Ceknricek.com — Wabah virus korona atau coronavirus novel yang menyerang China dan banyak negara lain memberi pelajaran bagi bangsa ini bahwa bergantung dengan satu negara secara berlebihan adalah sangat berbahaya. Kini, pemerintah mulai menghentikan impor produk pangan dan pertanian dari Negeri Panda. Di sisi lain, persediaan di dalam negeri tidak bisa dikatakan aman.
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia berkonsentrasi menarik wisatawan dari China. Hasilnya, turis China membanjiri daerah wisata di sini. Bali jadi satu contoh. Turis China paling banyak mendatangi Pulau Dewata, menggantikan turis bule.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kedatangan turis China ke Indonesia sepanjang 2019, menduduki peringkat kedua dengan total 2 juta kunjungan wisatawan. Destinasi alam seperti Bali dan Manado menjadi tujuan wisata favorit turis China.
Kini, semua itu berubah gara-gara virus korona. Turis China tak bisa lagi masuk ke Indonesia. Perusahaan penerbangan menghentikan layanan Indonesia-China dan sebaliknya.
Kontribusi pariwisata di Indonesia adalah sekitar 6% sampai 7% terhadap perekonomian. Artinya, jika ada perjalanan yang tertunda serta tidak bisa dijalankan dalam waktu 2 bulan saja, sudah berpengaruh terhadap satu per enam dari perjalanan yang sudah ada.
Tak berhenti di sini saja. Perdagangan Indonesia-China juga seakan terhenti. China merupakan salah satu negara tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia. Impor Indonesia dari China juga berlimpah. Pada tahun 2018, nilai perdagangan kedua Negara tercatat US$72,7 miliar. Sedangkan sepanjang Januari-September 2019 mencapai US$52 miliar.
Baca Juga: Gugur Harga Virus Korona
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menyebut dampak virus korona sudah mulai menggerogoti kegiatan perdagangan kedua negara. Ia menilai, permasalahan utama terletak pada kegiatan administrasi dagang. “Misalkan impor, tapi pabrik di sana banyak yang di-shutdown (tutup). Karena liburan imleknya juga diperpanjang, dari segi produksinya bermasalah. Terus, barang yang mau diekspor ke sana itu juga masalah, mau gimana? Pesawat juga gak ada,” ujarnya.
Banyak produk Indonesia yang akhirnya mengalami perlambatan dalam proses ekspor ke China. Ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil dan barang jenis mineral seperti nikel dan sebagainya terhambat.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, memprediksi ekonomi Indonesia akan terdampak, baik secara langsung atau tidak langsung terhadap pelemahan ekonomi China. “Apalagi, hubungan dagang kita dengan China dekat sekali. Penurunan ekonomi China 0,1% akan langsung terasa pada pertumbuhan Indonesia,” katanya kepada Bisnis, Selasa (4/2).
Apabila penyebaran virus tersebut tidak dapat teratasi dengan cepat, dikhawatirkan hubungan dagang kedua negara terganggu. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ikut terseret. Banyak yang memperkirakan bahwa pertumbuhan perekonomian China itu bisa melambat hingga 1 sampai dengan 1,5% akibat virus korona.
Hentikan Impor
Kini, pemerintah telah menghentikan sementara impor bahan pangan, produk makanan dan minuman dari China. Maknanya, importir tak bisa mengajukan izin impor untuk saat ini.
Menteri Perdagangan (Mendag), Agus Suparmanto, mengatakan pemerintah sangat hati-hati dalam mengimpor produk yang langsung dikonsumsi. Di sisi lain, Agus mengimbau agar pengusaha melaporkan data pasokan yang sesuai dengan kondisi lapangan.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, juga menuturkan atas penghentian sementara impor pangan dari China ini maka pasokan harus dijaga dari produksi dalam negeri. “Itu yang saya siapkan,” tutur Syahrul.
Baca Juga: Dolar di Virus Korona
Hal yang tak jauh beda disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Pihaknya juga memperketat produk impor makanan olahan ikan dari China. “Pengawasannya lebih ketat, dalam artian untuk mengetahui terjangkit virus atau tidak,” ujar Menteri Edhy dalam Rapat Kerja Pengawasan tahun 2020, di Jakarta, Selasa (4/2).
Edhy telah menginstruksikan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) untuk mengeluarkan surat edaran guna memperketat pengawasan di setiap pintu masuk dan keluar, baik bandara, pelabuhan, hingga pos lintas batas negara (PLBN) untuk sigap dan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan.
Semua barang impor yang masuk ke Indonesia harus sudah menerapkan hazard analytic critical control point. Berarti, itu sudah berstandar internasional, seharusnya produknya bersih.
Bawang Putih
Salah satu impor yang distop dari China adalah impor bawang putih. Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, menjelaskan pihaknya telah menahan pengajuan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk komoditas bawang putih yang memang sebagian besar diimpor dari China. “Kita harus hati-hati. Bukan enggak diterima, masih kita proses,” ujarnya. Prihasto bilang, hingga saat ini masih ada pasokan 60.000 ton bawang putih sisa impor tahun 2019.
Selama ini Indonesia memenuhi kebutuhan bawang putihnya 90% dari impor. Syahrul memastikan pasokan bawang putih dalam negeri tersedia. “Kami sudah siapkan. Insyaallah memenuhi apa yang menjadi kebutuhan. Karena impor yang kemarin kita pun masih punya cadangan menurut hitungan kita,” tuturnya.
Selain sisa impor, Prihasto mengatakan, akan ada panen bawang putih dari 6.000 hektare lahan yang perkiraannya akan menghasilkan 60.000 ton bawang putih. Panen bawang putih tersebut menurut perhitungannya jatuh di bulan Maret mendatang.
Selama ini Indonesia adalah penikmat bawang putih asal Negeri Panda itu. Lebih dari dua dekade negeri ini dibanjiri bawang putih impor dari China. Kebutuhan bawang putih Indonesia sekitar 550.000 ton hingga 600.000 ton per tahun. Hampir semua kebutuhan tersebut dipenuhi dari China. Lantaran itu pula Indonesia mendapat predikat importir bawang putih terbesar dunia. Market share Indonesia sekitar 17,6% dari total pasar impor dunia (2016). Devisa yang dikeluarkan sekitar US$674 juta atau setara Rp9,5 triliun.
Peringkat kedua impor global dipegang oleh Brazil dengan pangsa sebesar 9%, senilai US$344 juta. Sedangkan negara tetangga kita sesama ASEAN –Vietnam dan Malaysia– juga melakukan impor cukup besar, masing-masing 6,3% dan 6,1%, dengan nilai impor US$241,5 juta dan US$235,5 juta.
Total produksi bawang putih dunia pada 2016 mencapai 26,6 juta ton. China menguasai 79,8%, dengan total produksi 21,2 juta ton. Sedangkan nilai ekspor dunia pada 2016 mencapai US$3,84 miliar dan China menguasai 71,5% dengan total nilai ekspor US$2,74 miliar.
Baca Juga: Bawang Putih: Belajarlah ke Negeri China
Selama ini Indonesia sangat bergantung terhadap bawang putih China. Itu sebabnya, pada tahun 2017, pemerintah menargetkan swasembada bawang putih dapat dicapai pada 2019, dimajukan dari target sebelumnya tahun 2033. Karena tidak tercapai maka kemudian direvisi kembali menjadi 2021. Dengan melihat waktu yang semakin dekat, banyak pihak pesimistis swasembada si putih dapat tercapai setahun lagi.
Berdasarkan data BPS, luas tanam bawang putih tahun 2017 mencapai 3.274 hektare dan tahun 2018 meningkat 147% menjadi 8.073 hektare. Demikian pula produksi naik dari 19.510 ton menjadi 39.300 ton.
Tak mudah mencapai swasembada bawang putih. Sebab untuk bisa mencapai swasembada, syarat utama adalah harus kompetitif. Indonesia harus bisa bersaing dengan negara produsen bawang putih lainnya. Artinya, Indonesia harus bisa produksi bawang putih dengan biaya yang lebih rendah dari pesaing. Khususnya dengan China.
Biaya produksi bawang putih di China rata-rata sekitar US$520 per ton, atau sekitar Rp7.500 per kg. Biaya produksi ini amat rendah bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat sekalipun. AS perlu mengeluarkan US$1.600 untuk bawang putih satu ton, atau lebih dari Rp22.000 per kg. Maknanya biaya produksi bawang putih China hanya sepertiga dari biaya produksi bawang putih AS.
Sedangkan Indonesia perlu merogoh Rp18.000 hingga Rp24.000 untuk sekilo bawang putih. Sebagai ilustrasi, biaya tanam bawang putih di Indonesia paling rendah sekitar Rp65 juta per hektare, dengan hasil panen sekitar 6 ton bawang putih basah (termasuk daun), atau sekitar 3 ton bawang putih kering (tanpa daun). Dengan demikian, maka biaya produksi bawang putih kering (tanpa daun) menjadi Rp21.667 per kg. Dan, tentu saja tidak kompetitif.
Produktivitas 6 ton bawang putih kering per hektare juga masih sangat rendah. Soalnya, China bisa menghasilkan 25 ton per hektare. Sedangkan AS mencapai 20 ton per hektare.
Sejauh ini pemerintah sendiri belum tahu sampai kapan impor pangan dari China diberhentikan. Menteri Agus memisalkan, saat SARS-CoV mewabah di China pada 2002, penutupan impor pangan dari China sempat diberlakukan selama sembilan bulan. “Mudah-mudahan sekarang lebih cepat dari yang dulu. Kita berdoa semua. Ini kan keadaan force majeure. Kita harus hadapi dengan bijak dan secara detail bagaimana kasus kita tangani,” ujarnya.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.