Ceknricek.com — Insiden perusakan musala di Desa Tumaluntung, Minahasa Utara, tak bisa dianggap peristiwa remeh. Insiden ini bisa menjadi bara. Bisa menjadi pemicu yang dahsyat terobeknya kerukunan antar umat beragama. Itu sebabnya, penanganan masalah tersebut mesti adil dan ekstra hati-hati.
Video yang berisi sekelompok orang merusak tempat beribadah umat Islam, tengah viral belakangan ini. Video itu menampilkan gambar kejadian perusakan Musala Al Hidayah, di Perum Agape, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Bagi umat Islam yang menyaksikan video tersebut, tentu saja mengusik emosi mereka. “Jangan hanya berteriak ‘saya Pancasila’ tapi nihil dari sifat-sifat kelima sila tersebut,” ucap Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat, Anton Tabah, seperti dikutip Suara.com, menanggapi video tersebut.
Kini, setidaknya ada lima orang tersangka perusakan musala itu. Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi sendiri berjanji akan memproses izin pendirian musala tersebut.
Sejatinya, Musala Al-Hidayah sudah mengantongi izin yakni berupa izin pendirian rumah ibadah dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Minahasa Utara. Rekomendasi tertuang dalam surat bernomor B-263/KK.23.13.2/BA.00.1/01/2020 yang ditandatangani Kepala Kantor Kemenag Minahasa Utara Anneke M Purukan.
Merusak Kerukunan Umat
Penolakan pembangunan rumah ibadah seringkali menimpa umat Islam di daerah muslim minoritas. Jauh sebelum ini, sejumlah elemen masyarakat non-Muslim di Kota Bitung, Sulawesi Utara, menolak pembangunan Masjid Asy-Syuhada. Menurut perwakilan Masjid Asy-Syuhada, Karmin Mayau, dalam 10 tahun terakhir, umat Islam kesulitan dalam mendapatkan izin membangun masjid.
Baca Juga: Ribuan Umat Lintas Agama Gelar Gerak Jalan Kerukunan untuk Indonesia
Pada akhir 2015, warga Manokwari yang sebagian besar berasal dari Gereja Kristen Injili juga menolak pembangunan masjid di Kompleks Anday, Distrik Manokwari Selatan, Papua Barat. Mereka melakukan demo. Mereka menilai pembangunan masjid di lokasi itu akan merusak kerukunan umat beragama di Manokwari. Alasannya, tempat itu merupakan pintu masuk pertama agama Kristen ke Papua.
Bahkan, umat Islam di Kabupaten Tolikara, Papua, pernah merasakan langsung teror ketika pelaksanaan ibadah. Pada 17 Juli 2015, sekelompok warga yang diduga dari Gereja Injili di Indonesia meminta umat Islam menghentikan Salat Idul Fitri. Aksi massa tidak sampai di situ, mereka membakar masjid, enam rumah dan 11 kios.
Berakhir Damai
Konflik pendirian tempat ibadah memang banyak terjadi di banyak daerah. Di Bekasi Jawa Barat, misalnya, sempat terjadi penolakan pendirian Gereja Santa Clara. Namun, konflik ini berakhir damai. Kini, Gereja Santa Clara berdiri megah di Bekasi Utara.
Selain Santa Clara, ada tiga gereja lain yang pembangunannya diprotes dan mendapatkan aksi penolakan di Bekasi. Ketiga gereja adalah Galilea di Kelurahan Jakasetia, Stanislaus Koska di Kecamatan Jatisampurna dan Manseng di Kecamatan Bekasi Utara. Semua masalah ini berakhir damai. Keberadaan mereka diterima oleh masyarakat.

Baca Juga: Peresmian Gereja Santa Clara di Tengah Takbir Idul Adha
Setara Institute berpendapat jika regulasi mengenai pendirian rumah ibadah tidak direvisi, peristiwa seperti itu akan terus berulang. Setara mengungkap sejak tahun 2007 hingga 2018, terdapat 199 kasus gangguan beribadah pada umat Kristiani. Bentuk gangguan itu, antara lain mencakup penyegelan gereja hingga intimidasi masyarakat.
Gangguan itu kerap terjadi sejak diberlakukannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Dalam regulasi tersebut diatur bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat. Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Ketiga, diatur pula bahwa permohonan pendirian rumah ibadat harus diajukan kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.
Persetujuan masyarakat dan IMB ini, sering menjadi alasan penyegelan atau penolakan suatu rumah ibadah. Peraturan ini tidak hanya berdampak pada umat Kristiani, melainkan juga berdampak kepada umat muslim, saat mereka menjadi umat minoritas di suatu wilayah. Contohnya, Setara mencatat, ada sebuah masjid di Kecamatan Mapanget, Manado, wilayah dengan mayoritas Kristen, yang tak kunjung mendapat IMB.
Itu sebabnya, wajar saja jika banyak pihak mendorong agar pemerintah segera mengubah peraturan itu. Jika tidak, peristiwa seperti di Minahasa Utara itu akan terus berulang.
Prinsipnya, regulasi mendirikan rumah ibadah itu penting untuk menjamin ketertiban umum. Masalahnya, pemerintah daerah kerap memiliki tafsir berbeda mengenai peraturan tersebut. Ada implementasi yang tidak pas yang berimplikasi pada pembatasan rumah ibadah pada kelompok-kelompok tertentu. Ini yang menjadi masalah.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini