Ceknricek.com — Selain pelopor sastra sufi di Indonesia, ia juga dikenal sebagai seorang budayawan, cendekiawan muslim, ahli filsafat, juga Guru Besar di salah satu Pergurun Tinggi di Jakarta.
Ia adalah Abdul Hadi WM, atau Abdul Hadi Wijhi Muthari. Penyair sufi yang wajahnya memancarkan kebijaksanaan itu, Senin (24/6), genap berusia 73 tahun. Ia lahir di Sumenep, 24 Juni 1946.
Abdul Hadi telah memberikan angin baru bagi khasanah sastra indonesia modern, sebagaimana dilakukan salah satu temannya, si penyair Mabuk, Sutardji Calzoum Bachri yang juga sedang berulang tahun ke-78 di hari yang sama.
Mencintai Sastra Dari Kecil
Saya mencintai puisi dan menulis puisi itu sejak SMP, di Kota Sumenep, Madura. Di sana ada satu klub sastra namannya Gita Remaja, dan biasanya kami membacakan puisi-puisi kami di RRI Sumenep.
Itulah awal kalimat yang muncul dari lelaki yang rambutnya hampir semuanya berwarna perak itu saat diwawancarai PKJ TIM, tahun 2013 silam. Kegiatannya dalam berkesusastraan memang dimulai sejak kecil dimana ia hidup di dalam keluarga muslim yang taat serta memiliki berbagai macam koleksi buku yang dibacanya.
Kegairahan saya membaca itu karena melihat ayah saya, paman saya punya banyak buku yang ingin saya baca, meskipun buku-buku itu bagi pembaca sekarang mungkin berat,” ungkap Abdul Hadi.
Sumber: Nusantara News
Dari sanalah ia akhirnya berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat dari pemikir-pemikir seperti Plato, Socrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal.
Abdul Hadi memang lahir dan besar dilingkungan intelektual. Ayahnya adalah seorang muslim Tionghoa, saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu Muthar. Sedangkan ibunya putri keturunan Mangkunegaran (Keraton Surakarta) bernama RA Sumartiyah atau Martiyah.
Abdul Hadi menempuh pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya di Sumenep. Ketika lulus sekolah dasar dan memasuki SMP ia sudah terobsesi oleh sajak-sajak Chairil Anwar. Terutama sajak Lagu Siul II yang mengungkapkan ”laron pada mati’ dan ’ketangguhan tokoh Ahasveros menghadapi Eros’.
Atas obsesinya pada sajak Chairil Anwar itu juga pengalaman religiusnya mendalami dan mengamalkan Alquran kelak lahirlah sajak Abdul Hadi W.M. yang dinilai banyak pakar sastra bersifat sufistik, Tuhan, Kita Begitu Dekat (1976).
Sumber: Titik Koma
Setelah lulus SMP ia meneruskan ke SMA di Surabaya lalu ke Fakultas Sastra, Universtas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia lulus sebagai sarjana muda filologi (1965-1967).
Sebenarnya jiwa saya itu (mungkin) terbelah ya, saya ingin mencintai sastra, tetapi saya juga mencintai dunia ilmu, lain dari itu saya juga mencintai pemikiran. Karena itulah saya memasuki jalan sastra dulu untuk mengimplementasikan pemikiran-pemikiran saya.
Dari sikap itulah, Abdul Hadi lalu pindah ke Fakultas Filsafat di universitas yang sama hingga mencapai tingkat doktoral (1968-1971). Ia kemudian melanjutkan di jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung, (1971-1973).
Karena kehausan akan ilmu pengetahuan, setahun kemudian, sejak Hadi bermukim di Iowa, Amerika Serikat mengikuti “International Writing Program” di Universitas Iowa (1073-1974, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun untuk mendalami sastra dan filsafat.
Ketika sudah melakukan berbagai penelitian dan pendidikan, ia akhirnya pindah kota Jakarta tahun 1991. Abdul Hadi kemudian mendapat tawaran menjadi penulis tamu dan pengajar (dosen) Sastra Islam di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universitas Sains Malaysia, Penang.
Beberapa tahun kemudian, ia memperoleh gelar doktor (Ph.D.) dengan disertasinya Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaykh Hamzah Fansuri (1997). Disertasinya ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Tasawuf yang Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (Paramadina, 2001).
Sumber: Istimewa
Sastra dan Sufisme
Abdul Hadi W.M. dalam bukunya, “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik” (2016), menyatakan bahwa sastra sufistik dapat juga disebut sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan yang transenden.
Sumber: Divapress
Menurut dia, sastra sufistik merupakan sastra yang tampil untuk selalu mengingatkan manusia atau pembacanya kepada Sang Pencipta. Lebih lanjut, seperti dilansir Gatra, ia mengatakan bahwa sufisme bukan gerakan menolak dunia, tapi yang ditolak sufisme adalah dunia yang korup dan zalim.
Sufisme menurutnya justru bermula dari kehendak memperbaiki masyarakat, pada abad ke-8, saat masa pemerintahan Bani Umayah yang sangat hedonistik, ekspansif, dan militeristik. Pada masa awal itu, sufisme memang merupakan gerakan moral, akhlak, tapi kemudian menjadi gerakan sosial, ujarnya.
Dikutip dari buku yang sama, Abdul Hadi juga menjelaskan bahwa estetika sufi berdasarkan cinta (isyq), dan cinta adalah tema sentral sastra sufi. Ia menambahkan bahwa kitab karangan Syekh Hamzah Fansuri diberi judul Syarab al-Alyiqin (Minuman Pencinta Yang Berahi), dan minuman pencinta yang berahi ialah anggur tauhid, sebab itu kitab yang sama diberi nama lain: Zinat al-Wahidin (Hiasan Ahli Tauhid).
Oleh karena itu, tambahnya, tak mungkin membicarakan karya para penyair sufi tanpa membicarakan isyq dan keindahan tertinggi yang menimbulkannya. Isyq adalah tahapan pengalaman kerohanian puncak dalam pencapaian seorang sufi, sama dengan makrifat, yang membawa seseorang menyadari ketakberartian diri-rendahnya, dan pada saat yang sama membawa kepada perasaan fana dan baqa di dalam Kekasihnya (mahbub).
Dalam ranah sastra Indonesia, selain sejumlah karyanya, Abdul Hadi juga menyebut ada kecenderungan sufistik dari beberapa pengarang Indonesia yang sejalan dengan hidupnya kembali minat para terpelajar Muslim terhadap tasawuf. Sebagai contoh, ia menyebut karya Danarto (Godlob, Adam Makrifat, Berhala); Kuntowijoyo (Khotbah di Atas Bukit); M. Fudoli Zaini (Arafah).
Karya-Karya Abdul Hadi
Sebagai penyair sufi, Abdul Hadi telah melahirkan sejumlah buku puisi monumental. Diantaranya adalah “Laut Belum Pasang” (1971), “Cermin”, (1975), “Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur” (1975), “Meditasi” (1976), “Tergantung pada Angin” (1977), “Anak Laut Anak Angin” (1984), “Pembawa Matahari” (2002), “Madura: Luang Prabhang” (2006) dan “Tuhan, Kita Begitu Dekat” (2012).
Sumber: Nusantara News
Sajak-sajak Abdul Hadi W.M. tersebut telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, antara lain Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Belanda, Cina, Korea, Thailand, Arab, Urdu, Bengali, dan Spanyol.
Sumber: Tokopedia
Sampai saat ini ia telah menerbitkan buku-buku esainya seperti Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: “Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik” (1999), “Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya”(1999), “Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri” (2001).
Ia juga terkenal sebagai editor buku, pengulas, dan penerjemah karya-karya sastra Islam dan karya sastra dunia. Dalam bidang ini telah dihasilkan sejumlah buku antara lain, “Sastra Sufi: Sebuah Antologi” (1985), “Rubayat Omar Khayyam” (1987), “Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-Bangsa Timur” (1986), “Pesan dari Timur: Muhammad Iqbal” (1987), “Rumi dan Penyair” (1987), “Faust I” (1990), “Kaligrafi Islam” (1987), “Kehancuran dan Kebangunan” (1987), dan “Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya” (1995).
Atas dedikasi dan kontribusinya, Abdul Hadi mendapatkan sejumlah penghargaan prestisius seperti Hadiah Puisi Terbaik II Majalah Sastra Horison (1968). Hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta (1978). Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1979). S.E.A. Write Award, Bangkok, Thailand (1985). Anugerah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) (2003). Penghargaan Satyalancana Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia (2010), serta Habibie Award di bidang sastra dan kebudayaan (2014).
Diakhir tulisan ini, selain mengucapkan semoga ia yang bijak bestari itu dipanjangkan umurnya, saya hanya ingin mengutip salah satu puisinya di kisaran tahun 70-an; Rama-Rama.
rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
meraba cahaya
terbanglah jangan ke bunga, tapi ke laut
menjelmalah kembang di karang
rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
di rambutmu jari-jari matahari yang dingin
kadang mengembuni mata, kadang pikiran
melimpahinya dengan salju dan hutan yang lebat