Ceknricek.com–Indonesia sedang berada di persimpangan kritis dalam perjalanan demokrasinya. Fenomena “pembengkokan” dan “pelurusan” hukum oleh elite politik telah menciptakan anomali konstitusional yang mengancam tidak hanya integritas sistem hukum, tetapi juga masa depan negara hukum yang kita cita-citakan.
Bayangkan sebuah negara di mana hukum bisa dibengkokkan sekehendak penguasa, di mana keadilan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Inilah yang kini mengintai Indonesia. Kasus-kasus high-profile yang berakhir kontroversial, legislasi yang menuai kritik publik, dan pelemahan sistematis terhadap lembaga antikorupsi bukan lagi sekadar anomali, melainkan gejala kronis dari sistem yang sakit.
Politisasi lembaga penegak hukum telah menciptakan fenomena “selective justice” yang menciderai rasa keadilan masyarakat. Sementara kasus-kasus yang melibatkan masyarakat biasa diproses dengan cepat, kasus-kasus yang menyangkut elite politik seringkali mengalami penundaan atau bahkan pemberhentian tanpa alasan yang jelas. Ini bukan hanya tentang ketidakadilan, tetapi juga tentang erosi kepercayaan publik terhadap sistem hukum kita.

Lebih mengkhawatirkan lagi, hukum kini seringkali digunakan sebagai instrumen politik jangka pendek. Undang-undang dibuat bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk mengakomodasi kepentingan elit tertentu. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip dasar negara hukum.
Namun, situasi ini bukanlah takdir yang tidak bisa diubah. Kita, sebagai bangsa, memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan fundamental. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk melakukan reformasi struktural yang menyeluruh.
Pertama, kita harus memperkuat independensi lembaga peradilan. Ini bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan melalui mekanisme seleksi hakim yang transparan dan berbasis merit, jauh dari bayang-bayang intervensi politik. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus menjadi benteng terakhir keadilan, bukan perpanjangan tangan kekuasaan politik.
Kedua, kita perlu melakukan revitalisasi lembaga pengawas independen. Komisi Yudisial harus diberi kewenangan yang lebih substantif dalam mengawasi perilaku hakim. Sementara itu, pembentukan lembaga pengawas independen untuk kepolisian dan kejaksaan adalah sebuah keniscayaan untuk memastikan akuntabilitas penegak hukum.
Ketiga, reformasi sistem legislasi mutlak diperlukan. Proses pembuatan undang-undang harus melibatkan partisipasi publik yang lebih luas dan substantif. Peran Mahkamah Konstitusi dalam judicial review harus diperkuat untuk mencegah lahirnya undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Keempat, kita harus berinvestasi dalam edukasi dan pemberdayaan masyarakat. Program literasi hukum yang komprehensif harus menjadi prioritas nasional. Masyarakat yang sadar hukum adalah garda terdepan dalam mengawasi dan memastikan penegakan hukum yang adil.
Kelima, dan mungkin yang paling mendasar, kita perlu melakukan reformasi etika di kalangan profesi hukum. Integritas dan resistensi terhadap intervensi politik harus menjadi DNA setiap penegak hukum, dari hakim hingga polisi dan jaksa.
Langkah-langkah ini bukanlah pekerjaan mudah. Ini membutuhkan komitmen politik yang kuat dan dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Namun, jika kita gagal melakukannya, konsekuensinya akan sangat serius. Bukan hanya kepercayaan publik yang akan semakin terkikis, tetapi juga stabilitas sosial-politik dan prospek pembangunan ekonomi kita akan terancam.
Kita berada di titik kritis di mana pilihan yang kita buat hari ini akan menentukan masa depan negara hukum Indonesia. Apakah kita akan membiarkan hukum terus menjadi alat politik, ataukah kita akan dengan berani melakukan reformasi fundamental untuk membentengi hukum dari jeratan politik?
Jawabannya ada di tangan kita semua. Mari kita bangun kembali Indonesia sebagai negara hukum yang sejati, di mana keadilan bukan hanya slogan, tetapi realitas yang dirasakan oleh setiap warga negara. Inilah tantangan konstitusional kita, dan inilah saatnya untuk bertindak.