Ceknricek.com — Eddie Lembong dikenal sebagai penemu obat manjur sekaligus murah bernama Pharolit, sebuah merk obat diare yang terkenal di kalangan masyarakat kelas menengah Indonesia.
Tidak hanya itu, lelaki yang meninggal hari ini, dua tahun lalu, 1 November 2017 merupakan salah satu tokoh keberagaman Indonesia dan memiliki julukan “jembatan multikulturalisme Indonesia”.

Lembong Kecil
Eddie Lembong lahir di Desa Palasa, Tinombo, Gorontalo, Sulawesi Tengah pada 30 September 1936, dengan nama Wang You Shan. Ia merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara dari pasangan Joseph Lembong dan Maria Lembong, keluarga imigran Tiongkok.
Eddie Lembong dan saudara-saudaranya sejak kecil sudah terbiasa hidup membaur dengan warga setempat yang memiliki keberagaman tinggi dan egaliter di Sulawesi.
Ia mengenyam pendidikan di sekolah dasar di Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK). Ia juga sempat bertempat tinggal di rumah pamannya di Gorontalo selama satu setengah tahun. Setelah itu, Eddie ke Manado dan menamatkan SMP dan SMA di Don Bosco Manado.
Tahun 1956 setelah tamat dari SMA, Eddie yang bercita-cita sebagai dokter kemudian mendaftarkan diri di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia namun gagal dalam psikotes. Ia akhirnya banting stir masuk jurusan farmasi di Institut Teknologi Bandung.
Selama kuliah Eddie aktif dan berorganisasi di Himpunan Farmasi Ars Preparandi dengan rekan-rekan dari berbagai penjuru Tanah Air yang semakin meneguhkan sikap kebhinekaannya yang sudah tertanam dari kampung halaman.
Baca Juga: Mengenang A.R Baswedan, Pencetus Sumpah Pemuda Keturunan Arab Indonesia
Eddie lulus sebagai sarjana farmasi pada tahun 1964. Setelah lulus ia sempat mengajar di ITB sambil menjadi apoteker di Apotek Abadi Bandung. Kala itu ia sering bolak-balik Bandung-Jakarta untuk berbagai keperluan. Tiga tahun berlalu di Bandung, ia kemudian pindah ke Jakarta pada 1967.
Mendirikan PT Pharos
Langkah terpenting Eddie dalam hidupnya adalah ketika ia mendirikan PT Pharos pada 30 September 1971 bersama salah seorang kawannya, yang kemudian menjadi salah satu pabrik obat terkemuka di Indonesia.
Awalnya mereka membagi kepemilikan saham dari perusahaan tersebut sebesar 50:50, namun karena hanya Eddie yang terus bertahan, ia akhirnya menjadi pemilik dan pemimpin perusahaan itu. Pharos menjadi pelaku penting dalam bisnis obat di Indonesia.
Seperti dituturkan Eddie dalam Apa & siapa sejumlah orang Indonesia 1983-1984 (1984:425), beberapa perusahaan asing mempercayai Pharos untuk memproduksi obat mereka, salah satunya The Wellcome Foundation Ltd. dari Inggris.
Selain itu Pharos juga dipercaya untuk memproduksi tablet Digoxin dengan merek Lanoxin, yakni obat sakit jantung. Tak sekadar memproduksi, Pharos juga mengontrol peredarannya.
Kerjasama dengan perusahaan Inggris tersebut kemudian melahirkan PT Wellcome Indonesia. Dalam perusahaan ini, Eddie pernah menjadi salah satu direkturnya. Kini, PT Pharos telah berkembang dan memilki setidaknya 17 anak perusahaan.
Aktivitas Eddie Lembong di bidang farmasi di masa Orde Baru–baik di bidang organisasi Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia maupun bisnis–membuatnya menerima banyak penghargaan.
Salah satunya, FAPA Ishidate Award (1996), penghargaan bergengsi di bidang farmasi internasional. Kiprah tersebut mendapat perhatian dari peneliti seperti Andew Macintyre, dalam bukunya Business and Politics in Indonesia (1991) dan William Muraskin, War Against Hepatitis B (1995).
Jembatan Multikulturalisme
Setelah puluhan tahun memimpin PT Pharos dan anak perusahaannya, Eddie kemudian mundur dari jabatannya selepas kerusuhan 1998 dan sibuk dengan urusan kemasyarakatan.

Pada 10 April 1999 Ia bersama Ir. Gilbert Wiryadinata mendirikan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang menyerukan kesamaan hak dan melawan diskriminasi pada etnis Tionghoa.
Penggunaan nama Tionghoa sendiri menunjukkan sikap politik Eddie dan rekan-rekannya yang menegaskan bahwa mereka orang Indonesia. Dalam masa enam tahun memimpin INTI (1999-2005) Eddie berkeliling Indonesia meneyerukan keberagaman dan bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah.
Tahun 2006 ia juga mendirikan Yayasan Nabil kependekan dari National Building bersama istrinya, Melly Saliman. Tujuan utama dari yayasan ini untuk memperkenalkan, menyebarluaskan dan mengembangkan doktrin penyerbukan silang antarbudaya (Cross Cultural Fertilization).
Baca Juga: Kiprah John Lie: Sang Penyelundup yang Menjadi Pahlawan

Lewat yayasan ini, Eddie Lembong mendorong pemberian gelar pahlawan nasional kepada John Lie (Tentara Revolusi Indonesia dari Manado) dan Abdurrahman Baswedan (Pejuang keturunan Arab, kakek Anies Baswedan).
Pengusulan dua tokoh pejuang dari kalangan Tionghoa dan Arab ini menggambarkan sikap politik Eddie Lembong yang hendak menyampaikan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun oleh semua golongan, sebagaimana moto hidupnya: ‘Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati’.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.