Ceknricek.com — Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un — sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali. (Al-Baqarah 2:156).
Ibu Ani Yudhoyono telah kembali kepada Penciptanya, Allah SWT, Sabtu (1/6/2019) pukul 11.50 di National University Hospital (NUH) Singapura. Kabar duka cita itu menyebar cepat. Indonesia berduka. Hingar bingar politik berhenti. Perhatian stasiun televisi dan media tertuju pada Ibu Ani.
Sumber: Istimewa
Empat bulan, sejak Februari, mantan Ibu Negara ini berjuang melawan kanker darah. Sehari sebelumnya dari Singapura, putra tertua Ibu Ani, Agus Harimurti Yudhoyono mengabarkan kondisi kesehatan Ibu Ani semakin menurun, bahkan tidak sadarkan diri. Tindakan ekstra dilakukan. Keluarga sudah berkumpul. Dan, Sabtu pagi, Ibu Ani wafat dalam usia 67 tahun.
Penyakit kanker darah, seakan datang tiba-tiba, tidak terdeteksi. Pada Januari, saya bertemu dengan Ibu Ani dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono di rumah Kuningan. Tidak ada yang berubah dari Ibu Ani, terlihat tetap sehat dan dapat bercanda.
Namun sekitar dua pekan setelah pertemuan itu, melalui instagramnya, Ibu Ani mengabarkan menderita kanker darah (blood cancer). Mendengar kabar dari dokter itu, Ibu Ani merasa seperti ditimpa palu godam. Meski demikian, Ibu Ani berupaya menguatkan diri dan sedapatnya melawan kanker tersebut.
Energik, Peduli
Hajjah Kristiani Herawati dilahirkan di Yogyakarta, Indonesia, 6 Juli 1952, anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo dan Hj. Sunarti Sri Hadiyah.
Sumber: Tribunnews
Kristiani– biasa dipanggil Ani — menikah dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 30 Juli 1975, ketika itu SBY baru saja dilantik menjadi Perwira TNI dan menjadi lulusan terbaik. Keduanya berkenalan di Akademi Militer Magelang. Saat itu, ayah Ibu Ani, Pak Sarwo Edhi sebagai Gubernur Akmil, sedangkan SBY taruna Akmil.
Sumber: Kaskus
Setelah menikah, Ani harus mengikuti suaminya sebagai militer. Kehidupan pun berubah. Ketika bersama orangtua — seorang perwira tinggi dan duta besar di Korea — kehidupan berkecukupan, kini Ani harus tinggal asrama kecil prajurit. Makan dari jatah ransum Pak SBY sebagai prajurit Kostrad.
Sumber: Kaskus
Cinta dan tanggung jawab sebagai istri, membuat Ani kuat menjalani hidup yang berubah. Dua putranya, Agus Harimurti dan Edhie Baskoro, lahir dalam situasi ekonomi sangat sederhana itu. Jatah makan prajurit, dibawa Pak SBY untuk istri dan anak-anak. Jika ada jatah kacang hijau, Pak SBY membawanya pulang. Ibu Ani kemudian membuat bubur untuk gizi anak-anaknya.
Sumber: Istimewa
Semasa bertugas di Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad di Bandung, mereka mendapatkan rumah. Ibu Ani menceritakan, rumah itu kecil dan dindingnya tepas bambu, yang beberapa di antaranya sudah rusak.
“Saya mencari kertas koran untuk menampal dinding yang bolong dan rusak,” kenang Ibu Ani di hadapan prajurit di markas Batalion Infanteri 500, di wilayah Kodam V Brawijaya, Senin (6/10/2014).
Kehidupan sulit sebagai istri prajurit, menjadikan Ibu Ani terbiasa dekat dengan rakyat, merasakan kesulitan rakyat, dan sering pula makan di pinggir jalan.
Saya ingat ketika ikut rombongan Tour de Jawa, April 2018 lalu. Tiba-tiba bus yang kami tumpangi diminta Pak SBY berhenti. Kami keluar. Ternyata untuk makan siang di Warung Sadinem, Mantingan, Ngawi. Warung ini sangat sederhana, namun memiliki kenangan. Semasa bertugas sebagai Danrem 072/Pamungkas, Kodam IV/Diponegoro (1995), Pak SBY dan Ibu Ani sering mampir di rumah makan ini.
Makan di pinggir jalan di warung sederhana, biasa dilakukan Ibu Ani dan Pak SBY tanpa canggung. Tidak hanya itu. Ibu Ani cepat merespon keluhan rakyat. Beberapa kali, berita yang saya dapatkan sebagai wartawan, saya kirim kepada Ibu Ani melalui pesan singkat (SMS), langsung direspon. “Terima kasih infonya Pak Asro, segara saya sampaikan kepada Pak SBY.”
Bagi orang-orang yang sering berinteraksi dengan Ibu Ani, terasa menjalar aura positif, energi, dan humanis. Tidak ada sekat dengan setiap orang. Kecerdasan dan kemampuan berdebat, serta memahami persoalan, menjadikan berbagai pertemuan menghasilkan solusi dan produktif. Ibu Ani dikenal tegas dalam prinsip dan detail mengurai masalah.
Sumber: Media Indonesia
Ini pulalah, yang mendorong internal Partai Demkrat dan sejumlah pengamat, mendorong Ibu Ani mencalonkan diri sebagai Presiden, setelah masa tugas Pak SBY berakhir. Soal wacana itu, saya menanyakannya kepada Ibu Ani. Jawaban Ibu Ani tenang. “Setelah Pak SBY selesai sebagai Presiden, waktu kami akan lebih fokus mengurus cucu.”
Sebagai ibu Negara selama sepuluh tahun, Ibu Ani merasakan kebebasan pers dan sosial media, yang terkadang berlebihan. Hujatan, bahkan fitnah, menyembur deras begitu saja. Unjuk rasa terjadi setiap hari dengan cara, yang terkadang tidak beretika dan menyentuh hal pribadi.
Sumber: Istimewa
Kebebasan pers tidak boleh dikekang, meski Ibu Ani perih. Namun, sebagai istri dan ibu anak-anaknya, Ibu Ani merasa sangat tidak nyaman. Menghadapi situasi itu, seperti pernah dituturkan Pak SBY, Ibu Ani mengadu kepada Allah. Dalam malam yang bening, Ibu Ani sholat Tahajjud, membaca Al-Quran, dan menangis.
Kini, Ibu Ani tidak lagi menangis. Allah, Yang Maha Pencipta, memanggilnya. Selamat jalan Ibu, selamat jalan orang terkasih, waktu telah tiba. Kami pun segera pula ke sana…
Jakarta, 1 Juni 2019