Ceknricek.com — Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menargetkan pertumbuhan ekonomi 7% pada 2014-2019. Nyatanya yang mampu dicapai mentok di angka 5,3%. Kini kondisi lebih buruk lagi. Pemerintah menargetkan pertumbuhan pada rentang 53%-5,6%, tapi raihan paling tinggi hanya 5,17% (2018). Pada kuartal I-2019 pertumbuhan ekonomi nasional di bawah ekspektasi, yakni hanya tumbuh sebesar 5,07%. Padahal tahun ini target pemerintah 5,3%.
Sejumlah ekonom menyebut pertumbuhan ekonomi awal 2019 ini bukan pencapaian yang baik. Sebab, lebih rendah dari triwulan IV-2018 yang sebesar 5,18%. Dengan capaian pertumbuhan ekonomi triwulan I yang berada di bawah ekspektasi, akan semakin tidak mudah bagi pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sesuai asumsi makro APBN 2019 sebesar 5,3%.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 10 Tahun Terakhir (Sumber Ilustrasi : CNN)
Lantaran itu, diperlukan berbagai upaya terobosan kebijakan agar akselerasi perekonomian di sisa tiga triwulan ke depan dapat terealisasi sesuai target. Gerak grafik naik yang hanya 5,07% merupakan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi negara tertahan. Tentu ini akibat penurunan kinerja pertumbuhan sejumlah sektor sepanjang triwulan pertama tahun ini.
Sektor pertanian, misalnya, mengalami penurunan drastis, bahkan lebih buruk dari sebelumnya, khususnya tanaman pangan dan harga gabah. Berdasarkan catatan BPS, sektor pertanian pada triwulan I-2019 tumbuh melambat di angka 1,81%, bahkan tanaman pangan mengalami kontraksi 5,94%.
Beberapa subsektor di sektor industri pengolahan juga cenderung tertekan, seperti batubara dan pengilangan migas, industri kulit, industri kayu, industri karet, barang galian bukan logam, elektronik, dan alat angkutan. Penurunan terjadi karena naiknya harga energi terutama batu bara dan migas. Selain itu, juga masalah daya saing hingga soal daya beli.
Sektor transportasi melemah, terutama akibat turunnya kinerja transportasi udara. Sementara sektor konstruksi turun terutama karena belanja pemerintah untuk infrastruktur belum banyak dimulai pada awal tahun.
Semen Indonesia (Foto : Katadata)
Produksi semen pada Triwulan I/2019 sebesar 29,2 juta ton atau turun 2,53% (yoy) dan penjualan sebesar 14,96 juta ton atau turun 4,81 % (yoy). Belanja pemerintah untuk infrastruktur belum dimulai secara meluas. Di sisi lain, permintaan untuk sektor properti cenderung stagnan.
Kondisi kurang menggembirakan lain, pembentukan modal tetap bruto menurun sementara ekspor dan impor turun drastis. Peranan konsumsi rumah tangga semakin meningkat namun ekspor dan impor semakin melemah.
Investasi pada sektor kendaraan dan peralatan lainnya menurun drastis. Permintaan mobil mengalami penurunan sehingga investasi untuk produksi pun turun. Produksi mobil pada Triwulan I/2019 mencapai 314.901 unit atau turun 4,61 % (yoy).
Penurunan harga dan volume produksi mempengaruhi ekspor barang migas. Akibatnya, neraca perdagangan pada April 2019 mengalami defisit US$2,56 miliar, atau terbesar dalam sejarah. Sedangkan penurunan impor terjadi pada barang-barang konsumsi maupun bahan baku penolong, kebutuhan untuk ekspor.
Melihat kondisi seperti itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, memperkirakan, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% yang dicanangkan pemerintah terkesan sulit untuk digapai. “Maksimal sekali di kuartal II kita simulasi tidak akan beranjak dari 5,27%. Jika itu tidak tercapai, otomatis target 5,3% sulit tercapai, jadi harus lebih realistis,” ujarnya.
Ekonomi Global
Nah, lantaran itu, para pejabat yang paling bertanggung jawab dalam urusan ekonomi pada Kamis pekan lalu (13/6) menggelar rapat bersama Komisi XI DPR. Para pejabat yang hadir antara lain Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati; Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo; Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso; Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro; dan Kepala BPS, Suhariyanto.
Seperti sebuah paduan suara, para pejabat ini menyebut melesetnya target pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2019 ini adalah karena turunnya pertumbuhan ekonomi global, perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, serta harga minyak dunia yang belum stabil. Singkat cerita biang kerok penghambat pertumbuhan adalah faktor eksteren.
Neraca Perdagangan (Sumber Ilustrasi : Fxstreet)
Soal neraca perdagangan yang defisit, Suhariyanto menjelaskan itu karena harga komoditas ekspor andalan Indonesia sedang turun. “Jadi dari komposisi ekspor impor ini, di internal kita masih punya pekerjaan rumah untuk diversifikasi produk pasar dan menciptakan produk yang kompetitif,” ujar Suhariyanto.
Pemerintah menyadari perlunya diversifikasi pasar dan produk ekspor. Hanya saja, pada kondisi global yang tidak bersahabat cara ini tidak mudah. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekspor hanya 5,5% hingga 7%. Angka ini terasa sangat moderat, namun tidak mudah untuk meraihnya.
Bambang Brodjonegoro menjelaskan, kini pemerintah berupaya mendorong potensi pertumbuhan ekonomi tidak terus mentok di level 5,3%. Hal itu dilakukan dengan beberapa strategi yaitu transformasi struktural yang meliputi revitalisasi industri manufaktur.
Pemerintah perlu mengejar target rasio kontribusi industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga di atas 20%. Selain itu, pengolahan pertanian juga perlu didorong modernisasi, artinya produktivitas dari sektor pertanian harus ditingkatkan.
Kemudian pertambangan harus dihilirisasi sehingga mendorong juga industrialisasi. Sektor jasa seperti pariwisata juga harus perlu dimodernisasi, sehingga bisa menghasilkan pendapatan lebih memadai bagi pelakunya.
Investasi
Kebutuhan investasi pada 2020 adalah sebesar Rp5.823 triliun. Menteri Sri mengatakan, peran investasi swasta menjadi sangat penting sehingga policy yang berhubungan dengan kebijakan investasi menjadi kunci. Porsi swasta dalam investasi diharapkan sebesar Rp4.205,5 triliun.
Sri mengatakan, pemerintah akan menggunakan instrumen fiskal APBN dalam rangka mendukung kebutuhan investasi. Peranan pemerintah pusat diharapkan bisa berkontribusi pada kisaran Rp246 triliun hingga Rp261 triliun.
Mentri Keuangan, Sri Mulyani (Foto : Republika)
Sementara pemerintah daerah diharapkan bisa berkontribusi di kisaran Rp293 triliun hingga Rp310 triliun. “Ini adalah kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan dengan proyeksi investasi pemerintah pada 2019 yang sebesar Rp215 triliun untuk pemerintah pusat dan Rp267 triliun untuk pemerintah daerah,” ungkapnya.
Kebutuhan investasi di harapkan dipenuhi sektor perbankan (8,4%-10,2%) dan pasar modal (3,2%). Sementara kredit perbankan dan dana hasil IPO di pasar modal di arahkan sebagai belanja modal. Alokasi belanja modal pemerintah terutama akan mendorong pertumbuhan sektor listrik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta sektor konstruksi.
BUMN diperkirakan masih akan melakukan ekspansi investasi meski tidak setinggi pada 2018 sebesar Rp502 triliun, namun lebih tinggi dari perkiraan 2019 sebesar Rp429 triliun. “Sedangkan investasi langsung dari luar negeri atau Foreign Direct Investment (FDI) dalam bentuk penanaman modal asing masih akan konstan di angka Rp426 triliun hingga Rp428 triliun,” tuturnya.
Mentri BUMN, Rini Soemarno ( Foto : Liputan6.com)
Selain investasi, pertumbuhan ekonomi 2020 juga akan di topang oleh kinerja konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga dan lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) di perkirakan tetap membaik didukung stabilitas harga dan bantuan sosial pemerintah.
Sementara konsumsi pemerintah di arahkan pada peningkatan value for money agar lebih efektif, efisien, dan produktif. Dari sisi permintaan seperti konsumsi rumah tangga dan LNPRT diperkirakan tumbuh 4,9-5,2%. Konsumsi pemerintah antara 4,1-4,3%. APBN masih akan memberikan dukungan suportif terhadap perekonomian.
Tarif Pesawat
Tiket Pesawat, (Sumber Ilustrasi : Liputan6.com)
Lebih jauh, Indef menyarankan perlunya melakukan revisi terhadap kebijakan penetapan harga pokok penjualan atau HPP dan harga eceran tertinggi atau HET, baik untuk gabah dan beras (HET) serta mendorong upaya peningkatan skala ekonomi tanaman pangan. Pentingnya menurunkan tarif batas atas tiket pesawat agar sesuai dengan kemampuan konsumen “bawah”.
Selain itu, industri perlu peningkatan daya saing dan strategi bisnis agar mengikuti rantai nilai global (global value chain) yang sedang berkembang.
Penting juga mendorong daya beli kelas menengah yang merupakan 70% penduduk untuk menggerakkan konsumsi maupun investasi. Investasi asing yang turun juga perlu diarahkan pada sektor non-transportasi, pergudangan dan telekomunikasi. Perlu juga perubahan strategi ekspor di tengah perlambatan permintaan dunia, maupun ketidakpastian perekonomian global. Tak lupa juga, perlunya perhatian pengembangan ekonomi regional, khususnya luar Pulau Jawa.