Ceknricek.com — Bayang-bayang resesi mulai mengancam berbagai negara, termasuk Indonesia. Di sisi lain, pemerintah justru berencana mencekik rakyat. Iuran BPJS akan naik, tarif tol bakal disesuaikan, sudah begitu subsidi energi dipangkas Rp12 triliun. Pajak-pajak akan makin diburu. Lalu, subsidi energi bakal dipangkas.
APBN yang disusun bukannya menjadi stimulus ekonomi, justru menjadi terkontraksi pada 2020 mendatang. APBN hanya untuk membela dirinya sendiri. Naga-naganya, pengusaha kecil bakal berguguran jika resesi datang.
Soal pemangkasan subsidi sudah tertuang dalam RAPBN 2020. Jika RAPBN tetap seperti itu maka akan berdampak langsung pada para pemilik usaha mikro, kecil dan menengah atau UMKM. Sebab, hingga saat ini keuntungan yang didapat si kecil ini masih tergantung dari pengeluaran energi.
Zaman dulu, UMKM menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi. Lalu, mereka beralih ke LPG 3 kg yang mendapat subsidi dari pemerintah. Begitu pula dengan listrik. Jika dulu para pelaku UMKM hanya berani memakai listrik 450 VA, saat ini mereka beralih ke 900 VA. Itu sebabnya, dengan adanya rencana pencabutan subsidi, maka bisnis mereka bisa kembali ke titik awal.
Hingga kini, sektor UMKM belum kuat untuk menghadapi pengurangan subsidi, sebagai dampak dari ancaman resesi ekonomi global.
Baca Juga: Pajak RAPBN 2020: Optimistis di Rencana, Pesimistis di Realita
Resesi akan membuat perusahaan bangkrut, sebagaian mengurangi karyawannya. Ada yang berpendapat masyarakat tak usah khawatir resesi ekonomi dunia, karena kalau di-PHK bisa menjadi pedagang online, jadi ojol, dan sebagainya.
Mereka lupa bahwa e-commerce itu modalnya sebagian besar disuntik dari modal asing. Dan modal asing itu sangat mempertimbangkan gejolak ekonomi global.
Jika terjadi resesi ekonomi, maka pemodal itu bakal pergi dan menyelamatkan diri ke rumah masing-masing. Ibaratnya, kalau rumahnya kebakaran apakah tak menyelamatkan rumahnya dulu. Begitu juga soal ancaman resesi ini.
Menyebar
Resesi merupakan kontraksi perekonomian selama dua kuartal berturut-turut. Beberapa negara di dunia sedang mengalami resesi. Jerman, Singapura, Argentina, Meksiko, dan Brasil ditengarai tengah menghadapi situasi sulit dalam perekonomiannya. Motor penggerak perekonomian Asia pun juga mulai goyah, seperti Tiongkok dan India.
Lalu, bagaimana sejatinya kondisi ekonomi global saat ini? Pelacak produk domestik bruto global Bloomberg Economics menunjukkan laju ekspansi telah melambat menjadi 2,2% pada kuartal ketiga, turun dari 4,7% pada awal 2018.
Bos baru IMF, Kristalina Georgieva, memperlihatkan kekhawatirannya. “Saya melihat adanya risiko serius bahwa perlambatan akan menyebar,” ujarnya, seperti dikutip Bloomberg, Minggu (13/10). IMF diperkirakan memangkas perkiraan pertumbuhan global 2019 dari proyeksi sebelumnya pada kisaran 3,2%, yang merupakan laju terlemah sejak 2009.
Di sisi lain, pedagang obligasi dilanda kekhawatiran. Obligasi senilai US$14 triliun memiliki imbal hasil negatif. Sebaliknya, investor ekuitas telah mendorong MSCI World Index naik 14% tahun ini.
Tom Orlik, Kepala Ekonom di Bloomberg Economics, mengatakan banyak yang harus diperbaiki agar dunia terhindar dari perlambatan besar.
Perang dagang, pelemahan manufaktur, isu geopolitik, tekanan pada profit, pengetatan kebijakan moneter, dan pemerintah yang kurang aktif bergerak merupakan sejumlah alasan yang patut diperhatikan untuk menghadapi risiko perlambatan yang meluas.
Tidak diragukan lagi, produsen adalah korban perang dagang terbesar, dan aktivitas global telah mengalami kontraksi selama 5 bulan berturut-turut.
IMF adalah satu di antara lembaga internasional lainnya yang mendesak pemerintah untuk melonggarkan anggaran, tetapi sejumlah tanda menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan bersifat reaktif bukan proaktif.
Penerimaan Turun
Lalu, bagaimana dengan ekonomi Indonesia? Bank Dunia memproyeksikan, tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5%. Sedangkan tahun depan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya sebesar 5,1%.
Baca Juga: Bank Dunia Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Ini 5,1%
Perlu disadari, bahwa perekonomian Indonesia masih rapuh. Daya beli masyarakat sangat lemah. Kinerja penerimaan negara pada 2019 mengkhawatirkan, karena realisasinya lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Sepanjang Januari hingga Agustus, penerimaan negara dan hibah baru mencapai 55%. Angka itu turun dibanding periode yang sama tahun lalu yang sudah mencapai 61%. Dalam kondisi tersebut, defisit anggaran hingga akhir 2019 kemungkinan mencapai Rp305 triliun.
Akibat kondisi ini, pemerintah berpeluang semakin rajin mencari utang yang lebih besar untuk menutup defisit anggaran. Utang selalu jadi solusi. Padahal saat ini, risikonya semakin tinggi.
Resesi yang mengancam Indonesia juga didukung melebarnya defisit transaksi berjalan di kuartal II tahun 2019. Defisit mencapai US$8,4 miliar. Sehingga rupiah rentan melemah jika terjadi aksi spekulasi.
Ekonomi Indonesia saat ini seperti tubuh manusia yang kondisinya sedang meriang. Seluruh persendian terasa nyeri. Namun obat generik yang diberikan masih sama: ilusi.
BACA JUGA: Cek HUKUM, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.