Ceknricek.com — Jalan Raya De Grote Postweg yang membentang dari Anyer-Panarukan merupakan salah satu peninggalan pemerintahan Hindia Belanda. Jalan Raya dari ujung barat sampai ke ujung timur pulau Jawa ini dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811).
Kisah-kisah mengenai Jalan Raya Pos ini pun telah banyak menghiasi buku-buku sejarah, bahkan terekam dalam salah satu buku karangan sastrawan dan penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”.
Namun fakta-fakta apa saja yang membuat Jalan yang bergelar De Grote Postweg ini memiliki posisi yang penting dalam rekaman Sejarah Nasional Indonesia? Dirangkum dari berbagai sumber, berikut beberapa fakta-fakta menarik mengenai Jalan Raya Pos Daendels.
1. Dibangun Gubernur Jenderal “Mas Galak”

Maarschaalk Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 28 Januari 1807 oleh Raja Louis Napoleon di Den Haag. Pada 05 Januari 1808, Daendels tiba di Anyer, Banten. Pada 14 Januari 1808 ia menggantikan Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese sebagai pimpinan tertinggi di Hindia Belanda.
Semasa menjabat sebagai Gubernur Jenderal, Daendels dikenal sebagai seorang yang bertangan dingin dan kejam dalam memimpin Hindia Belanda. Dalam buku Ekspedisi Anyer-Panarukan, laporan Jurnalistik Kompas: 200 Tahun Anyer-Panarukan, Jalan untuk Perubahan (2008) di sana menyebutkan bahwa Daendels memiliki sebutan “Mas Galak”.
Sebutan itu lalu menjadi populer di kalangan masyarakat Sunda yang sulit mengucapkan “Maarschaalk”. Kata tersebut mengalami perubahan menjadi “Marsekalek”, lalu menjadi “Mas Galak”.
2. Nol (0) Kilometer Anyer-Panarukan

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Pemindahan Ibu Kota Bandung
Di sekitar Mencusuar Anyer yang terletak di Desa Tambang Ayam, Kecamatan Anyer, Serang, Banten, terdapat tapal yang menandai titik awal pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Tidak diketahui pasti siapa dan kapan pembuatannya.
Meskipun demikian, sejarawan Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, merasa heran dengan tapal tersebut. “Saya masih mempertanyakan nol kilometer yang ada di Anyer Banten sebagai titik awal pembangunan Anyer-Panarukan,” kata Djoko dilansir dari Historia.
Djoko sendiri, yang pernah menulis disertasi mengenai sentralisasi kekuasaan Daendels di Universitas Indonesia pada 2005, merasa prihatin, karena penulisan tahunnya saja salah. “Pada tapal persegi empat itu tertulis: “0 KM Anjer-Panarukan 1806 AKL.” Padahal, Daendels baru mendarat di Anyer pada 05 Januari 1808.
3. Pada Mulanya Kerja Upah Kemudian Menjadi Kerja Wajib

Pada mulanya kerja pembangunan jalan ini dilakukan atas dasar kerja upah, khususnya tatkala pembuatan jalan Bogor-Cirebon yang berjarak 150 km. Namun, Daendels mulai kehabisan dana untuk pembayaran upah pada pembangunan jalan tersebut.
Ia kemudian mencoba menyiasati keadaan tersebut dengan mengumpulkan semua penguasa pribumi termasuk para bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di rumah Residen Semarang. Daendels menyampaikan maksudnya untuk melanjutkan pembangunan jalan raya dari Cirebon sampai Surabaya.
Kepada para Bupati Daendels berkata agar mereka menyediakan tenaga kerja dengan menggunakan sistem kerja yang berlaku pada masyarakat yaitu heerendiensten, kerja wajib untuk raja.
“Prinsip kerja wajib itu karena penduduk menempati tanah milik raja, maka wajib hukumnya untuk memberikan upeti kepada raja. Ini dipakai oleh Daendels untuk memerintahkan para bupati agar mengerahkan penduduknya untuk bekerja,” kata Djoko.
4. Demi Kepentingan komunikasi, Ekonomi, dan Militer

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Inggris Merebut Jawa dari Belanda
Pembangunan Jalan Raya Pos tidak hanya diperuntukan untuk kepentingan pertahanan semata. Daendels juga mulai melihat bahwa fungsi yang tidak kalah penting dari dibangunnya Jalan Raya Pos ini untuk tujuan komunikasi dan mendukung aktivitas ekonomi.
Melalui sumber sejarah dalam Laporan Jurnalistik Kompas: Ekspedisi Anyer-Panarukan (2008) salah satu kebijakan ekonomi Daendels adalah memberikan instruksi kepada penduduk pribumi untuk memperbaiki kualitas pertanian dan meningkatkan produksi komoditas ekspor seperti teh, kopi dan padi.
Dengan kondisi jalan yang rusak, upaya yang ditujukan untuk menyejahterakan penduduk itu gagal mengingat ongkos pengangkutan yang tinggi. Sesuai dengan namanya, Jalan Raya Pos juga digunakan untuk mempersingkat waktu tempuh pengiriman surat dan pesan.
Waktu tempuh dari Batavia menuju Surabaya semula memerlukan waktu satu bulan, namun dengan berdirinya Jalan ini dapat ditempuh dalam waktu tiga sampai empat hari. Komunikasi antara Batavia dengan wilayah-wilayah di daerah menjadi terhubung.
5. Kini Menjadi Jalur Transportasi ‘Trans Jawa’

Kini, jalan yang terbentang dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa ini diproyeksikan sebagai jalur transportasi di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dan lebih dikenal dengan sebutan Jalan Pantura (Pantai Utara).
Kiranya menurut Daendels, percepatan mobilitas dalam berbagai kepentingan yang mendukung pemerintahan kolonial melalui Jalan Raya Anyer-Panarukan sangat diperlukan dan dapat berdampak secara luas terhadap akses transportasi darat yang menjangkau seluruh wilayah Pulau Jawa.
BACA JUGA: Cek OPINI, Opini Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.