Ceknricek.com — Satu lagi film berasal dari karya jurnalistik diangkat ke layar lebar. Dark Waters (2019) mulai Rabu (27/11) sudah bisa dinikmati di bioskop-bioskop kesayangan Anda di Indonesia. Kisah ini merupakan adaptasi dari artikel The New York Times Magazine berjudul The Lawyer Who Became DuPont’s Worst Nightmare, karya Nathaniel Rich.
Kisah ini menceritakan perjuangan dari Robert Bilott, seorang pengacara lingkungan dari firma hukum Taft, dalam mengungkap skandal kasus gugatan korporasi yang melibatkan perusahaan terkemuka di Amerika Serikat, DuPont de Nemours, Inc. Dalam film ini, sosok Robert Bilott diperankan oleh Mark Ruffalo yang selama ini dikenal sebagai The Hulk dalam film-film Avengers.
Jika Anda pernah mendengar tentang bahaya penggorengan teflon, maka itu adalah hasil kerja keras pengungkapan dari Bilott selama hampir 20 tahun. Teflon disebut-sebut bisa mengakibatkan kanker karena mengandung molekul 8 Karbon (C8) atau Perfluorooctanoic (PFOA), yang juga bisa ditemui di produk-produk DuPont lainnya seperti cat, pelindung hujan, jas hujan hingga karpet.
Kisah ini bermula dari Bilott yang saat itu baru diangkat sebagai rekanan dari firma Taft di tahun 1998. Taft sendiri menjadi salah satu mitra dari DuPont saat itu. Suatu ketika, seorang peternak bernama Wilbur Tennant membawa setumpuk video kaset, yang berisi bukti-bukti pencemaran lingkungan dari DuPont.
Saat itu Bilott menganggap bahwa tudingan Tennant hanyalah mengada-ada. Namun dirinya “terpaksa” mengambil kasus itu, setelah tahu bahwa Tennant ialah peternak dari Ohio, yang mendapatkan kontak Bilott dari neneknya. tempat dirinya menghabiskan masa kecil.
Setelah melihat bukti-bukti bahwa hewan ternak milik Tennant yang berubah menjadi liar dan cacat setelah meminum air dari sungai Ohio, tempat DuPont membuang limbahnya, maka dirinya semula bermaksud meminta pertanggunjawaban dari DuPont, tanpa bermaksud menggugat lebih lanjut.
Ternyata DuPont telah memanipulasi berbagai sistem pemerintahan di AS, termasuk Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency atau EPA). Hal ini membuat Robert Bilott merasa terpanggil untuk menguak kasus ini lebih lanjut.
Baca Juga: Lil Rel Howery dan Jacob Elordi Bergabung dengan Ben Affleck di Film “Deep Water”
Ternyata “biaya” yang harus dikeluarkan dalam membongkar kebenaran itu tidaklah murah. Dirinya hampir mengorbankan segalanya, termasuk karier, kehidupan dan keluarganya sendiri. Sebagai perusahaan terkemuka di AS, DuPont dianggap telah berjasa terhadap komunitas dan negeri Paman Sam itu sendiri. Akibatnya, berbagai saksi dan pelapor pun mendapat persekusi dari lingkungan mereka sendiri.
Perjuangan ini akhirnya tidak sia-sia. Seperti yang diberitakan dalam berbagai surat kabar di AS, DuPont sendiri akhirnya harus membayar denda hingga sekitar US$670 untuk menutup 3.550 kasus C8. Namun untuk perusahaan yang menurut Fortune di tahun 2019 lalu menerima pendapatan hingga US$86 miliar (peringkat 35 dari Fortune 500), angka tersebut tidaklah besar.
Hingga kini, Billot masih memperjuangkan hak-hak para korban, termasuk upaya agar DuPont lebih bertanggung jawab dengan membayar biaya pengawasan medis, sesuatu yang ditolak DuPont mentah-mentah. Sosialisasi bahaya teflon pun kini sudah merebak di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dimana diprediksi sekitar 99 persen penduduk dunia sudah terpapar C8.
Sebagai film bertemakan hukum, film berdurasi 126 menit ini berhasil menyederhanakan kasus gugatan hukum korporasi yang rumit, ke dalam sebuah visual yang bisa dimengerti khalayak. Sudah menjadi rahasia umum, biasanya kasus-kasus hukum memang mengandung bahasa-bahasa hukum yang kadang mungkin disengaja untuk membuat masyarakat bingung.
Nah, film ini berhasil menunjukkan simplifikasi dari kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan DuPont. Sama seperti Spotlight (2015), film ini juga diproduksi oleh Participant dan sama-sama berhasil menunjukkan bahwa selama ini ada kesalahan dalam sistem yang kerap ditutup-tutupi.
Kredit layak diberikan kepada sang sutradara, Todd Haynes yang sebelumnya juga pernah menggarap beberapa film nominator Oscar seperti Far From Heaven (2002) dan nominator Golden Globe untuk Carol (2015). Selain mampu menyederhanakan kasus rumit, Haynes mampu mentransfer emosi yang dirasakan dari para korban, saksi dan termasuk sang pengacara, terhadap bobroknya sistem di negara kapitalis sebesar AS, yang faktanya takluk dengan para korporasi raksasa dalam sebuah film.
Hal ini juga tak lepas dari totalitas seni peran yang ditunjukkan oleh Mark Ruffalo. Bermain sebagai pengacara yang nampaknya juga kesulitan mengontrol emosinya (seperti Hulk), kita bisa melihat ketabahan dan perjuangan asli dari Robert Bilott dalam peran yang ditampilkan oleh Ruffalo.
Pemilihan beberapa karakter pendukung seperti si cantik Anne Hathaway yang memerankan Sarah Bilott, istri dari Robert, serta Bill Camp sebagai Wilbur Tennant, sang whistleblower juga membuat film ini lebih hidup. Kita juga jadi lebih mengerti bagaimana keadaan yang dirasakan oleh keluarga dan korban, serta menjadi lebih aware terhadap kasus ini.
Sekadar informasi, Robert Bilott dan Sarah Bilott sesungguhnya juga akan tampil di film ini sebagai cameo. Begitu pula dengan Bucky Bailey, salah satu korban yang sudah cacat dari lahir, dimana sang ibu sebelumnya bekerja di DuPont saat mengandung dirinya.
Pada akhirnya, film ini layak ditonton untuk para pencinta film-film investigatif bertema hukum, termasuk mereka yang ingin mengetahui mengapa para ibu-ibu kini mulai meninggalkan teflon penggorengan nya.
BACA JUGA: Cek Berita SELEBRITI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.