Ceknricek.com–Memasuki dua pekan setelah pemilu 2024, demokrasi kita harus diakui saat ini sedang menginjak tahap krisis legitimasi. Suatu situasi ketika semua parameter politik lalai menjaga batas-batas kesetiaan / kepatutan rakyat. Sementara kepentingan-kepentingan ekonomi dan oligarki politik terus mendesakkan pengaruhnya serta memperluas jangkauan kekuasaan, menguasai dan menentukan hajat hidup orang banyak.
Pasca pesta demokrasi bukannya disambut dengan kegembiraan rakyat atau adanya pertukaran ide-ide besar untuk kemajuan Indonesia ke depan. Padahal, untuk menjadi negara bangsa modern yang besar, sesuai impian founding fathers (pendirinya). Maka, mau tak mau Indonesia harus dipimpin oleh figur pemimpin besar dengan pikiran besar demi kebesaran bangsanya.
Pemimpin besar haruslah menjiwai kesadaran tentang arah bangsa ke depan dan kondisi realitas yang dialami masyarakat. Di mana kondisi masyarakat yang makin terpuruk, dengan berita kenaikan harga beras yang makin marak. Kompas memberitakan harga beras sekarung besar mencapai Rp 1 juta di Wakatobi. Belum lagi berita kecurangan pemilu, yang meminta DPR mengajukan Hak Angket, Hak Interpelasi atau Hak Menyatakan Pendapat.
Hiruk pikuk “kesemrawutan” penyelenggaraan pemilu 2024 menunjukkan bahwa kualitas pelaksanaan demokrasi tidak lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Anomali
Tatkala keadilan banyak disuarakan para Capres dan Caleg, justru yang nampak hanya kesenjangan. Ketika kesejahteraan banyak dijanjikan, yang terasa hari ini hanya kesulitan yang setiap hari menjadi beban hidup. Kekuasaan hanya menjadi instrumen untuk menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi, kelompok, golongan, bahkan keluarga.
Pada titik inilah, suara rakyat jadi tak bermakna (absurd). Ketika berbagai aspirasi rakyat pada gilirannya tidak dapat diwujudkan secara konkrit (dioperasionalkan) dalam ranah kebijakan setiap denyut tatanan bernegara.
Sesungguhnya, inilah rasionalitas dan nalar cita-cita mulia bernegara, sehingga makin jelas mengapa demokrasi dibutuhkan sebagai “pegangan dan pilar” mewujudkan kedaulatan rakyat sebagai cita-cita yang senantiasa inheren dalam kehidupan keseharian.
Sejalan dengan pikiran dan cita-cita para pendiri negara di bidang ekonomi, yaitu salah satu sisi kehidupan bernegara yang menjadi keniscayaan adalah mendasarkan kesahihannya pada premis: demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi menjadi mustahil, dan demikian pula sebaliknya.
Dalam pidato Bung Hatta sejak tahun 1932 “ke arah Indonesia merdeka” menyatakan: “Pendeknya cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat .. inilah arti kedaulatan rakyat. Tidak saja dalam hal politik melainkan juga dalam sisi sosial dan ekonomi ada demokrasi”. Dari pandangan yang sangat mendasar itu, jelas tergambar betapa mekanisme pengaturan negara, termasuk bidang ekonomi harus diputuskan oleh seluruh rakyat secara mufakat.
Pemikiran Bung Hatta memperkaya khazanah pemikiran. Bangsa ini memang terbiasa berguru pada masa lalunya. Memetik pelajaran sebagai hikmah, lalu dilestarikan. Idealisme harus diletakkan sebagai gugusan teori-teori demokrasi dari masa ke masa. Karena itu, ia bisa menjadi referensi bagi publik, untuk membuktikan diri sebagai figur demokratis.
Saat ini, setelah beberapa hari selesai pemilu, kitapun dengan bebas memberi refleksi dan catatan capaian demokrasi. Konklusi kita menyatakan bahwa demokrasi telah menjadi realitas semu dari pergumulan anomali yang hanya berwarna di alam imajinasi, namun suram di tengah riuh pasar kehidupan. Bukankah atas nama demokrasi, kita memilih para wakil rakyat, hingga pemimpin negara ? Namun ironis, pelan-pelan wajah demokrasi makin memberi keyakinan bahwa keberadaannya hanyalah sekedar atribut atau demokrasi yang mengalami defisit.
Pertanyaan penting buat kita, ketika sudah kehilangan arah dan tujuan apakah perlu mengubah arah perjalanan demokrasi ? Untuk menjawab hal tersebut ada baiknya merenungkan kata filsuf Rene Descartes, jika kita tersesat ditengah perjalanan gelap, cara terbaik dan tercepat untuk keluar dari ketersesatan itu adalah jangan pernah mengubah arah perjalanan. Sejarah ternyata tidak mengenal belas kasihan, yang berlaku adalah survival of the fittest, seperti kata Darwin.
Walhasil, sekiranya pilihan kita di jalur demokrasi pada dua dasawarsa lebih, yaitu momentum reformasi yang pernah menyapa tekad kebangkitan demokrasi di negeri ini nampak terus memudar. Cita-cita dan tujuannya yang begitu ideal tergerus oleh sistem yang tidak akomodatif bagi sistem demokrasi itu sendiri.
Maka, tak heran kekhawatiran bermunculan tentang tata cara berpolitik dan merebut kekuasaan yang keluar dari koridor demokrasi, sehingga kita pun mengalami kegelisahan dan memendam kerinduan pada “bayangan” demokrasi sejati. Setelah ia dimatikan secara sistemik, kita akan mendefinisikannya kembali demi sejarah masa depan.
Yang pasti , bukan definisi yang bersumber dari dinasti kekuasaan, melainkan definisi yang bersumber dari rakyat yang akan merasakan nikmat sesungguhnya hidup di alam demokrasi. Indonesia merdeka bukan hanya demi rakyat, melainkan harus dijalankan oleh rakyat dan atas penugasan rakyat. Oleh karena itu, kekurangan dan kelemahan yang ada, tidak dapat dibiarkan diluluhlantahkan ke sistem kekuasaan oligarki. Rakyat yang harus menentukan nasibnya sendiri.
Jakarta, 28 Februari 2024
#Abustan, Pengajar Sosiologi Hukum Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (UID)