Ceknricek.com — Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan Imam Nahrawi sebagai tersangka korupsi, banyak pihak terperangah. Soalnya, penetapan tersangka bagi Menteri Pemuda dan Olahraga itu dilakukan KPK setelah disahkannya revisi UU KPK oleh DPR RI. Penetapan itu juga dilakukan pascapimpinan KPK menyerahkan mandat kepada Presiden Joko Widodo.
Selanjutnya, keputusan itu dilakukan pada saat Imam, juga pimpinan KPK, sudah berada di ujung kekuasaannya. Jabatan Menpora bagi Imam berakhir pada akhir bulan depan, sedangkan pimpinan KPK, berakhir pada Desember tahun ini. Imam akhirnya mundur begitu ditetapkan tersangka oleh KPK.
Imam diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar terkait dengan penyaluran bantuan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Tahun Anggaran 2018.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengungkap bahwa selain menerima uang sebesar Rp14,7 miliar terkait dana hibah melalui asisten pribadinya Miftahul Ulum, Menpora Imam juga meminta uang sejumlah Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016-2018. “Total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora,” ujar Alexander, dalam konferensi pers, Rabu (18/9).
Baca Juga: KPK Heran Menpora Mengaku Baru Tahu Status Tersangkanya
Penyelidikan tentang keterlibatan Imam dilakukan KPK sejak 25 Juni 2019. Imam sudah dipanggil sebanyak tiga kali yakni pada 31 Juli, 02 Agustus dan 21 Agustus 2019. Hanya saja, ia tidak menghadiri pemanggilan tersebut. KPK memandang telah memberikan ruang yang cukup bagi Imam untuk memberikan keterangan dan klarifikasi pada tahap penyelidikan.
Penetapan Imam sebagai tersangka di saat-saat yang seakan “mustahil”, nyatanya bisa dilakukan. Kini, muncul dugaan-dugaan lain, akankah KPK di bawah Agus Rahardjo ini masih bisa menetapkan anggota Kabinet Kerja yang tersisa yang juga ditengarahi terlibat dalam sejumlah kasus korupsi? Sebut saja Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito.
KPK telah menggeledah kantor Kementerian Perdagangan di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat dua kali. Terakhir adalah pada Senin (12/8). Penggeledahan dua kali itu dalam kasus yang berbeda. Penggeledahan terkini diduga terkait kasus impor bawang putih. Sedangkan sebelumnya, dalam kasus impor gula rafinasi.
Pada kasus izin impor bawang putih, KPK telah menetapkan enam tersangka. Mereka adalah tiga orang yang berperan sebagai pemberi dari pihak swasta, yakni Chandry Suanda, Doddy Wahyudi, dan Zulfikar. Tiga orang lainnya berperan sebagai penerima, yakni I Nyoman Dhamantra anggota DPR RI periode 2014-2019 dari Fraksi PDIP, Mirawati Basri yang merupakan orang kepercayaan I Nyoman, dan Elviyanto dari pihak swasta.
Lembaga anti korupsi ini menemukan ada alokasi pemberian fee sebanyak Rp1.700-1.800 untuk setiap kilogram bawang putih yang diimpor ke Indonesia. Sedangkan kuota yang diurus dalam impor ini ada 20 juta kilogram bawang putih.
Baca Juga: Upaya KPK Menjerat Enggar
Impor bawang putih selama ini diatur berdasarkan kuota melibatkan banyak perusahaan. Kementan punya peran memberikan rekomendasi impor produk hortikultura, dan kemendag jadi pihak yang mengeluarkan izin impor.
Di sinilah posisi Enggar berada. Seperti juga Imam, Enggar membantah keterlibatan dirinya dalam kasus suap-suapan ini. “Saya enggak tahu, belum tahu,” katanya, Jumat (9/8).
Selalu Mangkir
Dalam kasus impor gula rafinasi, KPK telah menetapkan Bowo Sidik Pangarso sebagai tersangka, dan Enggar sebagai saksi. Dalam proses penyidikan kasus tersebut, KPK menyita Rp6,5 miliar dari kantor perusahaan Bowo, PT Inersia di Pejaten, Jakarta Selatan. Uang tersebut disita dalam 400 ribu amplop yang disiapkan Bowo untuk serangan fajar pada Pemilu 2019. KPK menduga uang tersebut berasal dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan jabatan Bowo sebagai anggota DPR Komisi IV.
Sampai di sini kasus gula rafinasi belum muncul. Namun kepada penyidik, Bowo mengatakan salah satu sumber uang Rp6,5 miliar itu berasal dari Enggartiasto. Enggar diduga memberikan Rp2 miliar dalam bentuk Dolar Singapura melalui utusannya pada pertengahan 2017. Bowo mengatakan Enggar memberikan uang untuk mengamankan Permendag Gula Rafinasi yang berlaku pada Juni 2017. Saat itu, Bowo merupakan salah satu pimpinan Komisi VI yang bermitra dengan Kemendag.
Baca Juga: KPK: Bowo Masukkan Uang Dalam 400 Ribu di Amplop untuk ”Serangan Fajar”
Enggar membantah telah memberikan uang kepada politikus Partai Golkar tersebut. “Apa urusannya kasih duit? Saya yakin enggak ada, dia dari Golkar saya dari NasDem,” kata Enggar di Istana Negara, Jakarta, Senin, 29 April 2019.
Sudah tiga kali KPK memanggil pria yang terlahir sebagai Loe Joe Eng itu untuk kasus tersebut. Namun ia selalu mangkir. Panggilan pertama dilakukan pada 02 Juli 2019. Ia tidak hadir dengan alasan sedang di luar negeri. Panggilan kedua pada 08 Juli 2019 dan ia kembali tidak hadir dengan alasan menjalankan tugas lain. Nah, yang terakhir 18 Juli lalu. Kali ini dia juga tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas.
Imam ditetapkan sebagai tersangka setelah tiga kali dipanggir ia mangkir. Tingkah yang mirip dilakukan terpidana kasus KTP Elektronik, Setya Novanto. Setnov, saat mangkir panggilan KPK juga sebagai saksi. Akhirnya, KPK menetapkan Ketua DPR itu sebagai tersangka. Pengadilan memutus dia bersalah, lalu diinapkan di LP Sukamiskin, Bandung sampai sekarang. Mungkinkah nasib Enggar juga akan seperti itu?
BACA JUGA: Cek HUKUM, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini