Ceknricek.com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencoba menaikkan kelasnya. Dalam Pertemuan Pemimpin ASEAN dengan ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) di Hotel Athenee Bangkok, Presiden Indonesia itu meminta kepada sektor swasta di Asia Tenggara agar terus mencari peluang di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dengan China.
Menurut Jokowi, menghadapi perang dagang AS-China, seluruh negara di kawasan Asia Tenggara perlu memperkuat integrasinya. Sebab, bisa saja perang dagang AS-China ini mengganggu stabilitas ekonomi dan keamanan kawasan.
“Di forum dengan ASEAN-BAC saya menyampaikan dorongan kepada sektor swasta ASEAN agar terus mencari peluang di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok sambil terus perkuat jejaring untuk memperkokoh integrasi,” ujar Jokowi dalam akun instagram @Jokowi di Jakarta, Minggu (23/6). Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean Ke-34 digelar di Bangkok, Thailand, pada 20-23 Juni 2019.
Jokowi-KTT. Sumber: 1News
Pernyataan Jokowi itu ironis. Soalnya, ketika negara lain sudah memetik manfaat atas terjadinya perang dagang tersebut, Indonesia justru terkena dampak buruknya. Pertumbuhan ekonomi negeri ini terjebak pada angka 5% lebih sedikit. Di sisi lain, target yang dipatok ke depan pun tak jauh dari angka itu. Target mini tersebut oleh para menteri ekonomi Kabinet Kerja disebutnya akibat perang dagang yang tak kunjung usai sehingga membuat ekonomi global tidak bersahabat.
Memang pernyataan serupa juga sudah disampaikan Jokowi kepada pengusaha Indonesia. “Pasar AS yang sebelumnya dimasuki produk-produk dari China bisa jadi peluang untuk juga memperbesar kapasitas, sehingga produk kita (Indonesia) bisa masuk ke sana,” ujar Jokowi ketika menerima jajaran pengusaha Kadin dan Hipmi di Istana Merdeka, Rabu (12/6).
Tidak Mudah
Sebelumnya, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, menyebut Indonesia memiliki sejumlah upaya untuk memanfaatkan perang dagang. Dua di antaranya berusaha menjaga pasar yang sudah ada serta mencari pasar-pasar baru. “Dengan ketidakpastian seperti ini tentu tidak mudah, maka kita jaga langganan kita, jaga market yang ada dan kita percepat seluruh perjanjian kalau tidak di tahun depan kita akan sangat tertinggal,” kata Enggar.
Di sisi lain, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah mengingatkan, tidak mudah bagi Indonesia mencuri peluang dari perang dagang antara AS dan China. Sebab, di tengah gesekan antar kedua negara tersebut, Indonesia harus memacu ekspornya untuk tetap tumbuh. “Jujur saja kita sangat sulit memanfaatkan perang dagang. Peluang dari perang dagang tidak mudah bukan tidak mungkin,” katanya kepada merdeka.com, Senin (17/6).
Sumber: Bisnis.com
Piter menyebut salah satu peluang yang bisa diambil Indonesia yakni memacu laju ekspor. Sementara, yang diperlukan di tengah bergulirnya perang dagang adalah dengan menggenjot produk-produk manufaktur. Sedangkan, pertumbuhan manufaktur secara nasional masih jauh dari harapan yakni di bawah 5%.
Pemerintah tidak bisa menjadikan produk manufaktur sebagai ujung tombak di tengah kondisi perang dagang saat ini. Sebab tidak mungkin memacu manufaktur dalam waktu singkat.
Kendati demikian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, bertekad memperbesar kapasitas pabrik di Indonesia untuk tujuan itu. Dengan begitu, Indonesia siap menggantikan China mengekspor segala rupa barang mulai dari furnitur hingga garmen.
Luhut meyakini Indonesia berpotensi menggantikan China memasuki pasar AS. Menurut Luhut, AS mengimpor barang 21% dari China. “Kita lagi bicara, kemarin saya ke Amerika, perusahaan di sana mengimpor dari China lebih dari 21%. Misalnya, furnitur, mereka impor sampai US$34,8 miliar,” katanya, Jumat (21/6).
Dengan tarif impor yang sudah diketok sebesar 25%, impor barang China masuk ke AS tidak lagi menarik. Di situlah potensi Indonesia menjadi pengganti China sebagai negara eksportir ke AS.
Belum Optimal
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai selama ini pemerintah belum optimal memanfaatkan perang dagang AS dan China. Indonesia tertinggal jika dibandingkan Vietnam yang dinilai mampu meraup keuntungan dari perang itu. “Keunggulan komparatif Vietnam dibandingkan Indonesia itu bukan dari upah buruh yang lebih murah tapi justru dari insentif yang diberikan, ujarnya.
Sumber: Tribunnews
Vietnam menjadi salah satu negara tujuan utama karena kemudahan dan jaminan yang diberikan untuk para investor. “Di sini banyak kepala daerah yang antipati terhadap investor yang datang karena sudah puas bagi hasil dengan pemerintah pusat,” katanya.
Enggar juga mengakui, Vietnam dan Malaysia sangat agresif memanfaatkan celah perang dagang ini. Kita harus ikuti itu,” ujarnya.
Pakar ekonomi dan bank investasi Jepang, Nomura, dalam laporan terbarunya menyebut Vietnam, Taiwan, dan Chili adalah pemenang perang dagang antara AS-China. Pasalnya, banyak importir AS dan China kini mencari barang-barang dari negara lain untuk menghindari tarif impor yang diberlakukan kedua negara.
Perang tarif impor antara AS dan China otomatis membuat biaya perdagangan antara kedua negara menjadi lebih tinggi, sehingga para pemasok dari negara-negara lain menjadi lebih kompetitif dibandingkan perusahaan-perusahaan AS dan China.
Pemerintah AS telah mengenakan tarif impor sebesar 25% atas sebagian barang impor dari China, senilai seluruhnya US$250 miliar. AS juga mengancam akan memperluas tarif impor itu ke barang-barang lain sampai senilai US$325 miliar. Sebagai langkah balasan, Beijing mengenakan tarif impor atas sebagian barang dari AS senilai US$110 miliar.
Laporan Nomura menyebutkan, sejauh ini Vietnam menjadi penerima manfaat terbesar dari pengalihan perdagangan. Sekitar 7,9% dari produk domestik bruto (PDB) Vietnam saat ini datang dari peningkatan ekspor, baik ke China maupun ke AS. Selain Vietnam, Taiwan, Chili, Malaysia, dan Argentina juga menarik keuntungan besar.
Negara-negara itu diuntungkan dengan meningkatnya permintaan barang dari importir AS daripada dari importir China. Para importir AS lebih banyak beralih ke perusahaan-perusahaan Asia, sementara importir China beralih ke perusahaan-perusahaan dari Amerika Utara dan Selatan.
Importir AS terutama mencari substitusi untuk produk elektronik, furnitur dan barang-barang untuk perjalanan. Sedangkan para importir China mencari substitusi untuk kedelai, biji-bijian, kapas dan pesawat terbang.
Ancaman Serius
Kendati demikian, para ekonom Nomura memperingatkan, bahwa dampak ekonomi sengketa dagang AS-China secara keseluruhan bisa menjadi ancaman serius bagi perdagangan dunia. Sekalipun beberapa negara dalam jangka pendek memetik keuntungan.
“Ini hanya satu aspek dari perang dagang. Ada banyak kekuatan lain yang bekerja dan dampak ekonomi secara keseluruhan di sebagian besar negara ketiga akan negatif,” kata mereka.
Enggar juga menyebut tentang penurunan perdagangan dunia yang tengah mengalami penurunan kinerja. Hal tersebut tampak dari pemangkasan proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia tahun 2019 oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). “Tidak ada satu pun negara yang bisa katakan (perdagangan) saya meningkat, ujarnya. WTO memproyeksikan pertumbuhan perdagangan dunia pada 2017 sebesar 4% kemudian 2018 turun menjadi 3,6% dan tahun ini 2,6%.
Sumber: Tempo
Turunnya proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia, memberi sinyal adanya penurunan daya beli negara-negara. “Satu sama lain akan saling kena, contoh yang baru terjadi Huawei terkena dia, tapi industri komponen yang ada chips-nya yang diproduksi di AS dan Eropa itu tutup,” jelas Enggar.
Para ekonom mengatakan, banyak negara yang sekarang mengekspor lebih banyak barang ke AS cenderung mengekspor lebih sedikit barang ke China, karena mereka juga merupakan pemasok utama barang setengah jadi ke pabrik-pabrik China, tetapi mereka tidak memiliki kapasitas cukup untuk melayani AS dan China sekaligus.
Sumber: Tempo
Itu sebabnya, Presiden Jokowi berharap para pengusaha mulai meningkatkan kapasitas produksi. Produk yang cocok untuk ditingkatkan produksi dan kapasitas ekspornya ke AS, yaitu tekstil, garmen, elektronik, dan furnitur. “Produk furnitur yang saya tahu, lebih dari 50% datang dari China, ini kenapa tidak diisi dari kita (Indonesia)? Saya kira peluang-peluang seperti ini yang secara detil harus dilihat dan manfaatkan,” katanya.
Negara-negara Asia yang lebih kecil, yang memasok bahan mentah ke perusahaan-perusahaan China, juga sangat rentan terhadap tarif impor yang dikenakan AS atas produk-produk China. Karena kalau perusahaan di China keuntungannya turun dan mengalami kesulitan, mereka juga akan menurunkan produksi.
Para ekonom Nomura juga memperingatkan, perang dagang AS-China akan mengganggu rantai pasokan global dan menambah ketidakpastian tentang prospek ekonomi jangka menengah dan panjang.