Ceknricek.com–Februari 2024, tercatat sebagai puncak pelaksanaan pemilu. Pemilu serentak, di samping memilih Presiden / Wakil presiden RI ke 8, juga bersamaan memilih legislator (DPRD/DPR RI) dan para senator (DPD RI).
Waktu tinggal 2 (dua) pekan lagi, karena itu tak heran banyak suara – suara baik positif maupun negatif yang berseliweran di sekitar kita, seperti ” Awas bakalan pemilu penuh intimidasi dan drama ! “.
Seruan penuh kekhawatiran atau sarat dengan keprihatinan itu acapkali terdengar pada periode menjelang puncak pencoblosan tanggal 14 Februari 2024. Inilah pemilu yang boleh dibilang paling banyak menimbulkan “benturan” hukum. Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap sangat kontroversial, sehingga mahkamah kehormatan mahkamah konstitusi (MKMK) membuka sidang dan menyatakan adanya pelanggaran berat kode etik yang dilakukan oleh Ketua MK.
Bahkan, tidak hanya itu, tetapi banyaknya laporan yang terindikasi pelanggaran pemilu di laporkan ke Bawaslu tetapi tidak mendapat tindak lanjut. Adanya mobilisasi kepala desa untuk mengarahkan memilih kepada salah satu Paslon. Serta ancaman intimidasi dari kekuasaan yang menunjukkan ketidaknetralan dalam pelaksanaan pemilu. Terakhir kita mendengar adanya polemik (perdebatan) apakah presiden dibolehkan atau tidak untuk berkampanye dan/atau memihak kepada salah satu Paslon di pemilu.
Situasi seperti itulah yang menyelimuti awan gelap di puncak kontestasi pemilu. Norma hukum tidak lagi berbasis hukum dan menunjukkan suasana rasional. Tak heran, HM Yusuf Kalla mantan Wakil Presiden menyebutnya kondisi pemilu kali ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah.
Kemunduran demokrasi
Selayaknya pemimpin bangsa Indonesia melakukan refleksi atas ragam peristiwa demokrasi yang telah dilalui, sembari menyiapkan perjalanan demokrasi selanjutnya yang lebih solid dan mapan menjaga “kredibilitas” demokrasi itu sendiri.
Bagaimana pun, Indonesia sebagai negara demokrasi, tentu saja kita berharap panggung politik pada setiap musim kontestasi berjalan normal dan fair, meskipun diwarnai gegap gempita dengan aneka ragam pertarungan gagasan dan konsep akan tetapi tetap menunjukkan nilai – nilai kesatriaan.
Namun, sejujurnya apa yang kita saksikan akhir – akhir ini adalah sesuatu yang membuat dinamika demokrasi mengalami kemunduran. Yang tampak adalah paradoks demokrasi sehingga berbagai tindakan anti demokrasi terjadi di mana – mana.
Kekisruhan dan dikotomi itu, membuat R William Liddle menegaskan analisisnya (Kompas 27/1/2023) dengan judul “jangan merusak demokrasi”. Menurutnya, apa yang terjadi di Indonesia hari – hari ini adalah seperti yang di gambarkan oleh beberapa pakar dalam buku Democracy In Indonesia From Stagnation to Regvession ? (Thomas Power dan Eve War burton, ISEAS, Singapura, 2020).
Lebih jauh Prof Liddle menyebutnya, ” masa kepemimpinan Presiden ke 7 ini justru membuat demokrasi makin mengalami stagnasi. Bahkan, menyeret balik (setback) Indonesia ke era kelam zaman Orde Baru. Hal itu bisa dilihat, ketika serentetan tindakan anti demokratis terus terjadi, ” tulis Prof Liddle.
Pemilu “happy ending”
Akhir tulisan ini yang patut dicatat, digarisbawahi, dan diantisipasi adalah adanya pengentalan fanatisme yang pada gilirannya akan menimbulkan “keterbelahan” anak bangsa. Kultur ini, tentu saja berpotensi menciptakan “sindrom” kepada kandidat presiden tertentu.
Oleh sebab itu, titik kulminasi di puncak pelaksanaan pemilu yang tinggal menghitung hari lagi, haruslah segala proses tahapan pemilu dikembalikan kepada prinsip- prinsip demokrasi yang benar, elegan, bermartabat serta berdasarkan moralitas politik.
Nah, kesemuanya itu kita berharap, semoga akhir cerita pemilu senantiasa menguatkan pesan moralis dalam formula happy ending. Sehingga bangsa ini wajib mendapatkan pencapaian yang mengesankan dengan kontestasi yang berkualitas melalui pelaksanaan pemilu 2024 yang lebih demokratis dari pemilu sebelumnya. Wallahualam bis’sawab !
Jakarta, 28/1/2024
#Abustan, Pengajar magister ilmu hukum Universitas Islam Jakarta