Ceknricek.com — Menko Polhukam Mahfud MD bereaksi keras terhadap persepsi orang yang dianggapnya membuat macam macam hoax yang tidak ia nyatakan di dalam program “Adu Perspektif” yang ditayangkan detik tv akhir pekan lalu. Mahfud berkilah, ia hanya berbicara tentang tantangan setelah Pemilu 2024. Yaitu masalah polarisasi ideologi, korupsi, dan penegakan hukum, sehingga tahun 2024 harus dipilih pemimpin yang strong leader, yang bisa menyatukan.
“Tapi para penyebar hoax ada yang sengaja menulis ngaco seperti ini: Menko Polhukam Akui Pemerintah Gagal, Mahfud MD Bilang Jokowi Lemah, Menko Polhukam Menyerah soal Korupsi, Menko Polhukam Nyatakan Jokowi Harus Diganti, Menko Polhukam Serang Istana, dan lain-lain. Padahal itu semua tak ada dalam omongan saya baik secara eksplisit maupun implicit,”katanya.
Menurut Mahfud, para pembuat dan penyebar hoax itu, kalau menurut istilah agama, adalah pemakan bangkai. Mahfud secara utuh mencoba menjelaskn statemen lengkapnya di Program Adu Perspektif di detik.com tv yang ditayangkan utuh sejak akhir pekan lalu.
“Saya bilang, tahun 2024 kita harus memilih pemimpin baru karena sudah dipastikan Pemilu tidak ditunda, Presiden Jokowi habis masa jabatannya, dan tidak ada perpanjangan masa jabatan. Kita harus mencari pemimpin yang kuat, bukan karena pemerintahan Presiden Jokowi lemah atau gagal, tetapi karena memang ada agenda konstitusional yakni Pemilu untuk memilih Presiden, dan Pak Jokowi tidak ikut kontes lagi,”katanya.
Menurut Mahfud, dua masalah yang kita hadapi ke depan adalah polarisasi (sub) ideologi dan merajalelanya korupsi dan lemahnya penegakan hukum.Dua masalah tersebut sudah terwariskan dari Presiden ke Presiden sehingga tak bisa dikatakan hanya terjadi sekarang, untuk kemudian menuding bahwa Pemerintah sekarang gagal.
“ Itu ngaco. Kalau itu dalilnya, logikanya maka semua Presiden gagal karena tak pernah ada yang bisa mengatasi dua hal itu. Mari dirunut. Soal korupsi dan penegakan hukum misalnya, tak bisa dibantah bahwa kedua masalah tersebut selalu menjadi problem semua Presiden. Pak SBY dulu bertekad memimpin sendiri perang melawan korupsi, malah secara resmi beliau memperkenalkan istilah mafia hukum sebagai pengganti istilah mafia peradilan. Tapi masih banyak pejabat dan politisinya yang korupsi gede-gedean,”jelas Mahfud.
Selain itu, menurut Mahfud, dulu Megawati pernah mengeluh bahwa dirinya mewarisi birokrasi Tong Sampah sehingga sulit memberantas korupsi meski keputusan politiknya sudah tegas. Begitu pun Gus Dur, pada masanya galak terhadap koruptor dan mencoba menangkapi koruptor tapi malah Gus Dur yang jatuh. Pak Habibie pun begitu.
“Jadi problem korupsi dan polarisasi ideologi itu sudah terwariskan dari waktu ke waktu, sehingga membuat pembelahan yang membahayakan. Dari mana logikanya kok menuding saya bilang bahwa pemerintah sekarang gagal dan menyerah? Sebaliknya jika melihat hasil survei semua lembaga survei yang kredibel (Litbang Kompas, SMRC, Indikator Politik Indonesia, Charta Politika) melaporkan pada awal tahun ini bahwa tingkat kepuasan publik terhadap Pemerintahan Jokowi justru tinggi,”kata Mahfud.
Mahfud kemudian melanjutkan, Survei Litbang Kompas yang dirilis awal Maret 2022 menyatakan kepuasan publik adalah yang tertinggi selama 7 tahun pemerintahan Jokowi dan mencapai skor lebih dari 73 persen. Sedangkan penegakan hukum saat survei itu sudah 65 persen padahal pada akhir 2019 hanya 49,1 persen.
“Siang ini tadi (28/4/22), saya ikut hadir dalam rilis hasil survei Indikator Politik oleh Burhan Muhtadi. Ternyata kepercayaan publik dan indeks penegakan hukum masih cukup tinggi meski sempat turun sebentar ketika ribut-ribut penundaan pemilu. Penegakan hukum tetap baik malah Kejagung yang tadinya ada di peringkat 8 naik ke peringkat 4 dalam kepercayaan publik. Para pembuat hoax pemakan bangkai tentu bilang itu survei abal-abal dan pesanan. Kemudian meminjam nama saya untuk menghantam Presiden Jokowi. Padahal saya bilang tahun 2024 harus dipilih Presiden baru, karena tahun itu akan ada Pemilu dan Pak Jokowi sudah tidak bisa dipilih lagi. Di bagian mana saya bilang Presiden Jokowi gagal dan lemah?”
Terkait keharusan memilih Presiden yang kuat, menurut Mahfud, itu karena fakta dalam sejarah semua Presiden Indonesia tidak bisa menyelesaikan polarisasi politik identitas dan lemahnya hukum di depan merajalelanya korupsi.
“Kalau di Amerika Latin, kata saya, jika pertentangan di tengah masyarakat meluas dan hukum tidak tegak biasanya militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta dengan alasan menyelamatkan negara. Tak ada sama sekali saya bilang TNI akan kudeta. Tapi pembuat hoax menulis: ‘Mahfud bilang Prsiden lemah dan gagal, TNI akan kudeta’. Di bagian mana saya bilang begitu? Di Indonesia itu takkan pernah terjadi. Pemerintah sekarang ini justru kuat dan tidak gagal,”pungkas Mahfud.