Ceknricek.com — Kapolda DKI Jakarta dan Kapolda Jabar dicopot. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diperiksa Bareskrim hingga 9 jam. Habib Rizieq Shihab didenda Rp 50 juta. Semua itu karena satu hal: Tidak dipatuhinya protokol kesehatan pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putri HRS di Jati Petamburan, Jakarta, 14 November 2020.
Pelanggaran protokol kesehatan juga terjadi pada pendaftaran calon walikota (Cawali) Gibran Rakabuming Raka di KPUD Solo, 4 September. Banyak pihak bertanya: Apa Kapolda Jateng dicopot? Apa Gubernur Jateng Ganjar Pranowo diperiksa Bareskrim selama berjam-jam? Apa Gibran didenda Rp 50 juta? Jawaban tiga pertanyaan itu cuma satu: “Tidak”.
Apa itu adil? Tidak. Apa itu karena Gibran anak Presiden Jokowi sehingga kebal hukum? Mungkin. Apa karena faktor itu maka pejabat yang berwenang takut menjalankan kewajibannya? Entahlah. Apa hal itu berarti dilanggarnya prinsip equality before the law? Jelas. Apa hal itu berarti terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum? Ya iyalah.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Itulah norma yang melindungi hak asasi warga negara. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Itu mestinya dipahami betul oleh pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum.
Perlakuan yang sama di depan hukum diatur dalam UUD 1945 pasal 28 D ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.”
Ketentuan yang tertulis di UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di atas itu bagus memang. Masalahnya, hal itu tidak selalu berlaku dalam praktik. Ada pelanggaran, penyimpangan. Diskriminasi. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Salah satu penyebabnya adalah berkuasanya pemimpin yang tidak adil.
Pentingnya pemimpin yang berlaku adil tercermin dalam sabda Nabi Muhammad SAW, lebih dari 1400 tahun yang lalu, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun, dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).
Menurut Imam al-Ghazali, salah satu faktor yang membuat pemimpin berlaku adil adalah kerinduannya pada nasihat ulamâ. Yang dimaksud ulama di sini adalah ulama yang benar-benar ikhlas, yang tidak berkata dan tidak bertindak kecuali hanya karena Allah SWT semata.
Suatu hari, khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang terkenal adil dan sederhana, meminta nasihat Syekh Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi. Ulamâ itu a.l. berpesan, “Hukumlah orang-orang yang bersalah setimpal dengan perbuatannya. Berhati-hatilah engkau! Jangan sampai engkau memukul orang karena rasa bencimu kepadanya, sebab hal itu bisa menjerumuskanmu ke dalam api neraka.”
Faktor berikutnya yang membuat pemimpin berlaku adil, kata Imam al-Ghazali, adalah dia tidak terima dengan segala macam bentuk kedzaliman. Khalifah Umar bin Khattāb RA merupakan pemimpin yang tidak rela dengan perilaku dzalim sekecil apa pun.
Beliau senantiasa mengingatkan para pembantunya agar berlaku adil dalam mengemban amanah sebagai pelayan rakyat. Suatu ketika, Khalifah Umar menulis surat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari RA, yang pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur di Bashrah, Irak.
Dalam suratnya, Khalifah Umar RA a.l. menulis, “Sesungguhnya engkau (yang sedang memegang kekuasaan) laksana hewan ternak yang melihat padang hijau, lalu memakan rumput hingga banyak dan menjadi gemuk. Gemuknya hewan ternak lah yang menyebabkannya menjadi binasa. Dan karena kegemukannya itu, hewan ternak disembelih dan dimakan.”
John Adair, seorang pakar kepemimpinan dalam bukunya _Kepemimpinan Muhammad_, menggambarkan keberhasilan Rasulullah SAW sebagai pemimpin yang dipercaya umat karena beliau meletakkan atau menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan. Asumsi beliau “Tidak ada kepercayaan tanpa kebenaran.”
Berdasarkan bahasan di atas, coba kita tanya pada orangutan di rimba Kalimantan, “Apa pemimpin Indonesia sekarang ini bersikap adil? Apakah hukum yang berlaku di negeri itu sama dengan hukum rimba di sini?” Jangan-jangan jawabannya ini, “Emangnya gue pikirin.”