Ceknricek.com — Semester pertama 1970. Sebagai mahasiswa baru FIPK-UI, saya mengikuti mata kuliah pengantar ilmu politik oleh ibu Miriam Budiardjo. Disamping kuliah utama, kami juga diberi tutorial (waktu itu disebut kuliah kerja) oleh 4 asisten beliau: Najib Issom, Arbi Sanit, Maswadi Rauf dan Bintan Saragih. Saya masuk kelompok yang diasuh Arbi Sanit.Itulah mulanya saya bertemu beliau, dia guru, dan saya murid.
Kondisi UI di masa itu, apalagi FIPK yang baru berdiri, berarti masih minimnya fasilitas belajar. Belum ada perpustakaan. Saya mencari buku bacaan sekedar yang tersedia di (embrio) perpustakaan nasional di Museum Gadjah (nama populer Museum Nasional) jl.Merdeka Barat. Ternyata beliau pun rutin kesana, dan kami bertegur sapa. Saya kenang dia sebagai guru yang bersahabat.
Di perpustakaan itu saya lihat dia menyalin buku yang dibacanya. Saya pun menirunya. Ingat! Tahun 1970 belum ada fotokopi seperti yang sekarang.
Sekitar 1971 dia mengikuti program pengembangan ilmu-ilmu sosial di ISS Den Haag dan di Wisconsin, AS.
Fast Forward 1980an. Di FISIP-UI, dia pengajar senior, saya junior. Kami jadi kolega.Jadilah saya bersahabat dengan para guru saya. Bersama alm pak Sardjono Jatiman kami menjadi tim yang mengerjakan banyak aktivitas. Termasuklah di dalamnya sebagai peneliti di Pusat Pranata Pembangunan UI yg berkantor di Cikini, tim pengembang penyuluhan hukum Dep Kehakiman RI (bersama alm pak Selo Soemardjan, Sardjono Jatiman, Soerjono Soekanto, ibu Yaumil Akhir) berkeliling tanah air selama satu Pelita, dan kemudian mendirikan/mengelola program ekstensi FISIP-UI.
Puluhan tahun bersamanya, saya mengenal alm sebagai seorang yang lurus, tegas dan konsisten dengan keilmuannya. Suatu kali Universitas Nasional memintanya mengembangkan Fakultas Ilmu Politik yang sudah lama ada. Bersama sejumlah sejawat lain, saya diajak ikut serta. Memang hanya sebentar, tapi hasilnya saya menulis buku Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar.
Pengetahuan ilmu politiknya yang “ngelotok” serta wawasan yang luas membuat Arbi berkiprah lintas bidang. Kalangan muda dan mahasiswa doyan “menanggap” dia untuk memberi semangat. Dia memang concern tentang minat dan aspirasi berpolitik kaum muda. Menurutnya generasi muda seharusnya bersemangat untuk berpolitik secara jujur, adil dan terbuka. Hal inilah salahsatu issu yang ditelitinya bersama tim Puslit Pranata UI ketika itu. Begitu pula mengenai masyarakat sipil. Pernah saya dimintanya mencarikan tenaga untuk menjadi editor majalah khusus cicil society yang ingin diterbitkannya. Karena sesuatu hal, cita-cita itu tak kunjung terlaksana.
Arbi Sanit semasa hidupnya telah aktif menyampaikan kebenaran berbasiskan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya baik secara langsung di kelas dan ruang publik maupun lewat belasan buku dan ratusan artikel/makalah yang ditulisnya.. Dia selalu mendorong kami-kami untuk melakukan hal yang sama. Banyak yang setuju, tapi banyak pula yang tidak. Itu memang resiko. Menurut dia, suatu amal perbuatan yang diyakini bertujuan baik, lakukan saja. Urusan selanjutnya bukan domain kita lagi.
Putra dari M.Sanit, seorang wedana, kelahiran Painan, Sumatra Barat, 83 thn lalu itu pernah juga tinggal di kawasan Kota Matsum, Medan sebelum studi dan mukim di Jakarta. Sebagian besar teman seangkatannya pun telah pergi lebih dahulu.
Mas Arbi, anda telah menyelesaikan tugas. Semoga Allah merahmati dan memberi maghfirahNya dalam kepulangan yang akhir ini. Kami-kami pun pasti dapat giliran. Innalilahi wa Inna ilaihi raji’un.