Catatan Perjalanan Asro Kamal Rokan
Ceknricek.com – SWISS negara yang indah. Negara Eropa Tengah yang berbatasan dengan Jerman, Perancis, Italia, Liechtenstein, dan Austria ini, tidak membosankan, terutama Davos dan Jenewa.
Davos berada di ketinggian 1.560 m di Pegunungan Alpen, kota tertinggi di Swiss. Kota berpenduduk sekitar 14 ribu jiwa ini, tidak saja untuk beristrahat dan bermain ski, tapi juga tempat pertemuan tahunan pemimpin dunia, Forum Ekonomi Dunia (WEF). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari 2011 lalu, menjadi pembicara kunci di forum bergengsi dunia tersebut.
Dari Hotel Movenpick, dekat bandara Zurich, kami naik bus ke Davos, sebelah timur Swiss. Dari Zurich ke Davos 150 km, ditempuh sekitar tiga jam perjalanan. Matahari pelan-pelan mulai terbit. Perjalanan ke Davos melewati gunung-gunung berlapis salju, hutan pinus, lembah dengan tikungan, danau, dan perkampungan dengan atap rumah bersalju — ini seperti foto-foto di lembaran kalender 80-an.
Forum Ekonomi Dunia di Davos, selain membahas isu-isu ekonomi, juga membahas isu-isu strategis. Pada Januari 2016 lalu, forum mengangkat soal Islam dalam memerangi radikalisme. Dr. Syauqi Allam, grand mufti Mesir, salah satu pembicara, menjelaskan pesan utama Islam yang membawa rahmat dan perdamaian, namun teroris telah mendeskreditkan citra Islam sejati.
Soal Islam di WEF ini sudah menjadi bahasan lama. Pada 2008 lalu, seperti ditulis Gallup World, forum pemimpin ekonomi dan politik dunia itu mendiskusikan perlunya dialog antara dunia Muslim dan Barat. Dari jajak pendapat yang dilakukan Gallup menjelang WEF, hubungan Islam dan Barat, dibayangi kecurigaan.
Dari survey di negara mayoritas Muslim, Gallup mendapatkan hasil bahwa dunia Muslim menghormati Barat, tetapi mereka tidak percaya Barat menghormati dunia Muslim. Begitu juga di negara Barat, mereka menyatakan dunia Muslim tidak menghormati mereka. Dialog terus menerus Muslim-Barat menjadi penting.
Islam di Swiss
Swiss — negara yang dikenal sebagai produsen jam tangan — terdapat tiga bahasa resmi, yakni Jerman, Prancis, dan Italia, selain bahasa lokal Romansh. Penduduk Swiss, pada 2015, sekitar 8,2 juta orang. Sekitar 45 persen beragama Katolik Roma, Protestan (35%), Islam (5%).
Islam masuk pada masa Umayyah menguasai Andalusia (Spanyol) terus memperluas wilayahnya ke Prancis selatan dan sebagian Eropa, sekitar tahun 930-an. Orang-orang Arab menetap di Valais selama beberapa dekade, menguasai Great St. Bernard Pass dan St. Gallen di utara, serta Raetia di timur.
Pada 1980-an, jumlah umat Islam sekitar satu persen, namun meningkat pesat pada tiga puluh tahun terakhir, menjadi di atas 5 persen. Ini antara lain masuknya imigran asal pecahan negara Yugoslavia, di antaranya Kosovo, Albania, dan Bosnia, selain dari Turki. Umumnya mereka Suni.
Populasi terbanyak terbanyak ada di Basl-Stadt (6,72%), Glarus (6,50), dan St Gallen (6,31). Sedangkan di Zurich sekitar 5,33 persen. Perempuan Swiss yang masuk Islam sampai tahun 2009, menurut Monica Nur Sammour-Wust, tokoh Muslimah di sana, sekitar 30 ribu orang.
Hasil penelitian Pew Research Center, Amerika Serikat, Januari 2011, memprediksi jumlah populasi Muslim Swiss akan meningkat antara 8,2% hingga 12,9 % pada tahun 2050. Meningkatnya jumlah penganut Islam, menurut Pew, antara lain para imigrasi yang datang berusia produktif. Pew mengasumsikan tingkat kelahiran Muslim di Swiss sekitar 2,1 persen setiap tahun.
Riset Pew tersebut ditangggapi Antonius Liedhegener, profesor politik dan agama di Universitas Lucerne. Kepada surat kabar Neue Zürcher Zeitungexternal, Antonius Liedhegener menyatakan, prediksi peningkatan jumlah muslim di Swiss itu harus juga melihat kecenderungan bahwa sebagian besar generasi kedua atau ketiga Muslim di Swiss telah menjadi sekuler dan jauh dari agama.
Perkembangan umat Islam di Swiss diikuti pula munculnya berbagai organisasi, sejak 1980-an, di antaranya Gemeinschaft islamischer Organisationen der Schweiz (GIOS), Muslime dan Musliminnen der Schweiz, dan Vereinigung Islamischer Organisationen Zürich (VIOZ), Zurich. Tokoh Islam yang dikenal antara lain Tariq Ramadan, Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, dan Isabelle Eberhardt.
Di Jenewa ada Islamic Center (Mosquée de Petit-Sacconex), yang berlokasi di Le Petit-Saconnex. Masjid yang dapat menampung sekitar seribu jamaah ini, didirikan atas inisiatif Raja Faisal dan diresmikan Raja Arab Saudi Khalid ibn Abd al-Aziz pada 1978. Setiap Jumat, masjid ini penuh dari umat Islam berbarbagai bangsa. Di Islamic Center ini, selain sholat berjamaah, juga ada perpustakaan dan pengajian rutin.
Kondisi umat Islam di Swiss tidak begitu mudah. Penolakan, terutama dari politisi dan kelompok anti-Islam sangat kuat. Partai Rakyat Swiss (SVP) salah satu penentang yang keras. Pada 2007, pembangunan Islam Center terbesar di Eropa, ditolak Dewan Kota Bern. Penolakan ini setelah Partai SVP mengumpulkan tanda tangan penolakan.
Partai terbesar di parlemen itu berencana menerapkan pelarangan jilbab di tempat kerja, burqa, bangunan makam Muslim, dan pembebasan siswa pria Muslim berenang denngan perempuan. Umat Islam juga sulit untuk menyembeli hewan qurban karena aturan di negara ini melarang penyembelihan hewan tanpa izin.
Pada 2017 lalu, kelompok anti-Islam kalah dalam referendum tentang naturalisasi pengungsi. Referendum itu mengamandemen ketentuan bahwa orang di bawah usia 25 yang lahir di Swiss lebih mudah menjadi warga negara.
Kalangan anti-Islam, terutama Partai SVP, menolak referendum ini, karena menguntungan umat Islam. Namun dalam referendum, Minggu (12/2/2017), sebanyak 59 persen suara rakyat Swiss menyatakan setuju untuk memudahkan naturalisasi di negara itu.
Isu yang sempat memanas adalah pelarang pembangunan menara masjid pada 2009. Daniel Streich, tokoh penting SVP paling gencar menolak pembangunan menara masjid. Dia aktif menggalang sentimen anti-Muslim di Swiss. Di tengah gencar mengkampanyekan pelarangan menara masjid, Daniel Streich menyatakan mundur dari Partai SVP, yang anti-Islam.
Belakangan diketahui, Daniel Streich masuk Islam. Berita soal ini muncul di harian 20 Minuten pada 23 November dan media berbahasa Inggris Tikkun Daily pada 4 Desember 2009. Streich kini rajin membaca Alquran dan salat lima kali sehari. Menurut Streich, ia telah menemukan kebenaran hidup dalam Islam, yang tidak pernah ia temui sebelumnya.
Pembenci Islam itu kini sangat mencintai Islam—agama yang menjadikan tenang dan nyaman.