Ceknricek.com — I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra boleh jadi memang piawai dalam urusan mengelola perusahaan penerbangan. Buktinya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, menunjuk dirinya sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Bahkan Menteri Rini juga mendudukkan Ari Askhara–begitu nama singkatnya–dalam jajaran direksi dua perusahaan penerbangan berbeda. Selain Dirut Garuda, Ari adalah Komisaris Utama Sriwijaya Air dan Citilink.
Tentu saja, rangkap jabatan ini diperoleh Ari bukan dengan cara menenteng surat lamaran, mengetuk pintu ruang kerja bagian perekrutan karyawan maskapai tersebut. Semua itu berkah dari Menteri Rini.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra (Foto : Bisnis)
Ari sih oke-oke saja. Buktinya, tidak ada berita tentang penolakannya atas jabatan yang rangkap tiga. “Rangkap jabatan itu didasari atas kepentingan untuk menyelamatkan aset negara,” kilah Ari Askhara. Sungguh argumentasi yang keren, weleh, weleh.
Nah, demi menyelamatkan aset negara itulah, kini Ari berurusan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ia terancam mendapat sanksi berupa denda senilai Rp25 miliar. Soalnya, rangkap jabatan setinggi itu jelas melanggar norma dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Ari Askhara dipanggil KPPU (Foto : Suara)
Pada Senin (1/7), KPPU memanggil Ari untuk kepentingan penyelidikan. Dia pun sudah menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Anggota Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Saragih, mengungkap Dirut Garuda itu tidak merasa bersalah. “Posisi rangkap jabatan sudah mendapatkan persetujuan sesuai ketentuan dan aturan yang berlaku,” sambung Ari Askhara, kepada pers, pada kesempatan sama, sebelum pemeriksaan.
Guntur menjelaskan, kini hasil penyidikan masih dalam proses diolah oleh tim investigator KPPU. Secara sanksi, Guntur menyebutkan, Ari Askhara berpotensi dikenai denda antara Rp1-25 miliar atas pelanggaran rangkap jabatan. Bentuk pemberian sanksi ini akan dikenakan kepada Ari Askhara secara pribadi, bukan untuk perusahaan maskapai tempat ia memimpin.
Praktik Monopoli
Supaya lebih jelas tentang larangan rangkap jabatan mari kita tengok UU Nomor 5 Tahun 1999. Pada pasal 26 diatur, seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut berada dalam pasar bersangkutan yang sama, bisnis penerbangan.
Kedua, memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha. Ketiga, secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkann terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pesawat Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air (Sumber : Goodnewsfromindonesia)
Garuda, Sriwijaya, dan Citilink adalah perusahaan maskapai penerbangan. Dan di tiga maskapai itulah Ari merangkap jabatan. Direksi Garuda tidak bisa menempati posisi sejenis di Sriwijaya Air karena perusahaan tersebut belum melakukan merger. Maskapai pelat merah itu juga belum mengakuisisi Sriwijaya lantaran kontraknya berupa Kerja Sama Operasi (KSO).
Rangkap jabatan Ari sebelumnya aman-aman saja, sampai kemudian harga tiket pesawat tiba-tiba membumbung tinggi. Jabatan ganda Dirut Garuda ini disinyalir berpotensi menyebabkan harga tiket menjadi mahal dalam beberapa bulan terakhir. Di sini KPPU mengendus adanya potensi persaingan tidak sehat dalam praktik rangkap jabatan. Menurut Guntur, penempatan direksi Garuda Indonesia pada posisi serupa di maskapai Sriwijaya dapat memantik adanya monopoli usaha di bidang perusahaan penerbangan.
Sanksi dan Denda
Kasus rangkap jabatan ini melengkapi kasus lainnya yang tak kalah pelik pada diri Garuda Indonesia. Seperti yang sudah tersiar, perusahaan publik ini terlilit kasus pelanggaran laporan keuangan tahun 2018. Atas temuan ini, Garuda Indonesia menerima berbagai sanksi dan denda.
Bursa Efek Indonesia (BEI), misalnya, mengenakan sanksi kepada Garuda serta meminta perusahaan negara itu memperbaiki dan menyajikan kembali Laporan Keuangan Interim PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., per 31 Maret 2019. Selain itu, Garuda juga diminta melakukan public expose insidentil. Maskapai ini juga dikenakan denda hingga Rp1,25 miliar yang harus dibayarkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI).
Laporan Keuangan Garuda (Foto : Detik.com)
Selain itu, Kemenkeu dan OJK juga mengenakan sanksi denda kepada masing-masing direksi, membekukan izin akuntan publik Kasner Sirumapea dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang dan Rekan selama 12 bulan.
Setidaknya 8 orang direksi Garuda dikenakan denda masing-masing sebesar Rp100 juta. Mereka dianggap melanggar Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Nomor VIII.G.11 tentang Tanggung Jawab Direksi atas Laporan Keuangan. Selanjutnya, dewan komisaris dikenakan sanksi Rp100 juta, karena dianggap melanggar Peraturan OJK Nomor 29 Tahun 2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.
Laporan keuangan Garuda menjadi masalah karena mencatat penerimaan 15 tahun ke depan ke dalam laporan penerimaan tahun 2018 saja, dan menyulap laporan keuangan 2018 dari rugi menjadi laba. Repotnya, para direksi Garuda tak bisa membela diri atas sanksi cosmetic development laporan keuangan itu.
Bukan Orang Baru
Ari bukanlah orang baru di Garuda. Namun, ia memulai karier sebagai bankir. Dia sempat menjabat sebagai Direktur Eksekutif Natural Resources Group PT ANZ Bank Indonesia. Ia bergabung ke Garuda pada 12 Desember 2014, saat ia diangkat menjadi Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB). Ari menggantikan Handrito Harjono.
Pada saat itu, Garuda baru saja memiliki direktur utama baru, yakni Arif Wibowo yang menggantikan Emirsyah Satar. Arif digeser dari jabatan sebelumnya sebagai Direktur Utama Citilink, anak usaha Garuda.
Ari sempat meninggalkan Garuda pada 2016. Ia diangkat menjadi Direktur Human Capital dan Pengembangan Sistem PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Nah, pada 12 September 2018 ia ditarik kembali ke Garuda dengan jabatan penting; direktur utama. Misi utama Ari di maskapai pelat merah ini, menurut pengakuanya lagi, adalah menyelamatkan keuangan Garuda.
Mentri BUMN, Rini Seomarno (Foto : Merdeka)
Setelah itu berturut-turut ia menduduki jabatan komisaris di Citilink dan Sriwijaya Air. Tentu saja penempatan Ari sebagai Dirut Garuda, pada saat yang sama sebagai Komisaris Utama Citilink dan Sriwijaya Air atas penugasan oleh Menteri BUMN, Rini Soemarno. Rini mewakili Pemerintah Indonesia mengusai saham Garuda 60,54%, PT Trans Airways 25,62%, dan publik 13,84%.
Selain melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999, rangkap jabatan tidak dibolehkan dalam Peraturan Menteri BUMN No. PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara.
Pasal 2 ayat (2) mengatur pengangkatan anggota direksi dan anggota dewan komisaris anak perusahaan dilakukan oleh RUPS anak perusahaan yang bersangkutan melalui proses pencalonan berdasarkan pedoman yang diatur dalam Peraturan Menteri ini. Pada Pasal 3 ayat (3) huruf D menyebutkan syaratnya antara lain: tidak sedang menjabat sebagai pejabat pada lembaga, anggota dewan komisaris/dewan pengawas pada BUMN, anggota direksi pada BUMN, anak perusahaan dan/atau perusahaan, kecuali menandatangani surat penyataan bersedia mengundurkan diri dari jabatan tersebut jika terpilih sebagai anggota direksi anak perusahaan.
Pada Pasal 4 ayat (3) huruf C juga menyebutkan: tidak sedang menduduki jabatan yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan dengan perusahaan yang bersangkutan kecuali menandatangani surat pernyataan bersedia mengundurkan diri dari jabatan tersebut jika terpilih sebagai anggota dewan komisaris;
Dua kasus besar yang menimpa Garuda ini jelas akan berpengaruh ke internal perusahaan negara tersebut. Kini, publik menjadi tahu bahwa pengelolaan BUMN berkualitas rendah.
Pengenaan sanksi kepada Garuda atas kesalahan laporan keuangan 2018, bagaimanapun berpotensi merusak kinerja perusahaan ini. Untuk itu, perlu dilakukan penyelidikan internal, apakah direksi Garuda Indonesia melakukan intentional fraud atau kesengajaan dalam melakukan rekayasa laporan keuangan. Jika terbukti intentional fraud, maka bisa masuk ranah pidana. Selain itu, perombakan total direksi juga merupakan solusi bagi Garuda Indonesia untuk memperbaiki kinerjanya, sekaligus mengembalikan kepercayaan investor.