*Oleh DR Agus Sudibyo
Ceknricek.com – Begitu mendengar kabar nyawa seorang wartawan melayang di jeruji besi Rumah Tahanan, yang muncul dalam benak saya adalah bayang bayang bahwa indeks kemerdekaan pers Indonesia akan menurun di mata dunia internasional. Indeks kebebasan pers internasional ini sangat sensitif terhadap isu kekerasan atau keselamatan wartawan. Tak peduli, apakah wartawan yang meninggal dunia itu wartawan profesional atau bukan, medianya jelas atau abal-abal. Jika ranking kebebasan pers indonesia selama ini naik turun, itu juga karena isu kekerasan dan keselamatan wartawan. Selalu muncul persepsi bahwa indonesia adalah negara yang tidak aman untuk menjalankan profesi jurnalis.
Fungsi publik
Tidak ada yang lebih berharga dari nyawa seseorang, selain nyawa orang yang sedang menjalankan fungsi publik. Barangkali demikian latar belakang sensitivitas indeks kemerdekaan pers dunia itu terhadap isu kekerasan atas wartawan.
Oleh karena itu, kita musti menganggap serius dan genting setiap peristiwa kematian wartawan. Sekali lagi : tak peduli apakah itu wartawan profesional atau tidak, medianya jelas atau tidak, beritanya bener atau serong. Meninggalnya Wartawan Kemajuan Rakyat, Muhammad Yusuf beberapa waktu lalu, mestinya juga dilihat dalam kerangka ini.
Muhammad Yusuf (42) meninggal dunia di dalam jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kota Baru Kalimantan Selatan, Minggu (10/6/2018). Yusuf sudah 15 hari menghuni Lapas Kotabaru, setelah sebelumnya menghuni rumah tahanan Polres Kotabaru. Yusuf disangkakan melanggar Pasal 45 A UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Yusuf terancam pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Yusuf berstatus tersangka akibat penulisan berita yang dianggap menyudutkan dan cenderung provokatif tentang konflik antara masyarakat dan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM).
Reaksi standar organisasi wartawan atau pers tentu saja seyogyanya memberikan ucapan belasungkawa dan dukungan moral buat keluarga yang ditinggalkan.
Potensi masalah
Ada beberapa potensi masalah dalam kasus ini yang semestinya menjadi perhatian komunitas pers.
Pertama, menurut UU Pers Tahun 1999, tanggung-jawab atas pemuatan berita di sebuah media massa ada pada penanggung-jawab redaksi atau pemimpin redaksi. Karya jurnalistik di suatu media massa pada prinsipnya adalah karya kolektif dari redaksi media yang bersangkutan. Oleh karena itu, bahwa yang diproses dan ‘diamankan’ polisi adalah si wartawan penulia berita dalam kasus ini menimbulkan tanda tanya serius. Jangan-jangan ada kesalahan substantif, dalam pengertian bahwa wartawan (Muhammad Yusuf) harus menanggung beban atau tanggungjawab yang semestinya ditanggung oleh media (Kemajuan Rakyat) sebagai institusi yang diwakili oleh penanggungjawab redaksi. Dengan kata lain perlu dibedakan antara tanggung-jawab personal Muhammad Yusuf dan tanggung-jawab kelembagaan media Kemajuan Rakyat. Penegak hukum mutlak memahami persoalan ini.
Kedua, kekerasan tidak dibenarkan kepada siapa pun. Kepada wartawan yang bersertifikat wartawan profesional, kepada wartawan yang belum memiliki sertifikat, maupun kepada warga biasa. Penegak Hukum perlu mempertimbangkan benar kemungkinan kekerasan ini. Apa benar Muhammad Yusuf meninggal secara wajar, atau jangan-jangan ada unsur kekerasan dalam kematiannya? Terlebih-lebih, Yusuf tewas setelah menulis berita yang kritis tentang konflik antara masyarakat dan PT MSAM. Sebagaimana diketahui, PT MSAM merupakan perusahaan perkebunan sawit milik Andi Syamsudin Arsyad, pengusaha ternama Kalimantan Selatan yang memiliki kedekatan dengan aparat keamanan. Dengan tetap menjaga asas praduga tak bersalah, kemungkinan penggunaan power atau power relations dalam kasus ini perlu diselidiki.
Tanggung jawab Dewan Pers
Keempat, dalam konteks pembangunan pers nasional yang bermartabat, bagaimana cara menangani wartawan atau media yang belum memiliki sertifikat profesional? Dibina dan diarahkan atau cukup diekslusi sebagai bukan bagian dari komunitas pers nasional? Ini yang saya lihat dilema yang sedang dihadapi Dewan Pers. Dilema antara merangkul media abal abal atau mengekslusinya sebagai bukan bagian dari pers. Menurut saya, Dewan Pers tetap memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan pers yang abal abal untuk “kembali ke khittah pers yang bermartabat dan beretika”. Kecuali jika sudah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, ada wartawan atau media yang tetap tidak mau memperbaiki status dirinya dan meningkatkan profesionalitas. Keberadaan wartawan atau media yang demikian ini tentu saja di luar wewenang Dewan Pers. Saya berharap Dewan Pers sudah pernah mencoba merangkul dan mengarahkan Muhamad Yusuf dan medianya untuk menjadi media atau wartawan yang profesional.
Kelima, ada dilema lain dalam kasus ini. Cukup beralasan jika Dewan Pers mengambil sikap tidak akan ikut campur jika sengketa pers atau yang diindikasikan sengketa pers telah di bawa ke jalur hukum. Dewan Pers ingin menghargai proses hukum. Namun di saat yang sama, perlu juga dipastikan bahwa proses penanganan sengketa oleh penegak hukum (polisi) tidak bertentangan dengan prinsip prinsip universal perlindungan profesi wartawan atau hak hak setiap orang untuk terbebas dari kekerasan dan ketakutan. Siapa yang bertanggung jawab mengawal hal ini? Siapa yang berkewajiban memastikan bahwa polisi tidak menciderai prinsip HAM dalam hal ini?
Kita semua, komunitas pers nasional tanpa terkecuali. Terlepas dari kemungkinan kelemahan Muhammad Yusuf (menulis berita dengan melanggar kode etik jurnalistik, menjadi wartawan sekaligus demonstran, tidak bersetifikat profesional, medianya belum terdaftar), tetap saja kematiannya adalah tragedi yang getir dan menyesakkan dada. Tidak ada yang lebih berharga selain dari nyawa seseorang.
*DR Agus Sudibyo, Direktur Indonesia New Media Watch.