Ceknricek.com – PERISTIWA bom Thamrin 14 Januari 2016 lalu difilmkan. Aksi teror yang sempat mencekam warga Jakarta itu menginspirasi lahirnya sebuah film layar lebar. Judulnya: ’22 Menit’.
Film bergenre drama aksi ini diperkenalkan kepada wartawan, Senin (16/7/17) di XXI Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan.
Film ini digarap oleh sutradara Eugene Panji dan Myrna. Sedangkan Husein M. Atmojo dan Gunawan Raharja bertindak sebagai penulis naskah. Mereka sepakat untuk menukilkan nilai-nilai kemanusiaan terkait peristiwa teror tersebut.
Intinya ingin mengangkat keberanian warga Ibu Kota dan kesigapan para aparat kepolisian dalam mengatasi serangan teroris.
Judul ’22 Menit’ dipilih Eugene dengan konteks hanya dalam 22 menit, polisi bisa menumpas terorisme di pusat Jakarta. Ia melakukan riset selama satu setengah tahun untuk mendalami detail peristiwa tersebut. Sebelumnya, dirinya juga sempat membuat kampanye kecil di Facebook.
“Prestasi 22 menit tersebut kita jadikan judul film. Kami bikin film ini sangat berhati-hati karena agak sensitif. Karena bicara teroris pasti ada saja yang tidak suka. Akhirnya kita bikin dari sisi humanisme,” ucap Eugene kepada ceknricek.com.
Eugene Panji menambahkan, ia merekonstruksi peristiwa bom Thamrin pada film produksi Buttonijo ini. Di situ kesulitan yang dirasakan olehnya. Sebab tim produksi harus membuat lokasi sedetail mungkin seperti tempat kejadian.
“Kalau memindah lokasi karena bentuk gedungnya tidak pernah berubah. Akhirnya tim produksi minta maaf sempat membuat macet dan dimaki-maki, kami meminta maaf. paling berat gimana kita merekonstruksi adegan di pos polisi,” jelasnya.
Film ’22 Menit’ yang akan tayang pada 19 Juli 2018 dibintangi oleh Ario Bayu (Ardi) Ardina Rasti (Dessy), Hana Malasan (Mitha), Taskya Namya (Shinta) sebagai kekasih Firman.
Ada pesan film ini. Bahwa terorisme bukan sebuah kebetulan. Tugas aparat masih berat. Karena terorisme belum selesai.Tidak hanya Indonesia tapi juga di dunia.
Film ini dimasukkan untuk kategori usia 13+. Itu karena target yang ingin dituju adalah anak-anak usia sekolah. Maklum, terorisme memang menyisip masuk, antara lain, ke di dunia sekolah.
“Bahaya terorisme bukan hanya pada orang dewasa, tapi juga anak kecil. Saya tidak tertarik dengan politik dan agama. Makanya saya ambil sisi humanisme,” tutup Eugene.