Ceknricek.com — ‘‘Mas, ayo ngopi lagi, musim hujan begini asyik lho ngopi, sori saya baru aja sibuk mencermati Muktamar NU di Lampung, kini agak longgar untuk ngopi-ngopi lah hehehe..’’ Demikianlah pesan pendek yang saya terima dan langsung saya setujui, memang Gus Dur tak pernah membosankan apalagi ilmunya selalu menginsipirasi, memberi pencerahan sekaligus menyejukkan nuansa kehidupan bangsa.
‘’Hayoo..bila saya bertanya, menyongsong bergantinya tahun 2021 ini menuju 2022, manakah yang bakal lebih berbahaya dampak pandemi Covid-19 ataukah kian merebaknya si metaverse?’’ Gus Dur langsung menyergah dengan pertanyaan menohok setelah kami melakukan tegukan pertama dari cangkir kopi masing-masing yang terasa nikmat dan hangat. Saya agak tergagap mendengarnya tanpa sempat menjawab.
‘’Si Covid-19 dengan segala turunan dan variannya telah membuat dunia limbung, banyak pakar dari beragam lembaga meyakini bahwa si virus masih akan terus eksis dan bermutasi sebagaimana hakikat evolusi kehidupan itu sendiri. Barangkali tingkat keparahan dan daya fatalistiknya yang bakal terus menurun seiring makin masifnya vaksinasi booster serta tiada hetinya upaya pencarian obat nan mujarab. Adapun si Meta, walau belum sepenuhnya eksis secara komplit dan masif, telah memantik sedikitnya tiga hal yang diduga bakal terjadi dan menggoyahkan eksistensi kehidupan manusia yang kian jauh dari hakikat humanistis (selaku subjek, ciptaan tertinggi derajatnya) dan sosiologis (menjauhi hakikat selaku mahluk sosial beserta segenap implikasinya).
Pertama, terkait masalah keamanan dan privasi data para pengguna kelak. Bila kita masih ingat, tahun 2018 lalu praktik keamanan Facebook membetot perhatian publik setelah disalah-gunakan dalam skandal Cambridge Analytica. Memang, perusahaan besar lainnya seperti Google juga tentunya memiliki data pengguna, namun harus diwaspadai bahwa Facebook yang kini berganti nama menjadi Meta, punya basis data pengguna yang jauh lebih besar terlebih setelah membeli WhatsApp dan Instagram.
Selain itu perusahaan ini akan mendapatkan lebih banyak informasi pribadi tentang pengguna secara detil melalui berbagai perangkat yang digunakan dalam mengarungi jagad digital metaverse nantinya, mulai dari Augmented Reality (AR) hingga beragama piranti Artificial Intelligence (AI) yang dibutuhkan guna menangguk secara optimal keasyikan dunia digital yang ditawarkan metaverse. Meta mungkin dapat memperkirakan karakteristik fisik Anda, cara Anda berjalan, berbicara, dan berpikir, dan detail lainnya tentang kepribadian Anda sebagaimana telah dipamerkan dalam International Symposium on Wearable Comuters belum lama ini dimana dalam berbagai perangkat tersebut ditanamkan sistem electroencephalogram (EEG) yang dapat merekam aktivitas otak kita selaku pengguna!
Kedua, soal adiksi alias kecanduan penggunaan metaverse tatkala kelak mampu hadir secara masif dengan perangkat-perangkat yang didesain lebih murah dan terjangkau sebagaimana dulu sejarah telepon seluler pintar pernah terjadi. Fenomena ini bakal menyakiti kesehatan mental orang dan masyarakat luas seiring semakin tenggelam dalam dunia digital, itu membuatnya bisa lebih tidak terhubung dengan dunia fisik. Serangkaian kajian di Wall Street Journal menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna Facebook muda sadar akan kecanduan mereka terhadap produknya, tetapi merasa terjebak dan tidak mampu mengurangi penggunaannya. Dapatkah kita membayangkan kengerian adiksi yang bakal ditumbuhkan oleh metaverse kelak pastilah jauh melebihi apa yang diwujudkan Facebook saat ini.
Ketiga, peluang bakal berlangsungnya monopoli kehidupan digital, dimana metaverse menjanjikan manusia bisa masuk ke ‘next level‘ yang mencakup nyaris semua aspek kehidupan di internet. Sementara itu metaverse yang didominasi Meta sebagai entitas bisnis bakal didominasinya, dimana perusahaan lain kemungkinan akan mengalami guncangan bisnis yang besar akibatnya. Sejauh ini tercatat sudah ada beberapa perusahaan yang mengembangkan dunia virtual seperti halnya Meta, mulai dari Roblox, Minecraft milik Microsoft, Epic Games, Niantic, Decentraland, Nvidia, hingga Apple. Persaingan keras bakal terjadi dalam memperebutkan jumlah pengguna yang merupakan tambang keuntungan tak terbatas.
Kendati demikian, tak sedikit pakar yang meyakini sisi positif dari metaverse yang disebut sebagai tahap pengalaman teknologi humanistik yang ada. Metaverse menjadi dunia terbuka, di mana penggunanya dapat berinteraksi dengan lingkungan dan satu sama lain, fungsi interaksi sosial ini dinilai penting karena manusia menjelajahi ruang sambil terhubung dengan orang lain. Hal inilah yang membuat game dunia terbuka seperti Fortnite sangat sukses, karena unsur interaksi sosial di dalamnya. Metaverse disebut akan memungkinkan pertukaran sosial dan budaya dan dapat diintegrasikan secara organik ke dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Manakah yang bakal terealisasi dalam kehidupan kita di masa depan? Dan impak manakah yang bakal mengubah wajah kehidupan kita kelak? Jawabnya masih butuh kajian lebih lanjut dan lebih baik kita ikuti anjuran Kang Ebiet: mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang..hehehe..gitu aja koq repot..Kit lanjut ngopi yuuk sambil menyambut tahun baru 2022..’’
*)Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas-lepas, sedang menyelesaikan studi S3 sambil terus mengajar dan menulis di berbagai media.