Ceknricek.com — Sudah sejak zaman dulu, sarung menjadi identitas tak terpisahkan dengan kaum santri. Sampai kini, hampir di semua pondok pesantren tradisional, para santri mengenakan sarung dalam kesehariannya. Wajar jika ada yang menyebut santri kader Nahdlatul Ulama atau NU adalah kaum sarungan. Politisi NU, sebagai politisi kaum sarungan.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin adalah kiai yang punya pondok pesantren. Mengenakan sarung adalah kesehariannya. Pada Kamis (24/10), Pak Kiai juga mengenakan sarung saat menghadiri Sidang Kabinet Indonesia Maju. Dia mengenakan baju jas dengan balutan syal putih. Media menganggap penampilan Kiai unik sehingga angle tentang Wapres mengenakan sarung di Istana mendapat porsi pemberitaan sebanding dengan hasil sidang kabinet perdana itu.
Pada saat pelantikan dirinya sebagai wapres, Kiai mengenakan celana panjang. Begitu juga saat pelantikan para menteri. Tatkala tugas kenegaraan ke Jepang, Wapres Ma’ruf juga mengenakan baju jas lengkap dengan celana panjang.
Jadi, pada Kamis itu adalah penampilan perdana Kiai Ma’ruf mengenakan sarung di Istana dalam acara resmi. KH Ma’ruf Amin memang sempat berjanji tidak akan mengubah penampilannya jika terpilih sebagai wakil presiden. Pernyataan itu disampaikan seusai melakukan pendaftaran Pilpres 2019 di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta, 10 Agustus 2018 lalu.
Berdasarkan Perpres No. 71 Tahun 2018 tentang Tata Pakaian Pada Acara Kenegaraan dan Acara Resmi, presiden maupun wapres wajib mengenakan pakaian sipil lengkap atau PSL.
PSL untuk laki-laki berupa jas berwarna gelap, kemeja lengan panjang putih, celana panjang yang berwarna sama dengan jas, dasi, dan sepatu hitam. Sementara PSL untuk perempuan berupa jas berwarna gelap, kemeja putih, rok atau celana panjang yang berwarna sama dengan jas, dan sepatu hitam.
Identitas
Konon, menurut sejarah, sarung berasal dari Yaman, pakaian tradisonal masyarakat Yaman. Setidaknya begitu Ensiklopedia Britanica menyebutkan. Sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-14 dibawa oleh para saudagar Arab, Yaman, dan Gujarat.
Di Yaman, sarung biasa disebut futah. Sarung juga dikenal dengan nama izaar, wazaar, atau ma’awis. Sementara, masyarakat Oman menyebut sarung dengan nama wizaar. Penggunaan sarung telah meluas, tidak hanya di Semenanjung Arab, tetapi juga Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika.
Baca Juga: Sarung Dalam Pusaran Sejarah dan Filosofisnya
Pada masa kolonialisme, sarung berubah menjadi simbol perlawanan. Sebuah simbol untuk melawan kemapanan jas, dasi, dan celana panjang yang diperkenalkan oleh penjajah. Sikap itu terbawa sampai masa kemerdekaan dan menjadi identitas kaum santri.
KH Abdul Wahab Chasbullah juga biasa memakai sarung. Ia merupakan sosok yang berdampingan dengan KH Hasyim Asy’ari dan KHA. Wahid Hasyim dalam proses berdiri dan berkembangnya NU. Ketika memenuhi undangan Presiden Sukarno ke Istana Negara, Kiai Wahab mengenakan jas dengan setelan sarung, padahal protokol kepresidenan memintanya untuk mengenakan PSL.
Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Kiai Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah.
Tak hanya kalangan NU saja yang mengenakan sarung. Warga Muhammadiyah juga begitu. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau kerap disapa dengan Hamka merasakan kenyamanan mengenakan sarung sebagai pakaian sehari-hari.
Sejarawan Universitas Yale Amerika Serikat, James R Rush, menuliskan dalam Adi Cerita Hamka, kebiasaan memakai sarung ini dijalani karena trauma masa remaja. Hamka pernah memakai setelan pakaian ala Eropa, dengan dasi, jas, dan celana panjang. Beberapa teman pemuda Belanda menertawakannya karena walau sudah memakai setelan Eropa, Hamka tak fasih berbicara Belanda. “Ia langsung membuang pakaian barat-nya dan kembali mengenakan sarung,” tulis Rush.
Sejak saat itulah, sarung selalu lekat dengan Hamka. Ia hampir tak pernah mengenakan celana panjang untuk datang ke acara resmi sekalipun. Bisa dikatakan, ketika menelurkan ide penulisan Islam, nasionalisme, dan karya sastra, Hamka mengenakan sarungnya.
Baca Juga: Wapres Ma’ruf Amin dan Raja Malaysia Bahas Migran Hingga Radikalisme
Sarung di badan tokoh Islam Indonesia bisa menjadi senjata ampuh meraup simpati rakyat di bawah pendudukan Hindia Belanda. Mohammad Roem menuliskan dalam bukunya Bunga Rampai Dari Sejarah Jilid II, sarung Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto menjadi sebuah senjata revolusi.
Sarung revolusi dalam buku itu diutarakan oleh Haji Agus Salim ketika memandang lukisan foto HOS. Tjokroaminoto yang diperkirakan dibuat pada 1915. Lukisan potret itu menggambarkan Tjokro memakai sarung, jas tutup, peci, dan sandal.
Sarekat Islam yang didirikan Tjokro menunjukkan pribumi tidak dipandang sebagai manusia kelas dua tetapi sebagai warga negara penuh. Pandangan ini ditunjukkan dari gejala lahiriah seperti pakaian, cara bercakap, adat istiadat, dan sarung yang biasa mereka kenakan. Karena pada waktu itu menunjukkan warga negara penuh adalah dengan memakai pakaian ala barat. “Pada saat itu lukisan tersebut adalah revolusi,” terang Agus Salim.

Presiden Joko Widodo pernah mengenakan jas dengan paduan sarung, peci, dan sandal saat menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad di Pesantren At-Taufiqy, Pekalongan Jawa Tengah. KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur selalu sarungan saat menjadi presiden.
Sarung yang melekat pada tokoh Islam Indonesia memberikan pengaruh besar pada rakyat. Mereka bukan sekadar sandang yang melekat di badan tetapi juga sebagai identitas. Jadi biarkan Kiai Ma’ruf seperti apa adanya: sarungan.
BACA JUGA: Cek AKTIVITAS PRESIDEN, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.