adalah sebuah inovasi di bidang kedokteran, khususnya penanganan stroke.
Ia mengatakan, sempat ikut hadir pada promosi Doktor TAP tahun 2016 lalu. Malah, isteri Nasir Kalla, adik Wapres Jusuf Kalla, itu pun ikut memberi apresiasi atas temuan Kepala RSPAD Gatot Subroto, Jakarta tersebut. "Proses kajiannya telah melalui berbagai proses akademik yang baik dan terukur," ujarnya.
Metode terapi penanganan stroke yang diterapkan DR TAP dengan cara wash flushing (siram otak) atau nama lain brain wash (cuci otak) melalui proses DSA(Digital Substraction Angiogram) memang dikritik tajam, dinilai salah kaprah dan tidak didukung rujukan ilmiah yang cukup.
"DSA itu buat diagnosa. Bukan buat terapi pengobatan, apalagi terapi preventif," tegas Prof DR Hasan Machfoed, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi), salah seorang pengeritik terapi DR TAP. Bersama banyak sejawatnya, Prof Hasan resah menunggu penjelasan ilmiah DR TAP berkaitan dengan terapi "cuci otak" tersebut selama lebih 10 tahun. Mereka mengkhawatirkan keamanan terapi itu bagi pasien.
Namun, DR TAP, katanya, terus menghindar pertemuan ilmiah yang diinginkan sejawatnya dari kalangan kedokteran. Gara-gara sikapnya itu, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, mengundang dia untuk mendapatkan klarifikasi. "Tapi, sekitar enam kali dipanggil, DR TAP tetap tidak mau datang," ujar seorang profesor.
Walhasil, pada 12 Februari lalu, MKEK mengeluarkan putusan. DR TAP dinilai melakukan pelanggaran etik berat dan serius. Makanya direkomendasikan untuk diberhentikan sementara sebagai anggota IDI.
Keputusan itu memicu penolakan. Dari sejumlah tokoh yang pernah memanfaatkan terapi pengobatan "cuci otak" DR TAP. Silang pendapat pun ramai. Para tokoh mewacanakan "testimoni kebenaran" versi mereka. Sementara kalangan kedokteran menuntut penjelasan ilmiah DR TAP.
Pelaksanaannya bisa dilakukan tertutup dan terbatas. Kalau keberatan di forum eksternal, diusulkan— dan usul itu didukung Prof Hasan Machfoed — UNHAS saja yang mengadakan semacam eksaminasi ilmiah tertutup. Usul tersebut rupanya cukup direspon Rektor UNHAS. Meski pun, rektor menggunakan diksi kajian ilmiah.
Wanita kelahiran Lampung 53 tahun lalu itu, mengatakan polemik yang terjadi pada kasus DR TAP sebaiknya tidak dibawa ke ranah umum. Karena masyarakat bisa jadi bingung.
"Kalau ingin membantah satu temuan ilmiah silakan dibantah dengan cara menulis kajian ilmiah untuk menjelaskan kekurangan temuan sebelumnya. Atau membawanya ke forum ilmiah, karena di situlah semestinya perihal ilmiah dibahas", sambung mantan wakil rektor IV UNHAS itu.
Apakah perlu dilakukan eksaminasi terhadap pengukuhan doktor DR TA? Mantan wakil ketua bidang kordinasi hubungan luar negeri dan hankam ICMI priode 2011-2016, mengatakan tidak perlu.
"Kekurangan yang di pandang ada pada sebuah temuan ilmiah sebaiknya di jawab dengan melakukan kajian dan temuan lagi, agar dapat melengkapi temuan sebelumnya," tutur Doktor Sosiologi lulusan UNHAS tahun 2005.
Begitulah, dalam ihwal metode terapi DR TAP, kaidah ilmu diharapkan bisa menjadi pelengkap bagi temuan sesudahnya dan menjadi inovasi bagi temuan sebelumnya.