Ceknricek.com – Pro kontra munculnya Partai Berkarya sebagai kendaraan politik keluarga Cendana menuju ke singgasana kekuasaan politik dinilai sebagai sesuatu yang wajar di dalam kehidupan politik yang dinamis. Terlebih pada saat ini ketika bangsa ini sedang memasuki tahun politik yang gemuruh, hiruk pikuk dan penuh intrik.
Titiek Soeharto memang bukan siapa – siapa di jagat pepolitikan Indonesia. Namun ketika dikaitkan dengan nama salah seorang tokoh pemimpin negeri ini yang bernama Soeharto, nama itu kontan menjadi trendy. Titiek bertekad menghidupkan impian menyejahterakan petani dan memberantas korupsi.
Membicarakan Berkarya, mau tidak mau harus membicarakan juga Golkar. Titiek Soeharto meninggalkan Golkar dan Senayan sekaligus sebagai legislator dibarengi pernyataan yang dramatrik bahwa dirinya mengambil posisi oposisi. Hal itu membuatnya bersimpang jalan dengan Golkar yang mendukung Jokowi sebagai Capres 2019.
Sebagai partai tua dan kaya pengalaman Golkar semestinya tidak gentar. AH (Airlangga Hartarto) yang menjadi ketua umum menggantikan SN (Setya Novanto) pada Munaslub Desember 2017 wajar jika pantang menyerah. Meskipun dirinya tengah menghadapi medan berat di internal Golkar untuk membangun kembali soliditas internal yang pernah terkoyak. Hal itu dikarenakan adanya ketua umum kembar pada Munas 2014. Di Bali terpilih ARB (Aburizal Bakrie) dan di Jakarta, Ancol memunculkan AL (Agung Laksono). Kelahiran ketum kembar membuat soliditas kader di pusat dan di daerah terbelah.
Konsolidasi internal Golkar belum sepenuhnya berhasil dicapai AH. Dia baru lima bulan memimpin. Kendala yang menonjol karena adanya friksi yang tajam antarfaksi melalui tangan tak terlihat yang bekerja bagaikan gurita yang melilit. Gurita itu adalah representasi empat mazhab yang saling berebut pengaruh yaitu JK (Jusuf Kalla), AT (Akbar Tanjung), ARB (Aburizal Bakrie) dan AL (Agung Laksono). Rivalitas internal terselubung diantara mereka itulah yang menjadi salah satu penyumbang instabilitas. Namun kelihatannya, Golkar masih terus berbenah dari ekses perpecahan dan serentetan kasus korupsi kadernya
“Saya ingin menjerit untuk protes dan menyuarakan hati nurani rakyat! Tapi saya tidak dapat melakukan hal itu karena saya sebagai orang Golkar, partai pendukung Pemerintah. Seharusnya Golkar sebagai partai besar, sebagai pendukung dan sahabat yang baik harus bisa memberi masukan mana hal-hal yang baik dan yang buruk kepada Pemerintah, tidak hanya sekedar mengekor dan ABS (asal bapak senang)”, kataTitiek kepada wartawan Senin (11/06/18).
Resonansi yang lahir dari input yang pro kontra bangkitnya keluarga Cendana dengan sendirinya juga isinya pastilah melahirkan output pro kontra pula. Harus diakui sampai saat ini masih berkelindan di tengah masyarakat suara antara : rasa kagum dan sikap mencemooh rezim Soeharto. Tingginya frekwensi perindu Soeharto melalui upaya politik membangun reinkarnasi success story kepemimpinan Soeharto boleh dikata berbanding lurus dengan suara dan sikap yang tetap keukeuh mencaci maki kepemimpinan tokoh Orde Baru (Orba) itu sebagai simbol otoriterianisme.
Sewaktu menyampaikan pidato perdananya sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, Senin (18/12/17)) Airlangga Hartarto mengakui posisi partai yang pada beberapa hasil survei turun ke posisi ketiga. Ia mengajak seluruh kader untuk sama-sama bersatu dan membawa kembali partai ke posisi atas. “Dengan niat baik dan mengedepankan kepentingan yang lebih besar kami memutuskan untuk bersatu dalam semangat penyelamatan partai,” kata AH panggilan akrab sang ketua umum. Pada masa – masa memasuki Munaslub Golkar medio Desember 2017, AH gencar mengkampanyekan tagline “Golkar Bersih”. Hasilnya menggembirakan elektabilitas Golkar naik menjadi 15%. Akan tetapi angka itu tidak bertahan lama, karena gerakan pembersihan tidak segencar janji kampanye. Hal mana telah menarik turun angka elektabilitas menjadi 7 – 9 persen sesuai hasil Survei Litbang Kompas yang dirilis 24 April 2108.
Nampaknya upaya AH membangun kembali soliditas Golkar diperkirakan, ibaratnya, masih harus menghadapi tikungan tajam dan tanjakan berliku politik jika dikaitkan dengan pernyataan Titiek Soeharto yang menegaskan : “Saya memutuskan untuk keluar dari Partai Golkar dan memilih untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui Partai Berkarya, masih kata Titiek sambil berucap lebih tegas. “Saya mohon pamit kepada teman – teman di DPR. Terima kasih untuk persahabatan dan kebersamaan kita selama ini, baik di Komisi IV, BKSAP maupun saat di rapat Paripurna. Saya pasti akan merindukan saat kebersamaan kita. Doakan kita bertemu lagi tahun depan. “I shall return” kata Titiek penuh makna.
Berbicara soal Berkarya, diperkirakan dan banyak diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti fungsi dan tugas pemulihan narasi kebangsaan yang melemah. Dan pemulihan harkat ekonomi kerakyatan yang berbasis petani yang digerus oleh praktek ekonomi neo liberal (neolib) di era reformasi ini.
Terkait dengan “kelemahan” Golkar tersebut di atas itulah rupanya yang sedang disasar sebagai ceruk pasar Berkarya. Dapatkah hal itu dikapitalisasi oleh mereka? Dengan cara bagaimana? Ini pulalah pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh Berkarya. Publik pun masih menanti terobosan petinggi Berkarya.
Pergeseran konstalasi politik saat ini, mengundang pertanyaan lain yang cukup penting. Langkah politik apakah yang akan diambil oleh preisden Jokowi untuk mengamankan tekad pendukungnya yang menghendaki dapat berlanjut lagi sebagai presiden pada Pilpres 2019?
Terus terang harus diakui bahwa kemulusan perjalanan Jokowi ke kursi presiden priode kedua bagi rakyat tidak terlalu masalah. Yang penting asalkan semuanya berjalan di atas koridor aturan sesuai perintah konstitusi. Perintah konstitusi itu analog sebagai perintah dari rakyat yang melembaga. Dari mana gangguan ketidak mulusan itu diperkirakan bisa muncul?
Berdasarkan catatan, dapat dikatakan sumber blunder yang belakangan ini banyak menimpa berbagai kebijakan pemerintah, justru bersumber dari langkah – langkah pembantu presiden. Baik di level kementerian maupun di tataran relawan. Mungkin presiden Jokowi perlu segera berkontemplasi untuk mengendalikan kecerobohan pembantunya. Terutama relawan yang terkadang sangat reaktif menangkis kritikan oposisi yang malah kebanyakan berbalik menjadi bumerang.
*Zainal Bintang, wartawan senior dan anggota Dewan Pakar Golkar