Ceknricek.com — Pasukan Marsose pimpinan W.J. Mosselman berlari mengendap-ngendap di dalam hutan belantara Aceh. Sosok perempuan cantik beserta pengawalnya itu pun terkepung.
Namun, dengan matanya yang menyala-nyala, perempuan itu malah menyerbu pasukan Ratu Wilhelmina dengan kelewangnya. Ia siap mati sebagai seorang syahid.
Perempuan pemberani itu adalah Cut Meutia. Mutiara pahlawan dari Serambi Mekah. Ia gugur tertembus timah panas hari ini 109 tahun yang lalu, tepatnya pada 24 Oktober 1910.
Balada Cinta Cut Meutia
Cut Nyak Meutia dilahirkan di Keureutoe, Pirak (Perlak), Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara, pada 1870. Belum diketahui waktu tepatnya ia membuka mata untuk pertama kali di dunia.
Jelasnya, dikutip dari buku Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya (1993), Meutia lahir tiga tahun sebelum pecahnya perang Aceh-Belanda (hlm. 47). Ia lahir dari pasangan Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah.

Kompilasi Sejarah dan Budaya Aceh menuliskan, Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki.
Baca Juga: Mengenang Bu Kasur, Legenda Pendidik Anak-anak Indonesia
Ayahnya adalah seoreng Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe. Sejak kecil Cut Meutia sudah amat akrab dengan nuansa pertempuran.
Perang Aceh ternyata berkecamuk sangat lama, dimulai pada 1873 dan berlangsung hingga lebih dari tiga dekade kemudian (1904). Sepanjang hidupnya Cut Meutia telah menikah tiga kali yang beberapa di antaranya menemaninya ke medan perang.

Parasnya memang cantik dan anggun. HC. Zentgraaff, seorang penulis dari Belanda bahkan pernah menuliskan kesan sekaligus kekagumannya untuk perempuan ini dalam buku Atjeh Geschreven door en oud Atjehmen (1938) yang diterbitkan ulang pada 1985.
“Cut Meutia bukan saja amat cantik parasnya, tetapi ia memiliki tubuh yang indah… wanita itu benar-benar seorang bidadari yang mempesona. Namanya bersesuaian dengan penampilannya yang seperti mutiara.”
Di masyarakat Aceh, Meutia memang berarti mutiara. Cut Meutia menikah pertama kali dengan Teuku Syamsarif pada tahun 1870 saat Ia berusia 20 tahun. Namun pernikahan ini tidak bertahan lama.
Sikap lemahnya sang suami terhadap Belanda menjadi pemicu perceraian mereka. Terlebih ketika Syamsarif diangkat oleh Belanda sebagai pejabat tinggi dengan gelar Teuku Chik Bintara dengan membawahi wilayah Keureutoe.
Cut Meutia kemudian memilih untuk kembali pulang ke rumah orangtuanya. Perkawinan mereka dianggap usai lantaran Teuku Syamsarif tidak pernah menjenguk serta menafkahinya. Selepas itu, Cut Meutia ingin berjuang melawan Belanda. Namun keinginan itu tidak segera terkabul.
Dirinya kini berstatus sebagai janda. Seorang perempuan yang belum atau tidak bersuami tidak boleh sembarangan berkeliaran. Hingga akhirnya Ia dilamar oleh Teuku Chik Muhammad atau Teuku Chik Thunong , salah satu orang yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dari sinilah kisah perjuangan Cut Meutia dimulai.
Perempuan Dalam Gerilya
Awal abad ke-20 menjadi titik penting dalam sejarah Aceh di mana dimana Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah (Sultan terakhir Aceh yang berdaulat) memimpin Serambi Mekah untuk mempertahankan kedaulatan Aceh dari tangan Belanda.
Baca Juga: Kartini, Sosok Benderang yang Melintasi Sejarah
Spirit rakyat Aceh dan tentu saja di antaranya Cut Meutia pun ikut terlecut mendengar pekik raja ke-33 yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam itu. Cut Meutia dan Teuku Chik Muhammad kemudian turut ikut berperang melawan kompeni di berbagai medan perang di kawasan Aceh Utara.
Pada mulanya perang frontal dan disusul gerilya di pegunungan dan hutan-hutan Pasai. Tercatat, sepanjang tahun 1901, 1902, dan 1905, Belanda kewalahan menghadapi serangan-serangan sporadis yang dilakukan oleh Cut Meutia dan suaminya ketika menyerbu dan mencegat patroli hanya bermodalkan nyali dan rencong.
Perang pun berjalan terus semakin dahsyat. Sampai akhirnya Teuku Chik Muhammad tertawan oleh Belanda pada 1905 setelah Belanda mengamuk karena makin banyaknya prajurit mereka yang gugur saat berpatroli. Kemarahan inilah yang membuat Belanda lebih intensif memburu Thunong dan pasukannya.
Sebelum dieksekusi pada Maret 1905, seperti dikutip dari buku Cut Meutia: Pahlawan Nasional dan Puteranya (1979) karya Ismail Yakub, Teuku Chik Tunong menitipkan pesan terakhir kepada sahabatnya, Pang Nanggroe, dengan mengucapkan kalimat wasiat:
“[…] sudah tiba masanya aku tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau, dan teruskanlah perjuangan.”
Baca Juga: Kiprah Hidup Suzzanna, Sang Ratu Horor Indonesia
Sesuai amanat almarhum, Pang Nanggroe lalu menikahi Cut Meutia. Tidak ada yang tahu pasti kapan pernikahan mereka berlangsung, namun diperkirakan pada 1907. Perjuangan mereka untuk melawan Belanda pun dilanjutkan dengan dikomandoi oleh Pang Nanggroe dan Cut Meutia yang berkali-kali kembali membuat repot Belanda.
Kehilangan Suami Untuk Ketiga Kalinya
Kabar terjadinya eksekusi terhadap Teuku Chik Thunong memicu gejolak di hati para pemimpin Aceh dan rakyat karena Belanda dianggap menjatuhkan hukuman tanpa mendengar kesaksian yang dapat meringankan Thunong.
Pasukan-pasukan kembali diorganisir. Mereka kembali masuk ke hutan. Cut Meutia bersama sang suami Pang Naggroe dan anaknya Teuku Raja Sabi yang masih kecil selapik seketiduran, sebantal sekalang hulu, turut bergerilya memasuki rimbunan hutan bersama pasukan.
Pertempuran demi pertempuran kemudian terjadi di beberapa tempat di Aceh. Namun, nasib lagi-lagi dengan telak menghantam Mutiara Aceh ini.
Cut Meutia kembali kehilangan suami untuk ketiga kalinya pada 26 September 1910 dalam sebuah pertempuran di perbukitan Hague, Aceh Utara. Pang Nanggroe tewas di tangan Belanda.
Meskipun demikian, Cut Meutia cukup beruntung. Ia mampu lolos bersama putranya, Teuku Raja Sabi. Belanda pun terus mengejar sisa-sisa pasukan Cut Meutia yang kabur ke dalam hutan. Hingga akhirnya takdir itu datang. Dengan gagah beraninya serupa harimau terluka, Cut Meutia melawan dengan sisa kekuatan terakhir. Ia gugur syahid di medan laga, namanya harum kusuma bangsa.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.