Ceknricek.com – NAMA Megawati Soekarnoputeri makin santer disebut terlibat kasus SKL-BLBI. Sebagai presiden ke-5 RI, dialah figur yang memainkan peranan penting dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diberikan BPPN kepada Konglomerat Sjamsul Nursalim.
Ihwal itu diungkapkan blak-blakan oleh Kwik Kian Gie, mantan Menko Ekuin Kabinet Gotong Royong pemerintahan Megawati, Kamis lalu (5/7/17) ketika memberi kesaksian di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.
Pengadilan perkara korupsi itu sedang mengadili Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan (BPPN), yang didakwa jaksa telah merugikan negara sebesar Rp 4,5 triliun, antara lain, karena menerbitkan SKL-BLBI buat Sjamsul Nursalim, pemilik dan pemegang saham pengendali BDNI.
Lewat banknya, BDNI, Sjamsul menerima dana BLBI sebesar Rp 37 triliun pada 29 Januari 1999. Yakni, sekitar setahun setelah bank itu dibekukan operasionalnya gara-gara hantaman krisis ekonomi masa itu.
Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memang disalurkan BI kepada sejumlah bank yang oleng karena terjangan krisis ekonomi. Selain BDNI setidaknya 44 bank lain juga mendapat BLBI.
Jumlah dana yang disalurkan BI ke semua bank itu berkisar Rp 300 triliun. Luar biasa besar.
Belakangan, baru diketahui, paling banyak hanya separuh dari dana BLBI yang sudah dikeluarkan, bisa kembali ke kas negara. Akibat pelbagai “ketidak beresan dan permainan” dalam proses pemberiannya. Pelakunya diduga para pejabat di birokrasi dan para pemilik bank.
Yang menyakitkan hati, setelah mendapat suntikan dana talangan triliunan rupiah, banyak pengusaha kakap masih bertingkah. Ada yang mengemplang utang dan ada juga yang buron ke luar. Sempat tercatat ada sembilan konglomerat buron ke luar negeri pasca menikmati BLBI. Publik berhak marah dan kesal atas ulah para obligor BLBI itu.
Permainan Pasien BPPN.
Apalagi setelah BPPN dibentuk. Tujuannya jelas. Untuk menyehatkan bank-bank yang doyong karena krisis ekonomi dan moneter. Maka, para obligor itu pun menjadi “pasien” BPPN.
Dalam proses pengobatannya publik kaget lagi. Lantaran kelak berseliweran cerita negatif. Para pengutang alias obligor banyak yang pasrah dan tak mampu membayar utangnya. Mereka pun berbondong menyerahkan aset mereka. Celakanya, banyak yang nakal dan “bermain” dengan oknum di BPPN. Macan-macam caranya. Ada yang mengakali nilai aset yang sudah mereka serahkan. Aset itu lalu dibeli lagi lewat unit usaha lain dengan harga murah. Banyak juga yang melambungkan nilai aset jauh diatas taksasi pasar. Intinya, hampir semua obligornya punya akal bulus. Dan hanya sedikit yang koperatif. Dalam arti mau mengembalikan dana talangan BLBI sesuai besar dana yang mereka pinjam. Kebanyakan melalui lobi masing-masing, terus berikhtiar minta diskon atau istilah kerennya: hair cut.
Gilanya, pemerintahan Megawati yang menggantikan Presiden Gus Dur, mulai 10 Agustus 2001, malah mau “berdamai” dengan para obligor BLBI itu. Yakni, melalui kebijakan SKL.
Pengakuan Kwik Kian Gie.
Ekonom PDIP Kwik Kian Gie yang sejak awal menentang kebijakan itu, menuturkan di pengadilan, proses penerbitan SKL-BLBI awalnya dibahas di rumah Presiden Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta. “Setidaknya ada tiga kali rapat membahas penerbitan SKL-BLBI. Dua kali rapat bisa saya gagalkan,” katanya.
Pada rapat ketiga di Sidang Terbatas Kabinet, dia mengaku kalah. “Karena saya menghadapi apa yang saya sebut dengan serangan Total Football,” ujar Kwik. Itulah serangan dari para koleganya sesama menteri.
Kwik tidak menyebut nama. Tapi ada catatan, sebelum memutuskan kebijakan SKL-BLBI itu, Megawati mendapat pelbagai masukan. Dari beberapa menterinya. Yaitu, para mantan: Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Selain suaminya sendiri Mendiang Taufik Kiemas.
Begitulah. Rapat terakhir yang dipimpin Presiden Megawati akhirnya menyetujuinya diberlakukannya kebijakan SKL. Sebenarnya kebijakan itu ditujukan untuk para obligor BLBI yang koperatif dalam melunasi utang BLBI. Tapi, dalam praktik, bisa muncul perbedaan dalam penilaian koperatif tadi.
Terkait penilaian atas obligor Sjamsul Nursalim, misalnya. Kwik Kian Gie sempat berbeda pendapat
dengan Megawati. Kwik menilai Sjamsul, pemilik kelompok usaha Gajah Tunggal Group itu, bukanlah obligor koperatif. Namun, Megawati setelah mendapat masukan dari BPPN berpendapat sebaliknya.
Memang, di tataran operasional yang menentukan koperatif atau tidaknya obligor BLBI adalah BPPN. Lembaga penyehatan perbankan itulah— berpayung Inpres no 8 tahun 2002— yang kemudian menerbitkan SKL kepada Sjamsul Nursalim.
“Misrepresentasi” BPPN
KPK belakangan mendapat laporan dan masukan dari berbagai pihak tentang adanya “misrepresentasi” yang dilakukan BPPN dalam mengeluarkan SKL untuk Sjamsul.
Menurut jaksa, Syafruddin melalui BPPN yang dipimpinnya telah melakukan langkah yang merugikan negara karena menghapuskan catatan piutang Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Penghapusan itu dilaksanakan dengan membuat laporan seolah-olah seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI telah terpenuhi.
Apa pun, proses persidangan kasus korupsi SKL-BLBI ini kembali menarik perhatian publik. Antara lain, karena terus bermunculan keterangan dari para saksi, di antaranya para mantan menteri di masa pemerintahan Megawati berkaitan dengan SKL-BLBI.
Adagium: Kebijakan Tidak Bisa Diadili.
Selain Kwik Kian, pernah tampil Laksamana Sukardi, Dorojatun Kuntjoro Jakti dan Budiono. Mereka inilah yang berbeda pendapat dengan Kwik Kian Gie. Secara umum pendapat mereka sama. Bahwa penerbitan SKL adalah yang perlu guna mempercepat penyelesaian utang para obligor BLBI. Itu karena kondisi keuangan pemerintah yang kala itu lagi cekak.
Dengan alasan itu, pemerintahan Megawati agaknya mau mengunakan adagium hukum administrasi negara: suatu kebijakan tidak dapat diadili. Prinsip ini biasanya dikaitkan dengan upaya melindungi para pejabat publik dari tuntutan hukum pasca memberlakukan suatu kebijakan.
Adagium serupa juga pernah disebut-sebut dalam kasus atau skandal Bank Century dalam masa pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada sejumlah pelaksana kebijaksanaan pemberian dana talangan sebesar Rp 6, 7 triliun ke bank swasta itu dijerat KPK dan kemudian masuk bui. Tapi, perancang dan pemutus kebijakan itu sampai sekarang tidak diproses hukum.
Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan mereka mengikuti adagium klasik tadi. Makanya: “KPK tidak menyorot kebijakan SKL. Tapi menyorot pelaksanaan kebijakan SKL,” katanya.
Akhirnya, berpedoman pada prinsip itu KPK mengusut Syafrudin Arsyad Temenggung. Ia dituduh melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan penerbitan SKL-BLBI yang diberikan BPPN pada Sjamsul Nursalim.
Perkara ini masih terus berjalan. Sjafruddin Arsyad dan tim penasihat hukumnya tetap berupaya keras meloloskan diri dari jerat hukum.
Teoritis kalau kebijakan SKL BLBK murni demi mempercepat kembalinya uang negara, Megawati akan aman. Tidak akan terjerat hukum. Masalahnya, benarkah kebijakan tersebut bersih dari kepentingan lain?
Pertemuan Taufik Kiemas-Sjamsul Nursalim di Melbourne.
Dari Melbourne, Australia, Sabtu lalu (7/7) muncul informasi yang mencurigai kebijakan SKL-BLBI sebenarnya sudah dibahas dulu di Melbourne pada seputar akhir tahun 2001 sebelum diterbitkan.
Pemberi informasi itu wartawan/broadcaster senior Indonesia Nuim Khaiyath. Melalui kesaksiannya lewat rekaman video yang viral di media sosial, broadcaster radio berusia 74 tahun itu mengatakan, berdasarkan apa yang disaksikannya sekitar 16 tahun lalu, ia yakin ihwal SKL itu sudah dibahas Sjamsul Nursalim dengan Taufik Kiemas alias TK, suami Presiden Megawati di Melbourne, sebelum diterbitkan.
Nuim yang puluhan tahun bekerja di Radio Australia (ABC) Seksi Indonesia itu menceritakan. “ Saya waktu itu masih menjadi broadcaster dan kenal dengan Taufik.”
Nuim mendapat informasi, TK ditemani puterinya Puan Maharani disebutkan akan ke Perth. Mau memeriksa kesehatan. Tapi, ia heran, rombongan TK tiba-tibaa muncul di Melbourne.
“ Di sini, TK bertemu dengan Sjamsul Nursalim,” ujar Nuim.
Wartawan asal Medan itu mengatakan, dia sebenarnya ingin bertemu dan mewawancarai TK.
“ Tapi, waktu itu saya dicegah dan tidak boleh bertemu TK.”
Nah, setelah itu. “Tak berapa lama setelah pertemuan tadi, Sjamsul Nursalim menerima SKL. Surat Keterangan Lunas utang,” tambah Nuim.
Ia menduga pertemuan TK dan Sjamsul di Melbourne itu memang sudah dirancang sebelumnya. Sebab, Sjamsul sebelumnya sering diberitakan sakit di Singapura. Tidak bisa terbang ke Jakarta yang lama penerbangannya cuma sekitar 1 jam lebih. “Tapi untuk bertemu TK di Melbourne, dia sanggup terbang selama tujuh jam lebih.”
Itu pertemuan luar biasa. Nuim menceritakan, rombongan TK dan Puan menyewa penuh dua lantai di Hyatt Hotel. “Termasuk satu bioskop. Semua kursinya dibeli untuk diberikan kepada para penonton Indonesia. Bangga juga kita waktu itu sebagai orang Indonesia,” sindir Nuim.
Benarkah informasi Nuim itu? Belum ada respon dari Megawati. Atas kesaksian Kwik di pengadilan Tipikor. Atau atas informasi yang dibeberkan Nuim Khaiyath dari Melbourne. Puterinya Puan Maharani yang disebut Nuim Khaiyath ikut mendampingi ayahnya Taufik Kiemas ke Melbourne, belum sempat merespon informasi itu. Kepada Ilham Bintang dari ceknricek.com yang tadi siang meminta waktu mewawancarai via WhatsApp, Puan hanya menjawab singkat: “Sorry, saya masih rapat.”
Sampai malam ketika tulisan ini mau diterbitkan, Puan Maharani tetap belum menanggapi kesaksian Nuim Khaiyath yang dikirim ceknricek.com ke WAnya.
Tanggapan KPK.
Merespon semua informasi, baik dari sidang perkara Tipikor SKL-BLBI, mau pun di luar persidangan, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK akan mempelajari semua informasi itu dan menjadikannya sebagai masukan untuk didalami.
Toh, sama hal dengan kasus Bank Century, kasus skandal korupsi bernilai besar, tetap membidik para pelaksana di lapangan. Bukan para perancang utamanya. Ada adagium yang diam- diam dianut KPK: bos besar tak perlu diusut dan diperiksa. Apalagi masuk penjara.