Ceknricek.com–Sekitar 4 (empat) bulan yang lalu lahir Koalisi Besar yang terdiri atas Partai Golkar (Airlangga Hartarto Ketua Umum), Partai Amanat Nasional (Zulkifli Hasan Ketua Umum), Partai Persatuan Pembangunan (Muhamad Mardiono. Plt Ketua Umum) dan satu parpol lagi. Golkar sebagai partai terbesar dalam koalisi ini, dengan sendirinya semacam didaulat untuk memimpinnya.
Airlangga pun diam-diam “didaulat” sebagai calon presiden koalisi besar ini. Tapi proses menuju jalan itu tidak mudah, bahkan alot. Menurut Zulhas, semuanya tunggu komando Jokowi. Artinya, siapa yang bakal jadi capres dan siapa cawapres, masih tunggu “komando” Jokowi.
Waktu itu, capres dan cawapres PDIP masih “mengambang”, masih tunggu “wangsit” dari Jokowi. Begitu juga dengan Koalisi Indonesia Raya yang terdiri atas Gerindra dan PKB, antara Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar. Prabowo jelas calon presiden, tapi cawapresnya menunggu petunjuk Jokowi.
Koalisi-koalisi di atas disebut juga “koalisi pemerintah”; berseberangan dengan koalisi lawan, yaitu Koalisi Perubahan dan Persatuan pimpinan Anies Baswedan yang terdiri atas Partai Nasdem, Demokrat dan PKS. Siapa cawapresnya, sampai hari ini masih dirahasiakan. Konon, nama cawapres KPP sudah lama ada di kantong Anies sebagai calon Presiden. Tinggal dideklarasi namanya.
Di tengah “dinamika tinggi” nama-nama cawapres Koalisi Pemerintah, rupanya terjadi pergolakan internal di partai Golkar. Ada berita bahwa posisi Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua Koalisi Besar hendak disingkirkan oleh sejumlah petinggi Golkar. Alasannya: peluang Airlangga menjadi Cawapres makin kecil sesuai dengan popularitasnya menurut hampir semua lembaga survey. Padahal pada Musyawarah Nasional terakhir, Airlangga mendapat mandat untuk jadi Calon Presiden pada Pilpres 2024. Lha, sekarang kok makin merosot popularitasnya, artinya peluang jadi cawapres, apalagi capres pun makin merosot.
Bambang Soesatyo, petinggi Golkar yang kini menjabat Ketua MPR, disebut-sebut punya ambisi untuk menjadi cawapres Golkar, entah berduet dengan siapa saja. Untuk itu, Bambang harus menggapai jabatan Ketua Umum Golkar dulu.
Bagaimana cerita mencuatnya nama Bambang Soesatyo di panggung Pilpres 2024 ? Bermuncul dari Rapat Dewan Penasehat Golkar beberapa hari yang lalu. Agung Laksono, Ketua Dewan Penasehat, konon, melemparkan wacana digelarnya Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) untuk membahas peluang Golkar meraih kursi Cawapres dalam PIlpres 2024 yang makin dekat. Di situlah mencuat nama Bambang Soesatyo.
Namun, menurut Airlangga Hartarto, dalam Rapat Dewan Penasehat Golkar sama sekali tidak dibahas wacana Munaslub. Lagipula, dalam Partai Golkar tidak ada institusi Munaslub.
Intinya, peluang Airlangga Hartarto jadi cawapres dinilai oleh sejumlah petinggi Golkar semakin merosot. Mumpung belum terlambat, apa tidak sebaiknya Golkar mempersiapkan diri untuk memilih calon wakil presiden alternatif untuk “diadu” dengan sejumlah cawapres yang sudah siap-siap bertarung di laga terbuka.
Hubungan antara Airlangga dengan Bambang Soesatyo memang pernah “hangat-hangat” juga ketika partai beringin ini memilih posisi Ketua Umum setelah tumbangnya Setya Novanto dalam skandal e-ktp. Dua “gajah” ini bertarung untuk memperebutkan posisi Ketua Umum. Pada detik-detik terakhir, Bambang mundur karena menyadari posisi Airlangga lebih kuat.
Mundurnya Bambang sebagai calon Ketum disertai “kompensasi” dari Airlangga, yaitu memberikan dukungan kepada Bambang untuk menjabat Ketua M.P.R., sementara Bambang diam-diam mendukung Airlangga jadi Ketua Umum Golkar.
Pertarungan diam-diam antara kedua petinggi Golkar ini, tampaknya, mencuat lagi menjelang Pilpres 2024. Rendahnya elektabilitas Airlangga dimanfaatkan lawan-lawannya untuk menggeser posisinya sebagai Ketua Umum dengan alasan peluangnya jadi cawapres semakin kecil, padahal cawapres pada Pilpres tahun depan menjadi amanat dari Munas Golkar tempo hari.
Posisi Jokowi dalam Pilpres 2024 juga jadi fenomena yang unik sekaligus mengundang banyak kritik dari berbagai pihak. Soalnya, Jokowi dituding banyak cawe-cawe, tidak membiarkan politisi bertarung menurut prinsip-prinsip demokrasi.
Siapa sesungguhnya yang dijagokan Jokowi dalam “pertarungan gajah” antara Prabowo dan Ganjar Pranowo ? Secara formal, Jokowi mendukung Ganjar, tapi realitanya BELUM TENTU. Faktanya, Jokowi lebih sering bertemu dengan Prabowo, dibandingkan dengan Ganjar. Namun, apakah Jokowi pernah sekali pun mengatakan secara eksplisit dia mendukung Prabowo? Pernah tidak? Silakan Anda jawab sendiri; sedangkan dukungan verbal Jokowi kepada Ganjar, minimal, sudah 3 (tiga) kali sejauh ini !
Ketika ditanya siapa calon cawapres, baik Prabowo maupjun Cak Imin sama-sama menjawab: tergantung Pak Jokowi. Lha, kalau Jokowi bisiki mereka pilih saja Gibran, bagaimana ?Apa enggak runyam ?!
#Prof. Tjipta Lesmana, Pengamat Politik Senior