Ceknricek.com — Asep Sunandar Sunarya. Namanya dikenal sebagai pembaharu dan maestro wayang golek yang telah memberikan inovasi. Salah satunya dengan memopulerkan kembali Cepot dalam khasanah wayang tradisional Sunda.
Lahir 64 tahun lalu, tepat pada tanggal hari ini, 3 September 1955, di Desa Jelekong, Baleendah, Bandung. Sukana (nama kecil Asep Sunandar) adalah putra ke-7 dari 13 bersaudara dalang legendaris Sunda, Abah Sunarya.
Lahir dan Besar di Lingkungan Dalang
Asep Sunandar lahir dari pasangan Abah Sunarya dan Cucun Jubaedah, yang merupakan pemilik padepokan wayang golek Giriharja di Bandung Selatan.

Di masa kecilnya, ia yang sehari-hari akrab dengan suara gending dan piwuruk Sunda sudah menampakkan bakat dan pribadinya yang dinamis dan kreatif ketika bergaul dengan teman-temannya.
Asep selesai mengenyam pendidikan di tingkat menengah pada 1972. Setelah lulus ia mulai menaruh minat untuk belajar pedalangan pada ayahnya. Di masa-masa ini, Sunandar mulai mendalang setiap hari saat ada hajatan.
Tahun 1978, setelah ditempa pengalaman mendalang ke berbagai daerah di sekitar tempat tinggalnya, Asep kemudian mengikuti festival dalang wayang se- Jawa Barat dan berhasil meraih juara 1.

Baca Juga: Kiprah Ki Enthus & Wasiat Sang Ayah
Keberhasilan itu tidak lepas dari proses belajarnya yang tidak kenal lelah untuk nyantri dan belajar kepada dalang-dalang yang lebih tua. Ia, misalnya belajar dari dalang Cecep Supriadi, serta mengikuti penataran yang dilakukan oleh RRI Bandung.
Asep kembali menyabet penghargaan yang sama pada 1982, dan mendapat juara umum pada Binojakrama pedalangan di Subang dengan membawa pulang piala Bokor Kencana sebagai lambang supremasi pedalangan Sunda Jawa Barat pada 1985.
Prestasi Internasional
Asep Sunandar lewat ciri khas dan kepiawaiannya dalam mengolah gerak atau sabetan wayang dengan tampilan humor atau banyolan yang segar dan luwes kemudian mendapat mandat dari pemerintah sebagai duta kesenian untuk ke Amerika Serikat pada 1986.
Tiga tahun kemudian, pada 1989, Asep kembali melakukan muhibah ke Amerika Serikat dalam rangka pementasan wayang golek, dan mengikuti Festival Wayang (Teater Boneka) di Perancis di tahun 1992.

Atas prestasi-prestasi itulah ia kemudian diundang dan diminta Institut International De La Marionette di Charleville, Perancis, sebagai dosen luar biasa selama dua bulan. Setahun kemudian, pada 1994, Asep melakukan tur pementasan wayang golek keliling Eropa.
Namun, tentu saja yang paling banyak diingat masyarakat Indonesia tentu saja program acara pementasannya setiap Minggu malam yang berjudul “Asep Show” di salah satu stasiun televisi swasta di tahun 2005 yang berkolaborasi dengan Jojon dan Parto Patrio.
Baca Juga: Melestarikan Cerita Rakyat, Wayang Suket Indonesia Hadirkan Kisah Roro Jonggrang
Kehidupan Pribadi dan Kematian
Selama hidupnya Asep Sunandar menikah lima kali. Dengan istri pertama bernama Euis Garnewi, ia bercerai setelah tujuh mengarungi bahtera rumah tangga.
Istri kedua, Elas Sulastri, dengan masa pernikahan enam tahun. Asep kemudian menikahi Eti dan Sumirat. Sedangkan istrinya yang terakhirnya adalah Nenah Hayati. Dari seluruh hasil perkawinannya Asep Sunandar dikaruniai 14 anak.
Selain mendalang, semasa hidupnya Asep Sunandar menjadikan wayang sebagai media dakwah untuk mengajarkan kebaikan. Ia meyakini lewat medium yang akrab dengan kultural masyarakat, pesan-pesan akan mudah disampaikan dan diterima.
Baca Juga: Lukisan Heri Dono: Raden Saleh Hingga Affandi ”Terbang” ke Bulan Nonton Wayang Kulit
Asep meninggal di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 2014 dalam usia 58 tahun. Hingga akhir hayatnya, setidaknya ada 100 album rekaman yang memuat karya-karyanya.

Di akhir sunyinya pedalangan, dalam salah satu lakonnya maestro dalang Sunda ini pernah bertutur sambil memainkan wayangnya.
“Euweuh.. Euweuh nu nyaho manusa mah soal jodo, pati, bagja katut cilaka. kitu deui jeung Uing, ah teu nyangka wé sagala rupana ogé, geus kieu wé kuduna, da mémang kieu gening kanyataanana. teu Dalang, teu Présidén, teu Hancip, teu Ulama teu saha, ari ceuk nu Maha Sutradara kudu A nya pasti kajadian A. Aaaaah tarima wé ku kasadaran da sagala gé teu hayang komo embung,” ujar Asep.
Dalam bahasa Indonesia, terjemahannya kira-kira begini: “Tak seorang pun manusia yang mengetahui jodoh, kematian, kebahagiaan juga musibah. Begitupun dengan saya. Ah, semuanya serba tak terduga. Memang begitulah kenyataannya. Mau dalang, presiden, hansip, ulama, atau siapa kalau Maha Sutradara menghendaki A pasti kejadiannya A. Ah, terima saja dengan penuh kesadaran karena kita tak bisa menolaknya”.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.