Ceknricek.com — Sebelum menyandang nama Bejo, sesungguhnya laki-laki itu bernama Untung. Ia berganti nama, lantaran sering kesurupan. Orang “pintar” di kampung menyarankan nama Untung harus diganti agar sembuh dari gangguan makhluk halus. Nah, sejak ganti nama itu, dedemit yang suka nempel, menjadi nyasar, sehingga Untung yang sudah ganti nama Bejo sembuh dari gangguan jin nakal. Begitulah ceritanya.
Urusan ganti nama juga terjadi pada anak yang sering sakit-sakitan. Dimas Bambang diganti menjadi Paijo karena sering sakit-sakitan. “Anak buruh tani saja kok diberi nama Dimas Bambang, jelas keberatan nama, pantas sakit-sakitan,” begitu komentar para tetangganya. Begitu nama diganti, aneh bin ajaibnya, Paijo alias Dimas Bambang, menjadi anak sehat, gemuk nan lucu.
Bagi masyarakat Jawa, nama anak bisa berupa harapan dan doa selain juga sebagai tetenger, pertanda. Nama Dimas Bambang, jelas hanya untuk keren-kerenan saja. “Biar kayak orang kota, itu lho, mas,” begitu alasan sang ayah. “Dasar anak kampung, ya, nggak kuat dikasih nama keren, jadilah Paijo saja.” Nama Paijo dipilih, lantaran dia lahir di hari Ahad Paing. Paijo diambil dari kata Paing.
Anehnya, soal ganti nama itu, juga menjadi solusi unggulan untuk mengatasi anak bandel, karier agak mandeg, sampai mau jadi artis top.
Presiden Joko Widodo terlahir dengan nama Mulyono. Ia lahir pada Juni 1961 di Rumah Sakit Brayat Minulyo, Kota Surakarta, Jawa Tengah. “Tapi, nama itu tak terlalu lama saya miliki karena orang tua saya segera mencarikan nama baru ketika saya berulang kali sakit,” tuturnya, dalam buku Jokowi Menuju Cahaya karya Alberthiene Endah, yang baru diluncurkan pada Kamis, 13 Desember 2018.

Nama Joko Widodo jelas lebih keren dibanding Mulyono. Lebih kotaan lagi setelah nama itu disingkat menjadi Jokowi. Yang masih menjadi misteri tentu sakit apa yang diderita Mulyono sehingga perlu obat dengan ganti nama.

Setelah menyandang nama Jokowi garis tangan lelaki ini mendadak berubah. Mulanya ia hanya buruh pabrik kertas di Aceh, berganti profesi menjadi tukang mebel, lalu menjadi wali kota, gubernur selanjutnya presiden.
Bukan hanya Jokowi yang punya nama lama. Presiden pertama Indonesia, Sukarno awalnya diberi nama oleh kedua orang tuanya Kusno Sosrodihardjo. Dengan alasan yang sama, sering sakit, maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh sang ayah.

Nama Soekarno tentu lebih keren dibanding Kusno. Nama tersebut diambil dari nama panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama “Karna” menjadi “Karno” karena dalam bahasa Jawa huruf “a” berubah menjadi “o” sedangkan awalan “su” konon memiliki arti “baik”.
Di kemudian hari, ketika menjadi Presiden RI, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno–sesuai ejaan Soewandi–karena menurutnya nama Soekarno menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Hanya saja, ia tetap menggunakan “Soekarno” dalam tanda tangannya karena nama itu sudah tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Presiden Gus Dur alias Abdurahman Wahid, memiliki nama lahir Abdurrahman Ad-Dakhil. Ad-Dakhil diambil dari nama salah seorang pahlawan dari Dinasti Umayyah, secara harfiah berarti Sang Penakluk. “Zaman dulu, Ad-Dakhil berhasil membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad,” tulis Greg Barton dalam biografi resmi Gus Dur.
Gus Dur pun memilih menggunakan nama ayahnya setelah namanya: Abdurrahman Wahid. Maknanya adalah Abdurrahman ‘putera’ Wahid.
Ganti Nama Nusantara
Tak hanya orang, nama negara pun bisa diubah. Ide penggantian mana Indonesia menjadi Nusantara pernah diwacanakan ahli metafisika, Arkand Bodhana Zeshaprajna, lima tahun silam. Doktor lulusan University of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat ini menjelaskan kalau tak segera ganti nama, Indonesia akan hancur tahun 2020. Itu maknanya tahun depan, atau tiga bulan lagi. Amit-amit.

“Di sana ada satu garis waktu, justru kita bisa lihat polaritas-polaritas negatif. Nah, kita sudah melewati 2 fase negatif polarity, nanti kita lewati lagi satu, di 2014 sampai 2023 dengan puncak tahun 2020,” kata Arkand kepada merdeka.com pada 26 Februari 2014 lalu.
Pria bernama asli Emmanuel Alexander ini menjelaskan, tidak ada satu negara maupun perusahaan yang mampu melewati tahapan negatif yang memuncak seperti itu. Maka dari itu, ia menyarankan nama Indonesia diubah menjadi Nusantara. “Sangat berbahaya bila kita tak menggunakan nama Nusantara,” jelasnya.
Gejala kehancuran Indonesia, menurut Arkand, bisa dirasakan sejak 2014 lalu. Dirinya pun menyebut bahwa mempertahankan nama Indonesia sebagai hal yang nekat. Ia mengusulkan Republik Indonesia diganti Viranegari Nusantara.
“Di depan Nusantara ditambah Viranegari. Jadi ‘Viranegari Nusantara’ untuk mengoptimalkan, jadi namanya lebih baik,” tuturnya.
Menurutnya, nama Indonesia tak membawa keberuntungan. Asal usulnya pun dari Hindia Island, atau kepulauan Hindia. Padahal Indonesia tentu bukan India. Sementara Nusantara sudah digunakan untuk menyebut rangkaian kepulauan di Indonesia.
Sejatinya, ganti nama bagi suatu negara bukan hal tabu. Siam berganti jadi Thailand, Burma jadi Myanmar dan Ceylon jadi Sri Lanka. Kazakhstan pun ingin ganti nama jadi Kazakh Elli karena tak mau disamakan dengan negara miskin beraliran stan di Asia Tengah.

Gagasan ganti nama itu diwacanakan Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev, pada 2014. Tak drastis memang, sang presiden hanya ingin menghilangkan kata ‘stan’ dari Kazakhstan. Tujuan ganti nama ini adalah untuk membedakan negaranya yang kaya minyak dari para tetangganya di Asia Tengah. Selama ini, negara-negara dengan akhiran ‘stan’, dianggap identik dengan kemiskinan.

Kazakhstan adalah negara terluas ke-9 di dunia, dengan penduduk yang hanya 17 juta jiwa. Negara itu menjadi negara dengan perekonomian terbesar di wilayah bekas Uni Soviet–yang juga mencakup Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Sayang sebelum ganti nama, pada 20 Maret lalu, Nursultan Nazarbayev mengundurkan diri setelah berkuasa selama tiga dekade terakhir.
Kembali ke dalam negeri. Seniman Ray Sahetapy juga mendukung Indonesia ganti nama saja dengan Nusantara. “Berdasarkan kondisi fisik dan karakter bangsa ini, saya lebih nyaman menyebut bangsa Indonesia dengan istilah Nusantara,” ujar Ray suatu ketika. “Nama Indonesia itu kan asing. Nggak ada maknanya lagi. Kalau Nusantara kan berarti semua orang-orang di kepulauan ingin bersatu,” tambahnya.

Ganti nama tentu mesti lebih keren. Siapa tahu, dengan ganti nama, negeri semakin sehat wal afiat: gemah ripah loh jinawi; baldatun toyyibatun wa robbun ghofur. Negeri yang subur makmur. Hanya saja, jangan pula pergantian nama sampai menghilangkan akar sejarah negeri.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.