Ceknricek.com – Indonesia menduduki posisi keempat sebagai produsen alas kaki dunia setelah China, India, dan Vietnam. Dilansir laman, kemenperin.go.id, Senin (8/4) Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Gati Wibawaningsih mengatakan, dengan capaian tersebut membuktikan bahwa industri alas kaki Indonesia dapat bersaing di kancah global.
Gati menyebutkan, saat ini jumlah industri alas kaki di Indonesia tercatat ada 18.687 unit usaha, meliputi 18.091 unit skala kecil, 441 skala menengah, dan 155 unit usaha skala besar. Sektor industri tersebut telah menyerap sebanyak 795 ribu tenaga kerja.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menegaskan, industri alas kaki merupakan salah satu sektor manufaktur andalan yang mampu memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional. Ini tercemin dari pertumbuhan kelompok industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki yang mencapai 9,42% pada 2018, atau naik signifikan dibandingkan tahun 2017 sekitar 2,22%. Capaian itu melampaui pertumbuhan ekonomi nasional di angka 5,17%.
Ekspor alas kaki nasional juga mengalami peningkatan hingga 4,13%, dari tahun 2017 sebesar US$4,91 miliar menjadi US$5,11 miliar di 2018, ungkap dia.
Sumber : Doc. Kemenperin
Airlangga optimistis, akan terjadi peningkatan ekspor produk alas kaki nasional sampai US$6,5 miliar pada 2019 dan menjadi US$10 miliar dalam empat tahun ke depan.
Apalagi, Indonesia sudah tanda tangan CEPA dengan Australia dan European Free Trade Association (EFTA). Ini menjadi potensi untuk memperluas pasar ekspor bagi produk manufaktur kita, imbuh dia.
Industri alas kaki sedang diprioritaskan pengembangannya sebagai sektor padat karya berorientasi ekspor. Bersama industri tekstil dan pakaian, industri alas kaki dipersiapkan untuk memasuki era industri 4.0 agar lebih berdaya saing global.
Sementara itu, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menargetkan ekspor alas kaki tumbuh 10% tahun ini menjadi US$5,6 miliar dari tahun lalu US$5,11 miliar. Target itu ditetapkan untuk mengejar kinerja ekspor negara pesaing, Vietnam. Tahun lalu, ekspor alas kaki Vietnam naik 10,5% menjadi US$16,5 miliar.
Ketua Pengembangan Sport Shoes dan Hubungan Luar Negeri Aprisindo Budiarto Tjandra mengatakan, pertumbuhan ekspor tahun ini bakal didorong dengan membaiknya permintaan dunia dan rampungnya negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan global alas kaki terus naik, lantaran termasuk kebutuhan pokok setelah sandang, pangan, dan papan.
Untuk mengejar Vietnam, ekspor harus naik 10% tahun ini, kemudian tahun ketiga keempat harus tumbuh 10% lebih, sehingga bisa naik dua kali lipat dalam lima tahun. Benchmark kita saat ini adalah pertumbuhan Vietnam, kata dia.
Budi menerangkan, selama ini, secara historis, setiap delapan tahun sekali, nilai ekspor industri alas kaki naik dua digit. Selama 2002-2010, ekspor alas kaki naik 118% dan 2010-2018 sebesar 104%.
Budi mengakui, tahun lalu, target kenaikan ekspor 10% tidak tercapai dan hanya 4,13%. Namun, untuk kali pertama, ekspor alas kaki nasional menembus US$5 miliar.
Dia menilai, saat inimVietnam menjalin perdagangan bebas dengan Uni Eropa (UE), namun belum berlaku. Tetapi hal ini membuat sentimen pembeli ke Vietnam sangat bagus. Mereka tahu dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan. Mereka sudah ancang-ancang untuk beli dari Vietnam, sehingga pertumbuhan ekspor negara itu sangat pesat, ucap Budi. Budi menambahkan, Vietnam mengusai pasar sepatu UE sebesar 12%, sedangkan Indonesia baru 4%. Oleh sebab itu, dia berharap perundingan IEU-CEPA bisa selesai tahun ini.
Karena tanpa CEPA, tarif bea masuk alas kaki Indonesia di Eropa sebesar 11%. Imbasnya, produk Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam. Pemberlakuan IEU-CEPA juga dapat meningkatkan investasi di industri alas kaki nasional. Sebab, pejanjian itu memicu relokasi industri alas kaki Tiongkok ke Indonesia. Ini akan menyerap banyak tenaga kerja.
Budi mengatakan, UE masih menjadi pasar terbesar ekspor alas kaki nasional dengan porsi 33%, diikuti kawasan Amerika, seperti Amerika Serikat (AS), Meksiko, dan Kanada 31,32%. Jika dilihat dari negara tujuan, AS menjadi pasar utama produk alas kaki. Tahun lalu nilai ekspornya sebesar US$1,4 miliar, diikuti Tiongkok US$500 juta, Belgia US$400 juta, Jerman US$350 juta, dan Jepang US$300 juta.
Perang dagang AS dan Tiongkok harusnya bisa menjadi peluang menarik relokasi pabrik alas kaki Tiongkok ke Indonesia. Itu sebabnya, pemerintah diharapkan bisa memberikan insentif yang menarik untuk investasi baru ke industri alas kaki.
Kita sudah ada tax allowance, tetapi kurang menarik, sehingga investor belum datang. Jadi, harus buat yang lebih atraktif lagi agar mereka benar-benar mau berinvestasi yang lebih banyak lagi di Indonesia, ujar Budi.