Close Menu
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
Tentang Kami Kontak Kami
  • APP STORE
  • GOOGLE PLAY
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
CEK&RICEKCEK&RICEK
Trending:
  • 8 Tempat Berburu Takjil di Jakarta Saat Ramadhan
  • Bareskrim Tangkap Direktur Persiba Balikpapan Terkait Kasus Narkoba
  • Dialog Ramadan Lintas Agama: Puasa sebagai Sarana Menahan Diri dan Membangun Kebersamaan
  • Rantai Korupsi Tambang Nikel
  • Lady Gaga Bakal Gelar Konser di Singapura pada Mei 2025
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
Home»Opini

Demokrasi yang Penuh Bug

Opini February 3, 20255 Mins Read

Ceknricek.com–Demokrasi, kata sebagian orang, termasuk sistem terbaik yang pernah diciptakan manusia, meskipun penuh cacat. Namun, ada juga yang berpendapat, demokrasi hanyalah eksperimen gagal yang sebaiknya segera ditutup, dikemas ulang, dan dikirim ke museum politik dunia. Salah satu pengeritiknya yang paling vokal, Curtis Yarvin, seorang insinyur komputer yang tampaknya lelah dengan sistem yang ia anggap lamban, membingungkan, dan penuh “bug.”

The New York Times baru-baru ini mewawancarai Yarvin. Programmer yang menciptakan sistem Urbit —sebuah proyek pengganti Internet yang lebih banyak menarik minat para penggemar teori eksentrik ketimbang revolusi digital— ini kembali mengungkap gagasannya bahwa demokrasi merupakan sistem usang dan tak layak pakai. Alih-alih parlemen dan pemilu, ia menawarkan monarki berbasis CEO: seorang pemimpin tunggal yang memiliki kekuasaan absolut, layaknya pemimpin perusahaan raksasa yang tak perlu repot-repot mendengar suara pelanggan.

Ide ini, tentu saja, mengundang gelak tawa dan kecemasan. Bagi para pemuja kebebasan, usulan Yarvin terdengar seperti naskah film distopia kelas B. Namun, di kalangan tertentu, terutama Silicon Valley dan lingkaran konservatif Amerika, pemikirannya memiliki daya tarik tersendiri. Mungkin karena dalam benak mereka, dunia lebih baik jika dijalankan seperti startup teknologi —agile, disruptif, dan tanpa “demokrasi.” Baginya, pemimpin kuat (seperti CEO) dapat mengambil keputusan cepat dan efektif tanpa terhambat oleh birokrasi atau proses demokratis yang lamban.

Meskipun ide-idenya terdengar seperti fantasi seorang penggemar teori konspirasi, Yarvin telah mendapatkan pengikut di kalangan elit kekuasaan. Wakil Presiden terpilih JD Vance, misalnya, telah mengutip gagasan Yarvin tentang “de-wokeifikasi” institusi AS. Bahkan, tokoh-tokoh seperti Marc Andreessen (venture capitalist) dan Peter Thiel (miliarder konservatif) telah memuji pemikirannya.

Thiel, salah seorang pendiri PayPal dan pendukung utama Donald Trump, menyebut Yarvin sebagai “sejarawan yang kuat.” Namun, Yarvin sendiri meragukan bahwa Trump atau pemerintahan mana pun akan benar-benar menerapkan idenya. Menurutnya, birokrasi AS terlalu kuat dan mengakar untuk diubah secara drastis. Trump, meskipun dianggap sebagai “CEO” yang kuat, tetap terbatas oleh sistem yang ada.

Di bawah nama samaran Mencius Moldbug, Yarvin menulis blog Unqualified Reservations (2007-2014). Blog ini berisi esai-esai panjang yang mengkritik demokrasi, liberalisme, dan sistem politik modern. Yarvin dikenal karena gaya penulisannya yang provokatif, penuh dengan referensi sejarah, dan sering kali sarkastik. Tulisan-tulisannya mencakup kritik terhadap media arus utama, akademisi, birokrasi pemerintah, dan sistem demokrasi secara umum.

Ada sesuatu yang ironis dalam argumen Yarvin. Ia mengkritik demokrasi karena dianggap dikuasai oleh segelintir elit yang berkedok “kedaulatan rakyat.” Namun, solusinya adalah mengganti sistem itu dengan sistem yang lebih elit lagi. Hanya kali ini, elitnya satu orang saja, seorang “raja CEO.” Dalam teori Yarvin, tidak ada ruang bagi rakyat jelata untuk ikut campur. Demokrasi, katanya, terlalu banyak kompromi; lebih baik serahkan segalanya kepada satu orang dengan otoritas mutlak.

Yarvin mengklaim bahwa sejarah menunjukkan monarki bisa menjadi sistem yang efektif. Ia merujuk pada tokoh-tokoh seperti Franklin Delano Roosevelt (FDR), yang menurutnya bertindak seperti seorang “CEO” selama masa New Deal. Yarvin berpendapat bahwa FDR mengambil alih kekuasaan hampir seperti seorang diktator, tetapi tindakannya dianggap positif karena menghasilkan perubahan besar.

Namun, argumen Yarvin ini diwarnai oleh selektivitas sejarah. Ia mengabaikan fakta bahwa banyak monarki dan diktator dalam sejarah justru membawa bencana. Dari Nero hingga Hitler, Stalin, dan Mao, kekuasaan absolut sering kali berujung pada kekerasan dan penindasan. Yarvin mencoba membedakan antara “monarki yang baik” dan “monarki yang buruk,” tetapi kriteria yang ia gunakan terkesan subjektif dan tidak konsisten.

Tentu, ide ini terdengar menggoda bagi mereka yang frustrasi dengan politik transaksional dan kelambanan birokrasi. Tapi apakah betul seorang pemimpin tunggal bisa lebih efektif? Ataukah kita hanya akan berakhir dengan kombinasi Elon Musk sebagai presiden dan sistem operasi Windows 98 sebagai konstitusi?

Di Indonesia, kritik terhadap demokrasi juga bukan barang baru. Dari era Orde Lama hingga Orde Baru, kita telah menyaksikan berbagai eksperimen dengan demokrasi terbatas, demokrasi terpimpin, hingga demokrasi yang lebih mirip birokrasi kepemimpinan absolut. Kritik terhadap demokrasi di negeri ini sering kali muncul dalam bentuk nostalgia otoritarianisme: bahwa dulu semuanya lebih “tertib,” lebih “efisien,” dan lebih “terkendali.”

Beberapa akademisi dan politisi kita pun tak jauh berbeda dari Yarvin. Mereka mengatakan bahwa demokrasi hanya menghasilkan kebisingan, bukan kebijakan. Pemilu dianggap ajang pemborosan, sementara rakyat—yang seharusnya pemegang kedaulatan—justru menjadi objek jual-beli suara. Jika Yarvin mengusulkan monarki CEO, di Indonesia, yang sering muncul adalah wacana “kepemimpinan kuat” ala orde lama yang penuh romantisasi.

Tentu, kritik terhadap demokrasi bukan berarti harus membuangnya begitu saja. Seperti halnya perangkat lunak, demokrasi membutuhkan pembaruan berkala, debugging, dan kadang-kadang, penghapusan fitur yang tidak berguna. Namun, menggantinya dengan “monarki CEO” atau diktator yang “baik”? Itu seperti mengganti sistem operasi yang lambat dengan virus Trojan hanya karena tampak lebih “langsung” dan “efisien.”

Curtis Yarvin dan para pengeritik demokrasi lainnya, baik di Amerika maupun di Indonesia, memiliki satu poin yang benar: demokrasi kita tidak sempurna. Masih banyak cacat di dalamnya, seperti demokrasi yang kini sering dibajak para oligarki. Namun, solusinya bukanlah menukar kebebasan dengan otoritarianisme, melainkan memperbaiki sistem yang ada.

Demokrasi bisa jadi memang cacat, tapi dalam sejarah manusia, kita belum menemukan sistem yang lebih baik dalam menjaga hak dan kebebasan individu. Jika ada yang berpikir bahwa seorang “raja CEO” atau “pemimpin kuat” adalah jawaban, mungkin yang sebenarnya dibutuhkan bukan penguasa baru, tetapi rakyat yang lebih sadar akan kekuatan dan tanggung jawab mereka dalam sistem ini.

Jadi, apakah demokrasi harus diperbaiki? Tentu. Apakah kita harus menggantinya dengan sistem monarki teknologi? Tidak, kecuali kita ingin hidup dalam dunia di mana algoritma dan oligarki menjadi satu-satunya hukum yang berlaku.

Cak AT – Ahmadie Thaha

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 3/2/2025

#Demokrasi ordebaru pemerintahan
Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp Email

Related Posts

Rantai Korupsi Tambang Nikel

Ironi Dunia Penerbangan Indonesia

Generasi Beta, Selamat Datang

Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

Sedang Tren

8 Tempat Berburu Takjil di Jakarta Saat Ramadhan

Ceknricek.com — Menjelang waktu berbuka puasa, berburu takjil menjadi salah satu tradisi yang paling dinantikan selama…

Bareskrim Tangkap Direktur Persiba Balikpapan Terkait Kasus Narkoba

March 10, 2025

Dialog Ramadan Lintas Agama: Puasa sebagai Sarana Menahan Diri dan Membangun Kebersamaan

March 10, 2025

Rantai Korupsi Tambang Nikel

March 10, 2025

Lady Gaga Bakal Gelar Konser di Singapura pada Mei 2025

March 10, 2025

Nikita Willy Bagikan Tips Tetap Bugar Saat Berpuasa

March 10, 2025

Hasil Liga Italia: Atalanta Permalukan Juventus 4-0

March 10, 2025

Ironi Dunia Penerbangan Indonesia

March 10, 2025
logo

Graha C&R, Jalan Penyelesaian Tomang IV Blok 85/21, Kav DKI Meruya Ilir, Jakarta Barat. redaksi@ceknricek.com | (021) 5859328

CEK & RICEK
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers
Sertifikat Nomor
575/DP-Verifikasi/K/X/2020

Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
© 2017-2025 Ceknricek.com Company. All rights reserved.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.