Ceknricek.com — Achmad Djajadiningrat adalah golongan ningrat yang bekerja sebagai pangreh praja pada pemerintah kolonial, tapi di sisi lain mampu bersikap kritis dan mendorong pergerakan nasional di tanah jajahan.
Setelah beberapa tahun menempuh pendidikan pesantren di Karundang, tibalah saatnya Achmad Djajadiningrat melanjutkan pendidikan umum di sekolah swasta. Ada perasaan yang menghimpit dada Achmad ketika meninggalkan pendidikan Islam.
“Sesungguhnya amat berat bagiku untuk memutuskan ilmu yang sedang kutuntut, karena besar keinginanku untuk menjadi ulama besar yang terkenal. Tapi apa boleh buat, akhirnya saya tunduk kepada perintah ayah ibu,” tulis Djajadiningrat dalam bukunya, Memoar Pangeran Aria Djajadiningrat.
Keputusan lelaki kelahiran Pandeglang 16 Agustus 1877, ini kelak memperluas wawasannya setelah bertahap menempuh pendidikan di Inlandsche Tweede Klasse School, berlanjut ke Europeesche Lagere School (ELS) di Jalan Batu Tulis dan Kebon Sirih, hingga di Hoge Burgerlijk School (HBS) Gymnasium Batavia.
Baca Juga: Biografi SM Ardan: Pemotret Realitas Masyarakat Betawi
Achmad Djajadiningrat memang bukan turunan biasa, karena itulah ia dengan mudah dapat menempuh pendidikan Belanda. Dia merupakan anak Raden Bagoes Djajawinata, Bupati Serang yang berpikiran maju dan mementingkan pendidikan kolonial dibandingkan masyarakat elit pada waktu itu yang berpandangan negatif terhadap modernisasi.
Djajadiningrat akhirnya mendapat pendidikan modern, salah satunya dari Snouck Hurgronje, pakar orientalis studi Islam di zaman kolonial. Setelah lulus mula-mula ia magang di kantor kejaksaan Serang pada 1899, dan diangkat menjadi pegawai pangreh dengan posisi juru tulis Controuler Serang.
Proses karier Achmad cukup pesat, tak lama kemudian ia juga sempat menjadi Wedana di Bojanegara, hingga akhirnya diangkat sebagai Bupati Serang pada 1901, untuk menggantikan ayahnya. Dia pun menjadi Bupati yang tidak hanya sekadar memimpin rakyat, melainkan juga turut bersinergi dalam gerakan kebangsaan.
Turut Bersimpati pada Pergerakan
Selama ini banyak orang menganggap bahwa orang yang berada dalam “genggaman” pemerintah Hindia Belanda kerap dinyatakan tidak memiliki kontribusi bagi perjuangan kemerdekaan atau sering dianggap sebagai lawan politik.
Hal itu sepertinya tidak berlaku bagi Achmad Djajadiningrat. Baginya, upaya pencerdasan terhadap pribumi juga perlu dilakukan untuk mendorong tumbuhnya gerakan kebangsaan di Hindia Belanda agar segera “melek” terhadap apa yang menimpa mereka.
Ketika menjadi Bupati inilah, Achmad akhirnya mendirikan himpunan untuk Landbouw Bedrijff School (sekolah pengusahaan pertanian) di Serang untuk menyikapi mahalnya pendidikan bagi masyarakat.
selain itu ia juga memiliki peran penting dengan didirikannya Sarekat Islam (SI) di Banten, oleh Raden Gunawan yang menghadap padanya untuk meminta izin, hingga dengan leluasa Sarekat Islam dapat berkembang di sana.

Baca Juga: Misteri Kematian ‘Jalak Harupat’ Otto Iskandar Dinata
Kisah lain tentang dukungan Achmad Djadjadiningrat terhadap pergerakan juga diceritakan oleh M Tabrani yang pada waktu itu merupakan murid di Opleiding School Voor Indische Ambtenaren (OSVIA).
Suatu hari, Tabrani diancam akan dikeluarkan dari sekolah karena turut aktif dalam organisasi Jong Java yang didirikan oleh Satiman Wirosandjojo, namun sebelum pergi jauh sang direktur berkata padanya, “Apakah kau tidak mempunyai sesuatu keinginan atau harapan dari saya, sebelum kau meninggalkan OSVIA?”
“Hendaknya tuan minta pertimbangan lebih dahulu dari Bupati Serang, Pangeran Achmad Djajadiningrat sebelum tuan mengizinkan saya berhenti sebagai murid OSVIA Serang. Kalau beliau berpendapat bahwa saya harus keluar, dengan ihklas akan saya junjung tinggi keputusan beliau,” jawab Tabrani dalam artikel berjudul Macan Banten Dikurung Belanda di Betawi yang dimuat Berita Buana (1974).
Singkat cerita, berkat campur tangan Bupati Achmad Djajadiningrat, Tabrani akhirnya dapat melanjutkan kembali bersekolah di OSVIA dan tentu saja tetap aktif di Jong Java. Menurut Tabrani, keputusan yang diambil Achmad Djajadiningrat merupakan keputusan yang bijaksana.
Akhir Hayat Bupati Achmad Djajadiningrat
Achmad Djajadiningrat menjabat sebagai Bupati Serang hingga 1924, untuk kemudian dipindahkan ke Batavia oleh pemerintah kolonial sebagai siasat politik agar menjauh dari rakyatnya di Banten. Siasat ini juga dimaksudkan agar Sang Macan Banten semakin mudah dikontrol pergerakannya.
Selain menjabat sebagi Bupati, tokoh yang dihormati masyarakat Pandeglang ini juga pernah menjadi anggota Volksraad dari kalangan himpunan bupati atau Nederlandsche Indische Vrijzennige Bond yang didirikan pada tahun 1916. Di sini Achmad mewakili golongan konservatif yang banyak mendorong organisasi tersebut agar terlibat dalam politik.
Meski demikian, sejak tahun 1930, Achmad mengajukan pensiun dari pemerintahan dikarenakan sering sakit-sakitan. Kurang dari dua dasawarsa kemudian, pada 22 Desember 1943, atau tepat hari ini 76 tahun yang lalu, Achmad Djajadiningrat wafat dalam usia 66 tahun.
Selama hidupnya Achmad Djajadiningrat menikah dua kali, yakni dengan Raden Ajeng Lenggang Kencana dan Raden Ajeng Soewitaningrat. Dari pernikahan ini ia dikarunia dua orang anak dari istri pertama (meninggal 1901) dan delapan anak dari istri kedua.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.