Ceknricek.com – Apa kabar aplikasi Callind buatan Novi Wahyuningsih? “Sekarang makin banyak pengguna aktif Callind,” jawab Novi kepada ceknricek.com, Kamis (3/5/2018). Saat diintip di Play Store pada 3 Mei 2018 sore hari, tercatat 500 ribu orang yang mengunduh aplikasi ciptaan wanita Jawa Tengah, berusia 26 tahun ini.
Callind yang merupakan singkatan dari Calling Indonesia merupakan aplikasi yang mirip dengan WhatsApp yang memungkinkan pengguna melakukan banyak hal. Untuk fasilitas chat, pengguna bisa melakukan group chat, voice chat, private chat, private chat komunitas. Pengguna juga bisa mencari dan melihat pengguna Callind dalam radius 100 km atau di suatu kota. Pengguna juga bisa melakukan panggilan sesama anggota Callind dan panggilan ke nomor telepon/handphone. Untuk kirim gambar, emoji, foto, video, stiker, file, lokasi juga bisa. Pengguna pun bisa jual beli produk dengan fasilitas chat, dan iklan pay per klik.
Pada umumnya, para komentator di Play Store, pengguna Callind menyatakan bangga dengan produk buatan dalam negeri ini. Maka, pantas ratingnya cukup bagus, yakni 4,3 berdasar hasil penilaian 18.715 pengguna per tanggal 3 Mei 2018.
Tapi tentu banyak yang harus diperbaiki. Seorang pengguna, Irman Sopandi berkomentar: ”Agar Callind terus diperbaiki. Semoga ke depannya aplikasi ini bisa menjadi aplikasi chat terbaik di negeri ini dan mengalahkan pesaingnya dan bisa go internasional,” tulisnya tertanggal 3 Mei 2018. Sementara Dicky Mdo menyarankan perbaikan soal pengiriman gambar. “Mohon diperbaiki lagi setiap buat kalimat ditambah gambar emoji, emojinya langsung terkirim,” katanya per 3 Mei 2018 juga.
(Baca : Mengapa Novi Tolak Rp200 Miliar untuk Lepas Callind)
Novi sendiri mengakui memang ada beberapa yang harus diperbaiki. Tantangan untuk menjalankan aplikasi ini tidak mudah karena membutuhkan server dan bandwidth yang besar. Server merupakan sebuah sistem komputer yang menyediakan jenis layanan tertentu dalam sebuah jaringan komputer. Sedangkan Bandwidth merupakan perhitungan konsumsi transfer data telekomunikasi yang dihitung dalam satuan bit per detik atau yang biasa disingkat bps yang terjadi antara komputer server dan komputer klien dalam waktu tertentu pada sebuah jaringan komputer.
Mudahnya, jika semakin banyak pengguna Callind, maka server yang dimiliki juga harus besar. Jika tidak cukup memadai, ketika banyak orang mendadak mengunduh aplikasi Callind, maka server bisa bermasalah. Hal ini pernah terjadi 27 April lalu, tak lama setelah Novi melakukan soft launching bertepatan dengan hari Kartini, 21 April 2018 di sebuah hotel di Jakarta. “Kejadian itu memang di luar dugaan. Masalah pada kami memang ada pada server. Kami membutuhkan dana yang lumayan banyak untuk memperbesar server,” katanya.
Saat itu, banyak yang kesulitan mendapatkan OTP (on time password) karena gangguan server. “Masalnya memang ada pada server yang terbatas. Kita akan upgrade server agar pengguna makin leluasa,” katanya. Ia bercita-cita ingin memiliki server yang bisa menampung 100 juta pengguna. “Makanya kami akan menawarkan saham perusahaan kepada masyarakat sampai 10 persen. Tapi itu semua harus sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kami akan konsultasi ke OJK,” katanya. Dananya akan digunakan antara lain untuk memperbesar server tersebut. Novi berharap adanya dukungan masyarakat yang besar agar Callind bisa maju.
Dr Ayi Purbasari, pakar informatika, dosen Universitas Pasundan, Bandung menyatakan keberanian untuk meluncurkan aplikasi Callind perlu dihargai. “Mungkin akan sulit untuk menyaingi WhatsApp yang sudah mapan di dunia. Biasanya pengguna tidak begitu saja berpindah dari aplikasi yang sudah mapan,” katanya.
Tapi ia terus mendukung Callind agar bisa tetap eksis. “Callind bisa menjadi alternatif dari aplikasi yang sudah ada. Karena konsumen memang tidak bisa dipaksa,” ujar Doktor lulusan Institut Teknologi Bandung tersebut. Ketika wawancara berlangsung, Ayi sendiri belum mengunduh Callind, tapi ia tertarik untuk mengunduhnya.
Callind akan berkembang kalau ada dukungan dari semua pihak khususnya pemerintah. “Misalnya instansi pemerintah wajib menggunakan Callind. Itu sangat tergantung keseriusan pemerintah dalam hal ini untuk mendukung start up buatan orang Indonesia,” katanya.
Kalau berjuang sendiri di pasar, menurut Ayi, Callind cukup sulit bertarung di pasar karena yang ditantang adalah pemain dunia dengan modal besar dan teknologi tinggi. “Orang Indonesia sendiri biasanya tidak melihat produk dalam negeri sebagai pilihan utama. Jika ada produk yang lebih baik, tak peduli buatan mana, mereka akan memilihnya.” Karena itu, menurut dia, Callind tidak bisa dibiarkan berjuang sendirian.