Ceknricek.com–Saya kenal pertama kali lewat Bang Karni Ilyas. Dia sedang bekerja di Tempo. Bang Karni baru saja meninggalkan majalah Forum. Lalu bergabung di kantor kami membidani penayangan JLC (Jakarta Lawyers Club) di SCTV yang kemudian jadi program regular bulanan di sana. Waktu itu, Ivan sesekali bertandang ke kantor.
Karni kemudian diminta menjadi pemred SCTV sementara Ivan bergabung dengan RCTI sebagai wakil pemred. Tak sampai setahun, dia lalu mengundurkan diri. Sempat bekerja di sejumlah media cetak lagi sebelum akhirnya bergabung dengan KI di SCTV. Mereka kemudian hijrah ke ANTV. Ivan tetap di sana ketika bang Karni diminta memimpin dan membangun Lativi yang telah beralih kepemilikan dan berganti nama jadi TV One.
+++
Ivan adalah salah seorang wartawan yang berada di tengah pergulatan batin jurnalisme pertelevisian Indonesia. Dia terjun di saat industri tersebut mengalami ‘pancaroba’ yang dahsyat.
Pertama, karena kehadiran jurnalisme audio visual di tengah-tengah kita sebetulnya berlangsung sungsang. Jika tak ingin mengatakan ‘cacat’. Bahkan saat itu, profesi kewartawanan yang diakui, hanya berlaku terhadap awak media cetak. Sebab pada mulanya, televisi (swasta) pun tak diizinkan menyiarkan program pemberitaan. Kecuali TVRI yang memang jadi perpanjangan tangan pemerintah. Maka Seputar Indonesia RCTI dihadirkan ke tengah pemirsanya dengan cara bersiasat sebagai program ‘informasi’, bukan ‘berita’.
Kedua, karena sebelum Suharto dan Orde Baru tumbang, kepemilikan seluruh stasiun televisi swasta terkait erat dengan kekuasaan. Sebagian besar malah dimiliki perusahaan-perusahaan kerabat Suharto sendiri. Tentulah bisa dibayangkan bagaimana keleluasaan awak jurnalistik televisi saat itu, dalam menjalankan peran dan mengembangkan kemampuan profesionalnya. Selain medianya tak diakui, hadir setengah resmi, lalu berada di bawah ketiak penguasa yang sangat berkuasa pula.
Ketiga, karena setelah Suharto tak berkuasa, terjadi proses peralihan kepemilikan yang begitu cepat antar penguasa modal. Mereka adalah segelintir yang memiliki keleluasaan paling mewah. Sebab, perekonomian kita sedang sangat morat-marit. Sedemikian rupa sehingga sejumlah rambu reformasi yang sebetulnya sudah dibicarakan, bahkan dipersiapkan, beberapa saat sebelum Orde Baru jatuh, malah jadi berantakan. Mulai dari kebijakan pokok soal prinsip penyiaran berjaringan (tak ada lagi stasiun televisi nasional) hingga menyangkut hak dan peran istimewa awak jurnalistik. Ketentuan yang ingin ditegakkan semata-mata agar pemilik modal utama lembaga penyiaran, tak semena-mena. Juga agar pekerja media tersebut — khususnya di bidang jurnalistik — dapat menegakkan profesionalitas mereka.
Dengan semua catatan rumit itulah, Ivan Haris Kurnia menerjuni industri pemberitaan televisi. Pengalamannya yang pernah malang melintang di media cetak, tentu sangat bermanfaat. Tapi memasuki dunia jurnalistik audio visual di tengah badai saat itu, memang tak mudah. Terutama bagi mereka yang ingin menegakkan prinsip, kaidah, dan etikanya.
Maka akhirnya kami pun bersahabat. Karena sering bertukar pendapat. Juga bergurau dalam mencerna situasi, menghadapi persoalan, hingga menyiasati keadaan yang memang sedang rumit-rumitnya itu. Hingga akhirnya dia memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai orang kedua tertinggi di jajaran redaksi RCTI. Kemudian bergabung dengan bang Karni di SCTV untuk melakukan minatnya: program-program feature dan dokumentasi.
Kami kemudian hampir-hampir tak pernah bertemu lagi. Tentu gara-gara kesibukan masing-masing. Mungkin karena tak ada selain keluhan yang bakal dibicarakan. Jika topiknya bersangkut paut dengan jurnalisme pertevisian. Hal yang pasti tak mampu pula kami hindari. Terlebih di tengah perubahan yang bergulir di tengah arus ‘segalanya berinternet’.
Siang tadi, sekonyong-konyong kabar kepergiannya bertebaran di lini masa. Ivan meninggalkan kita semua setelah tertular covid-19. Kata sahabatnya melalui sambungan pribadi.
Selamat jalan, kawan yang sangat baik bahkan terlalu baik. Beristirahatlah di sana dengan sepenuh kedamaian yang abadi. Kesempatan berkelana denganmu di sini, merupakan hal yang tak mungkin tergantikan. Saya sangat mensyukuri kesempatan itu.