Ceknricek.com — Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) mengajukan petisi permohonan penundaan RUU Omnibus Law Kesehatan pada Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani. Petisi yang dibacakan Prof. Laila Nurana pada Senin, 10 Juli 2023 itu menjelaskan alasan pentingnya penundaan itu dalam beberapa point. Petisi diajukan oleh 150 orang Guru Besar lintas profesi, baik dari profesi kesehatan dan non kesehatan.
Menurut Prof. Laila, setelah membaca, menelaah, mendiskusikan secara seksama, dengan berbasis bukti, tentang RUU Kesehatan, FGBLP mengidentifikasi sejumlah isu serius di dalamnya yang sangat perlu dipertimbangkan, yaitu :
Pertama, penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan undang-undang, yaitu asas keterbukaan/transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan (filosofis, sosiologis, & yuridis), dan kejelasan rumusan. Langkah- langkah perbaikan dan peningkatan kualitas perumusan serta partisipasi publik harus menjadi fokus untuk mencapai undang-undang kesehatan yang lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kedua, tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan saat ini. RUU Kesehatan ini akan mencabut 9 undang-undang terkait kesehatan dan mengubah 4 undang-undang lainnya. Padahal hampir semua undang-undang tersebut masih relevan digunakan dan tidak ditemukan adanya redundancy dan kontradiksi antar satu sama lain. Di saat yang sama, negara sedang menyiapkan sebuah hajatan demokrasi besar yang memerlukan perhatian serius, yaitu Pemilihan Umum.
Ketiga, berbagai aturan dalam RUU berisiko memantik destabilitas sistem kesehatan serta mengganggu ketahanan kesehatan bangsa. Sejumlah pasal-pasal dalam RUU tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan kepada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat, diantaranya:
(a) Hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WH0 dan TAP MPR RI X/MPR/2001.
(b) munculnya pasal-pasal terkait ruang multibar bagi organisasi profesi.
(c) kemudahan bagi dokter asing untuk masuk ke negara ini; yang tidak menguntungkan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih harus memerangi kemiskinan.
(d) Implementasi proyek bioteknologi medis –termasuk proyek genom– yang mengakibatkan konsekuensi serius pada biosekuritas bangsa, dan
(e) kontroversi terminologi waktu aborsi.
Keempat, pengesahan RUU yang menuai begitu banyak kontroversi ini bisa melahirkan kelemahan penerimaan dan implementasi undang-undang (reluctant compliance) yang ujungnya bermuara pada konflik dan ketidakstabilan bidang kesehatan, kurangnya legitimasi undang-undang, serta minimnya partisipasi kolektif yang bermakna dari
berbagai lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi.
Dari beberapa pertimbangan tersebut, FGBLP melihat RUU Kesehatan saat ini memiliki sejumlah isu serius yang berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa. Karenanya, FGBLP mengusulkan RUU ini ditunda pengesahannya dan kemudian dilakukan revisi secara lebih kredibel dengan melibatkan tim profesional kepakaran serta semua pemangku kepentingan. Hal ini sebagai upaya meningkatkan kualitas dan kesempurnaan RUU.
“Kami siap berkontribusi dan berkolaborasi dengan DPR serta pihak-pihak terkait, ” pungkas Prof. Laila Nurana.