Ceknricek.com — Luhut Binsar Panjaitan terkesan tak konsisten. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ini ikut mendorong-dorong ekspor benih lobster. Ia menilai ekspor lobster berukuran di bawah 200 gram bisa menambah nilai ekspor Indonesia sekaligus menekan perdagangan ilegal. Pikiran ini berlawanan dengan konsep hilirisasi bijih nikel yang ia canangkan.
Sikap Luhut ini menyahuti, rencana Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo, untuk membuka keran ekspor baby lobster. Menteri pendahulunya Susi Pudjiastuti, melarang memperdagangkan si kecil ini ke luar negeri. Susi dan Luhut memang seringkali beda pendapat. Banyak urusan Susi direcoki Luhut. Luhut, misalnya, menentang kebijakan menenggelamkan kapal pencuri ikan.

Rupanya, dengan Edhy, Luhut ada kecocokan. Sebelumnya, Menteri Edhy juga sudah mewacanakan untuk menghentikan penenggelaman kapal. Menurut Edhy, daripada ditenggelamkan, kapal pencuri itu lebih baik diberikan kepada nelayan.
Kembali ke soal baby lobster. Luhut dibilang tidak konsisten, soalnya dalam kasus nikel ia amat getol bicara soal hilirisasi. Ekspor bijih nikel pun dilarang mulai Januari nanti. Hasil tambang boleh diekspor setelah diolah dulu di dalam negeri. Tujuannya, untuk mendapatkan nilai tambah.
Nah, dalam kasus nikel, Luhut amat agresif dan ngotot. Demi nilai tambah. Entah mengapa dalam kasus lobster dia mendukung ekspor baby lobster. “Daripada sekarang ini diselundupkan 80%, lebih bagus dikontrol,” dalihnya, kepada wartawan Kamis (12/12).
Rupanya data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menjadi rujukan Luhut. PPATK mengendus aliran dana penyelundupan benih lobster ke luar negeri mencapai Rp300 miliar-Rp900 miliar setiap tahun. Konon penyelundupan lobster amat masif. Nomor dua, setelah narkoba.
Lantaran itu pula, Menteri Edhy memanfaatkan keuntungan tersebut. Dia berpendapat kalau saja aktivitas ekspor benih lobster dilegalkan lewat suatu kebijakan, pemerintah dapat menarik pajak dan bea keluar dari komoditas tersebut.

Hanya saja, soal nilai tambah ada data lain yang patut menjadi pertimbangan. Ekonom UI Faisal Basri mengutarakan nilai ekspor lobster meningkat dari US$2,8 miliar menjadi US$3,25 miliar pada 2018. Itu lantaran hanya lobster dewasa yang boleh diekspor. Lobster hasil budidaya. Sementara, bila masih bentuk benih, nilai ekspornya cenderung mini.

Ekspor benih hanya akan memberikan keuntungan bagi negara yang berhasil melakukan budidaya lobster. Negara itu tentu akan mendapat nilai tambah. “Jadi, sekarang jual beli itu, nggak kita besarkan, ini gila,” sergah Faisal.
Susi juga menjelaskan ekspor lobster lebih menguntungkan ketimbang benihnya. “Benar kita harus ekspor bibitnya? Apa tidak lebih baik tunggu besar dan jual dengan harga lebih dari 30 kali?,” tulisnya dalam akun Twitter-nya.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti: Benih Lobster Tidak Boleh Lagi Ditangkap
Menurut Susi, nilai jual lobster, bukan benih, bisa melampaui harga motor Harley Davidson dan sepeda Brompton yang sempat diselundupkan pejabat BUMN beberapa waktu lalu. “1 backpack bibit lobster kurang lebih minimal 800 ekor, rupiahnya sama dengan dua Harley atau sama dengan 60 Brompton. Kalau bibit ini tidak diambil di laut dan jadi besar, nilainya jadi minimal 20 Harley atau sama dengan 600 Brompton. Tidak usah kasih makan, Tuhan yang pelihara, manusia bersabar, menjaga pengambilannya, Tuhan lipat gandakan,” terang Susi.
Mati Sia-sia
Sejauh ini, Edhy memang belum membuka keran ekspor jabang bayi lobster. Hanya saja kecenderungan ke arah sana sudah sangat kuat. Ia sudah menyusun deretan dalil. Dalil pertama misalnya, ia menyebut penyelundupan benih ekspor ke Vietnam marak terjadi. Itu terjadi karena harga baby lobster di Vietnam amat menggiurkan. Jika di Indonesia harga benih hanya Rp3.000-Rp5.000 per ekor di Vietnam bisa mencapai Rp139 ribu.

Edhy juga berdalih bahwa tidak semua benih lobster bisa dibudidayakan di Indonesia. Padahal, jika tidak dibudidayakan, maka benih bisa mati sia-sia. Ujung-ujungnya, tak bisa menjadi nilai tambah bagi nelayan, termasuk negara.
Lalu, menteri dari Gerindra ini berwacana, nantinya ekspor bibit lobster menggunakan sistem kuota. Ia mencontohkan, 50% dibudidayakan di dalam negeri, sekian persen digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar, dan sisanya diekspor. “Kalau ditanya sikap saya, saya maunya dibesarkan 100% di Indonesia. Karena itu potensi kita dan akan mendapat nilai tambah yang besar. Tetapi, ada masyarakat yang hidupnya bergantung mencari benih lobster itu, supaya dia bisa dapat uang, hidup,” ujarnya.

Presiden Joko Widodo juga cenderung sependapat dengan Edhy. Ia menilai perlu ada keseimbangan antara nilai ekonomi dan pemeliharaan lingkungan terkait kebijakan ekspor benih lobster. “Yang paling penting menurut saya negara mendapatkan manfaat, nelayan mendapatkan manfaat, lingkungan tidak rusak. Yang penting itu,” katanya di Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12).
Pemerintah, kata dia, tidak bisa hanya sekadar melarang ekspor. Tapi juga jangan sampai kebijakan ini menjadi berantakan ketika dijalankan. “Bukan hanya bilang ‘jangan’. Enggak. Mestinya keseimbangan itu yang diperlukan. Jangan juga aur-auran. Misal semua ditangkepin, semuanya diekspor, itu juga ndak benar,” katanya.
Bertahap
Kasus bibit lobster yang ganti menteri ganti kebijakan ini akibat pemerintah tak memiliki peta jalan (road map) yang jelas dalam pengembangan ekspor. Kini, pemerintah terdorong memaksimalkan ekspor karena neraca perdagangan kian tertekan. Jika sudah begitu, dalam benak pembantu presiden adalah yang penting ekspor, ekspor, dan ekspor.

Cara demikian, dalam jangka pendek mungkin bisa meningkatkan devisa. Tetapi, secara jangka panjang, sebenarnya belum tentu karena justru meminimalkan nilai ekspor dari budidaya dan hilirisasi.
Baca Juga: KKP Jalin Kerja Sama Kemaritiman dengan Maroko
Kendati demikian, patut juga mencermati kebijakan peninggalan Susi itu. Soal lobster, Susi sangat ekstrem. Tanpa kompromi. Ia tidak melakukan pelarangan ekspor secara bertahap. Akibatnya, ya itu tadi. Banyak nelayan dirugikan.

Kini, jika ekspor baby lobster harus dibuka, hendaknya dibuat lebih terencana. Misalnya, ekspor dibuka hanya untuk tiga tahun saja, kemudian secara bertahap keran ekspor ditutup setelah usaha pembudidayaan tumbuh.
Mesti pula dipertimbangkan bahwa dengan dibukanya keran ekspor lobster, pasok bibit di pasar internasional akan meningkat. Bila itu terjadi, otomatis harga juga akan turun. Itu sebabnya, penetapan kuota ekspor menjadi sebagai ide yang perlu dicoba. Jangan pula sembarang orang boleh mengekspor. Eksportir yang boleh mengirim ke negara tetangga, misalnya, hanya yang berhasil melakukan budidaya lobster. Bila perlu, eksportir harus punya keterkaitan dengan industri.
Di sisi lain, sembari membuka keran ekspor, pemerintah hendaknya lebih serius mengembangkan program budidaya dan menjamin anggaran budidaya. Selain itu, perlu juga menggalakkan program pembesaran lobster dalam negeri. Lakukan program tepat guna. Pelajari program yang selama ini tidak tepat.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.