Ceknricek.com — Pemerintah Indonesia di musim haji 2019 memberangkatkan 529 koloter yang akan dibagi dalam dua gelombang penerbangan. Gelombang pertama diberangkatkan pada 6-19 Juli 2019. Sedangkan gelombang kedua diberangkatkan pada 20 Juli-5 Agustus 2019.
Menko Perekonomian, Darmin Nasution, memperkirakan jumlah jamaah haji Indonesia mencapai 4,34 juta jiwa. Angka ini setidaknya bisa dilihat dari waiting list atau daftar tunggu keberangkatan calon jamaah yang tercatat hingga saat ini.
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia memang tiap tahunnya memberangkatkan ribuan penduduknya untuk menunaikan ibadah pungkas dari rukun Islam tersebut. Tahun ini Indonesia mendapat tambahan kuota jemaah haji dari 221.000 pada 2018, menjadi 231.000 jemaah.
Jika dilihat dari rekam jejak haji tersebut, bagaimanakah kiranya sejarah perjalanan haji manusia Indonesia dari masa ke masa. Bagaimana pula gelar haji dapat tersemat setelah mereka pulang dari tanah suci? Berikut sejarah haji di Indonesia yang dirangkum dari berbagai sumber.
Pra Kolonialisasi
Hingga kini belum ada rekam sejarah yang bisa memastikan kapan tepatnya dan siapa yang pertama kali melakukan perjalanan haji di Nusantara. Dalam beberapa catatan sejarah, orang-orang nusantara diperkirakan telah mendarat di Makkah pada awal abad 12. Namun, perjalanan mereka ke tanah Makkah tidak dalam rangka melakukan perjalanan haji, melainkan untuk kepentingan perdagangan.
Makkah tahun 1850. Sumber: Wikipedia
Kisah tertulis pertama tentang orang Melayu atau Nusantara yang berhaji baru muncul pada akhir abad ke-15 M, yaitu Hang Tuah yang ceritanya dikenal sekira 1482 M. Hang Tuah tokoh tersohor di Malaka. Ini masa akhir kehidupan Malaka sebagai kesultanan dan 30 tahun sebelum direbut Portugis pada 1511, ungkap Henri Chambert-Loir, peneliti di Ecole Française dExtrême-Orient (EFEO) seperti dikutip dari Historia.
Selain itu, menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Schrieke juga menyatakan pada tahun 1440 M, Abdul al-Razzaq menemukan orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah bahwa ia menemukan orang-orang Jawa (Nusantara) di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, pantai Malabar, pada tahun 1346 M.
Zaman Kolonial
Jika dilakukan pengkronikkan sejarah, maka pelaksanaan haji pertama kali terjadi pada abad ke-16. Hal itu tentu saja merujuk kepada jejak sejarah yang mengungkapkan Islam datang ke nusantara pada abad ke-16. Sehingga, kemungkinan besar, perjalanan haji dilakukan pada abad tersebut, karena sebelumnya orang-orang nusantara telah mengetahui daratan Makkah meskipun kepentingannya untuk perdagangan.
Ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai penerus kekusaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menduduki Nusantara, ibadah haji mulai menjadi perhatian serius mereka tatkala terjadi gejolak pemberontakan yang diinisiasi oleh para pemuka agama dan haji (diantara yang terkenal adalah Hasyim Asyari dan Ahmad Dahlan). Hindia Belanda yamg sebelumnya tidak melihat ibadah haji sebagai sudut pandang politik kemudian membentuk sistem ordonasi haji pada 1825.
Jemaah haji di pulau Onrust. Sumber: Anri
Latar belakang dibentuknya ordonasi ini adalah ketika pada 1824 terjadi lonjakan pengajuan paspor haji ke kantor imigrasi, tercatat pada tahun tersebut sebanyak 200 lebih pribumi mendaftar untuk naik haji. Pemerintah tentu saja kalang kabut menyikapi hal ini, bagaimana mereka harus memadamkan 200 potensi pemberontakan sekaligus. Syak wasangka tersebut muncul dikarenakan selain karena selain berhaji mereka akan mendapatkam pemikiran-pemikiran baru ketika berhaji, dan bertemu dengan bangsa lain.
Hal itu kemudian membuat orang-orang yang melakukan perjalanan haji harus diawasi karena mereka mulai melakukan pergerakan nasionalisme. Padahal sebelumnya, perjalanan orang-orang Nusantara ke Mekkah membawa keuntungan ekonomi bagi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Organisasi yang didirikan pada tahun 1602 ini menyediakan kapal-kapal untuk keberangkatan mereka yang ingin berhaji.
Jemaah Haji di Kapal Milik Inggris. Sumber: Google
Beberapa dekade kemudian, pada 1859, pemerintah kolonial kembali mengeluarkan ordonasi baru mengenai urusan haji, yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam ujian haji bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih).
Dari fase inilah sebenarnya fase penyematan gelar haji lewat panggilan nama dan atribut mereka perlahan melekat pada orang-orang yang telah melakukan ibadah suci di Makkah (namun dalam sumber lain ada juga yang sejarawan yang membantah hal tersebut). Mengapa gelar ini wajib disematkan? Tujuan utamanya adalah untuk mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap para haji. Jika ada pemberontakan berdasarkan agama terjadi pemerintah kolonial tinggal mencomot para haji-haji tersebut. Pada zaman tersebut, prestise seseorang yang telah berhaji akan berbeda di masyarakat.
Raffles dalam bukunya yang sangat terkenal, The History of Java, bahkan pernah bilang, Setiap orang Arab dari Mekkah, maupun setiap orang Jawa yang kembali dari ibadah haji, di Jawa berlagak sebagai orang suci. Katanya lagi, Karena mereka (para haji) begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar berontak dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa-penguasa pribumi.
Pada tahun 1899 terjadi perubahan besar terhadap budaya haji yang barangkali bisa menjawab mengapa jumlah masyarakat yang berhaji saat ini sangat besar. Perubahan itu dibawa oleh Snouck Hurgronje, ia menjadi orang pertama yang memberikan nasehat kepada pemerintah Hindia Belanda untuk justru membebaskan umat Islam berangkat berhaji. Menurut Snouck, membatasi jumlah jamaah haji tidak perlu dilakukan karena sebagian besar jamaah haji tidak menetap di sana. Sementara yang melakukan perlawanan adalah mereka para haji politis yang menetap dan tinggal lama belajar di Makkah.
Jemaah Haji. Sumber: esqtours
Selain itu, memberikan kebebasan kepada umat Islam berhaji akan memunculkan tren berhaji yang meningkat. Fenomena itu justru bagus dan menguntungkan karena berhaji akan dianggap sebagai peristiwa yang biasa. Keuntungan lainnya, pemerintah juga bisa memungut pajak yang banyak. Pandangan Snouck kemudian diterima oleh pemerintah Hindia Belanda yang berwujud pada wajah baru ordonansi. Dengan banyaknya orang berhaji, justru akan mengurangi radikalisasi beragama.
Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, secara otomatis pengaturan haji di bawah kendali pemerintahan yang baru. Pada tahun 1950-1962, penyelenggaraan haji dilaksanakan secara bersama-sama oleh Pemerintah dan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (YPHI) yang didirikan tanggal 21 Januari 1950 dengan pengurusnya terdiri dari para pemuka Islam dari pelbagai golongan.
Pada tahun 1962-1964 pemerintah membentuk dan menyerahkan penyelenggaraan haji Indonesia kepada Panitia Perbaikan Perjalanan Haji (P3H).
Seiring berjalannya waktu terjadi pembenahan sistem pemerintahan yang berpengaruh pula terhadap penyelenggaraan haji. Yakni, dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag). Selanjutnya struktur dan tata kerja organisasi Menteri Usaha haji, dan tugas penyelenggaraan ibadah haji di bawah wewenang Direktur Jenderal Urusan Haji, termasuk besarnya biaya, sistem manajerial dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966.
Pada masa reformasi, pemerintah membuat aturan baru yang diejewantahkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999. Isinya adalah penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan kepengurusan penyelenggaraan yang baik, agar perlaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntutan agama, serta jamaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga memperoleh haji mabrur.
Sumber: Suara Muslim
Dengan berbagai pertimbangan, pemerintah kemudian merevisi UU nomor 17/1999 dengan UU nomor 13/2008 yang menegaskan bahwa Pemerintah dalam hal ini Depag masih menjadi Operator penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Hal itu tertuang jelas dalam Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Yang menarik dari penelusuran sejarah ibadah haji di nusantara dari masa ke masa adalah terjadinya dekonstruksi dan desakralisasi peristiwa perjalanan berhaji yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, yang memperjuangkan kemerdekaan dengan peristiwa berhaji. Sementara itu, jumlah orang yang berhaji saat ini menandakan jika haji menjadi perjalanan ibadah yang sangat biasa. Orang-orang melaksanakan ibadah haji cukup dengan memenuhi urusan finansial, dengan kata lain berhaji sudah terlepas dari urusan-urusan ‘politis’ lainnya, atau barangkali sebaliknya?