Ceknricek.com — Aktivis lingkungan menyoroti keberadaan delapan perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di kawasan penyangga Hutan Lindung Bukit Daun yang merupakan catchment area atau daerah tangkapan air hulu Sungai Air Bengkulu, sebagai faktor yang memperparah banjir Bengkulu.
“Banjir yang melanda hampir seluruh wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu tidak bisa hanya ditimpakan pada hujan yang mengguyur daerah ini pada 26 April 2019 sejak siang hingga malam hari, tapi ada akar masalah yang harus diungkap, yaitu tambang batu bara di hulu Sungai Bengkulu,” kata Direktur Kanopi Bengkulu, Ali Akbar di Bengkulu, Minggu (28/4).
Menurut dia, debit air yang tidak mampu ditampung oleh sungai-sungai yang ada seperti Sungai Bengkulu, Sungai Ketahun, dan Sungai Musi seharusnya menjadi poin perhatian utama untuk mencari akar masalah dari bencana di akhir April yang sudah merenggut 17 nyawa itu.
Ali menyebutkan bahwa kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Bengkulu di wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah telah habis dikapling untuk pertambangan batu bara dan perkebunan sawit.
Tercatat ada delapan perusahaan tambang batu bara di hulu sungai yaitu PT Bengkulu Bio Energi, PT Kusuma Raya Utama, PT Bara Mega Quantum, PT Inti Bara Perdana, PT Danau Mas Hitam, PT Ratu Samban Mining, PT Griya Pat Petulai, PT Cipta Buana Seraya dengan luas total 19 ribu hektare. Ditambah satu perusahaan perkebunan sawit milik PT Agriandalas yang juga berada di daerah tangkapan air Sungai Bengkulu.
Menurut Ali keberadaan industri ekstraktif itu membuat seluruh kawasan DAS Sungai Bengkulu kehilangan fungsi ekologisnya. DAS tak mampu lagi menyerap luapan Sungai Bengkulu dan anak sungainya sehingga air menggenangi sejumlah desa di Bengkulu Tengah seperti Desa Talang Empat, Desa Genting dan Bang Haji.
Air juga menggenangi pemukiman warga di sejumlah kelurahan dalam Kota Bengkulu, yang berada di sepanjang aliran Sungai Bengkulu seperti Rawa Makmur, Tanjung Jaya, Tanjung Agung, dan Bentiring.
Ali menambahkan, pemerintah harus mencabut izin pertambangan batu bara dan perkebunan sawit di hulu sungai. Menurutnya, bencana ini juga menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah untuk membangun sesuai kaidah lingkungan dan menaati tata ruang.
Ia mencontohkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara di Teluk Sepang yang menabrak Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) karena proyek energi berbahan batu bara direncanakan hanya ada di Napal Putih, Bengkulu Utara.
“Pembangunan yang terlalu sembrono dan menihilkan dampak ekologis harus segera diakhiri, jangan jadikan hanya syarat di atas kertas karena saat bencana datang seluruh masyarakat yang akan menanggung akibatnya,” tutup Ali.