Ceknricek.com–Program 5 Destinasi Super Prioritas (5 DSP) atau 5 Bali Baru adalah kebijakan yang bagus. Lima DSP pun didesain untuk kondisi normal. Kini, disaat pandemi, disaat industri pariwisata terpuruk hebat dan anggaran pemerintah mesti dipergunakan dengan super bijak, banyak pelaku industri menganggap bahwa 5 DSP sebaiknya tidak dilanjutkan dahulu.
Menurut Ipang Wahid, ada lima alasan yang mendasarinya:
1. Yang dibutuhkan adalah program yang sifatnya quick win. Sementara membangun 5DSP butuh waktu sangat lama. Harap diingat, Nusa Dua Bali yang jadi benchmark butuh waktu 47 tahun untuk bisa seperti sekarang.
2. Investor sedang tidak tertarik membangun hotel baru.
Sementara Destinasi Super Prioritas ini adalah kawasan perhotelan. Pemerintah yang membangun sarana dan prasarana, pihak swasta yang membangun hotel. Disaat occupancy rate hotel sudah hampir setahun ini dibawah 30% dan banyak pengusaha yang menjual properti hotelnya, apa iya ada investor yang berminat membangun hotel baru?
3.Strategi saat pandemi mestinya bersifat “Quality investing: low investment, high profitability.”
Mengingat anggaran 5DSP ini jumlahnya sangat fantastis, mencapai Rp 21 Triliun, sementara baru akan bisa dinikmati 5 atau bahkan 10 tahun lagi.
4. “JUMP START” terampuh industri Pariwisata hanya akan terjadi di daerah yang trafficnya pernah tinggi dan ekosistemnya sudah siap.
Selain Borobudur, 4 daerah lainnya yaitu Toba, Mandalika, Labuan Bajo dan Likupang bukan termasuk traffic puller pariwisata.
“Jadi sebaiknya pilihlah destinasi yang the “lowest hanging fruits” dan lebih berdampak seperti Bali, Greater Jakarta (termasuk Jabar dan Banten), BTS (Bromo, Tengger, Semeru), Joglo Semar, dan Batam/Belitung,”katanya.
5.Lima DSP adalah kawasan perhotelan macam Nusa Dua Bali. Sementara alasan orang berwisata itu, karena destinasi atau atraksinya, bukan karena amenitas atau penginapannya. Orang ke Mekkah karena Ka’bahnya, bukan karena hotel Zam Zam Towernya. Wisatawan ke Paris, karena ingin melihat menara Eiffelnya, bukan karena Hotelnya. Jadi membangun kawasan penginapan tanpa membangun dan menyiapkan destinasi / atraksi, ibarat membuat restoran tapi hanya menyiapkan interior yang bagus dan melupakan menu makanannya.
“Jadi, dikala pandemi Covid-19 yang memaksa adanya keterbatasan anggaran yang sangat tinggi, sebaiknya adaptasi kebijakan dilakukan sebelum terlamba,”pungkas Ipang.
Baca Juga : Sambut New Normal, NTT Siapkan 7 Destinasi Wisata Baru
Baca Juga : Bali Jadi Tolok Ukur Kebangkitan Pariwisata di Tengah Pandemi COVID-19