Ceknricek.com–Seorang sahabat dari Indonesia pernah terheran-heran ketika melihat begitu banyaknya perempuandi salah satu bagian kota Melbourne (Dandenong) yang dari raut wajah mereka mencerminkan bahwa mereka adalah keturunan Tionghoa, namun berjilbab.
“Wah! Banyak mualaf di sini ya Im?” katanya.
Dia tidak nyana bahwa Dandenong, terletak di bagian timur kota Metropolitan Melbourne, ibukota negara bagian Victoria, adalah gudang penduduk keturunan Hazara, Afghanistan, yang “hijrah” ke Australia pasca masuknya Amerika beserta sekutunya ke Afghanistan dalam rangka “Perang Melawan Terorisme” yang dikumandangkan Presiden Amerika George W.Bush, setelah peristiwa 9/11 – serangan terhadap menara gedung World Trade Centre di kota New York.
Masyarakat Hazara adalah keturunan Mongol. Mereka Muslim Shi’ah. Perawakan mereka lebih mungil dibanding suku Pashtun yang biasanya rata-rata berperawakan, paling tidak lelakinya, seperti Tarzan atau Samson. Dan kasat mata masyarakat Afghanistan/Hazara yang akhirnya bermuara di Australia umumnya memang berhasil dalam membina peri kehidupan yang layak, antaranya dengan membuka rumah makan, yang hidangannya ternyata sesuai dengan selera banyak orang di Australia.
Tapi itu bukan pertama kali warga Afghanistan mencecahkan kaki mereka di bumi Australia. Sekitar pertengahan abad ke-19 Australia “mengimpor” para pawang unta umumnya dari Afghanistan, untuk memungkinkan dibukanya hubungan darat antara Australia bagian selatan dengan utara, yang di tengah-tengahnya terdapat gurun yang di kala musim panas, terik mata harinya bisa mengelupaskan kulit dan di musim dingin angin puyuhnya dapat membekukan darah di lubang peluru korban penembakan.
Jelas perumpamaan ini agak berlebihan, namun memadai untuk menggambarkan betapa tidak ramahnya suhu di kawasan gurun itu, hingga kuda dan bahkan sapi pun niscaya akan kewalahan. Karenanya diperlukan unta. Dan untuk memanfaatkan unta sebagai hewan beban yang harus mengharungi jalur selatan-utara dan sebaliknya, perlu ada pawangnya. Maka didatangkanlah para pawang unta dari Afghanistan, dan kemungkinan pula sebagian dari apa yang kini adalah Pakistan, khusus dari kawasan yang bersebelahan dengan Afghanistan.
Penulis-penulis Australia suka melukiskan ketangguhan para pawang unta asal Afghanistan ini laksana “superman” – mereka begitu tahan panas dan dingin. Mereka adalah pekerja yang tangguh. Australia memang adalah benua terkering di dunia. Mereka mendirikan masjid, salah satunya sampai kini masih ada di ibukota negara bagian Australia Selatan, Adelaide. Dan pertama kali saya menjenguknya dalam tahun 1968 masjid itu masih merupakan sebuah bangunan kecil mungil yang memang arsitekturnya khas mirip masjid, namun ketika dalam tahun 2019 saya kembali ke Adelaide, masjid tersebut sudah dipugar, meski ciri-ciri aslinya masih kentara.
Selesai menuntaskan tugas membuka hubungan jalur darat selatan-utara dan sebaliknya, sebagian terbesar pawang unta tersebut mudik ke negeri asal mereka, dan mewariskan unta yang mereka bawa ke alam lingkungan di bagian tengah Australia. Unta-unta tersebut kemudian berkembang biak, dan pernah, begitu dilaporkan, jumlahnya diperkirakan mencapai sejuta ekor. Unta liar tanpa pawang dan berkembang menjadi hama yang mengganggu penduduk.
Pernah pemerintah Australia menyediakan anggaran sampai 20-juta dolar untuk upaya mengurangi jumlah unta liar ini, setelah usaha untuk membujuk sejumlah negara Asia Tenggara dan Timur Tengah mengimpor daging unta, tidak berhasil. Unta-unta liar itu ditembaki dari pesawat helikopter, namun ternyata cara seperti ini tidak begitu berhasil.
Ada negara-negara di Timur Tengah yang mengimpor unta hidup dari Australia untuk dilatih menjadi unta pacuan, namun masih dalam jumlah yang terlalu kecil. Kini, ada kedai-kedai daging halal di Australia, seperti di Melbourne, yang menjual daging unta dengan harga sebanding Rp.170.000 sekilo. Juga susu unta digemari oleh kalangan tertentu, dan harganya sebotol sekitar Rp.120.000. Seorang kenalan yang pernah minum susu unta mengaku bahwa kalau di pagi hari dia meneguk satu gelas besar susu unta, maka dia tahan sampai malam baru makan. Meski para pawang unta dari Afghanistan itu sangat ta’at beribadah sebagai Muslim namun mereka tidak berdakwah, mungkin karena keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris. Atau mungkin juga mereka waktu itu belum menjadi Taliban? Wallahu a’lam.