Neoliberalisme: Liberalisme Ekonomi Tanpa Demokrasi
Ceknricek.com — Meski berakar pada Deklarasi Kemerdekaan dua setengah abad lalu, “The American Dream” mengalami promosi besar pada era Presiden Ronald Reagan (1981 hingga 1989) di bawah bendera baru neoliberalisme.
Cita-cita ideal demokrasi, kemakmuran, kebebasan dan persamaan hak di Amerika, setidaknya secara retoris, dikaitkan secara langsung dengan kebijakan liberal pasar bebas dan perdagangan bebas.
Bersama Margaret Thatcher dari Inggris, Reagan bahkan membawa neoliberalisme menjadi kebijakan global dan sekaligus senjata melawan komunisme (Blok Soviet) di era Perang Dingin.
Liberalisasi ekonomi dipromosikan senafas dan selaras dengan demokrasi (sebagai lawan dari otoritarianisme komunis). Padahal tidak. Reagan menempatkan liberalisasi ekonomi di atas kebebasan politik sebagai ukuran terpenting dari sukses sebuah kebijakan.
Tak heran jika Amerika dan Inggris tanpa malu-malu memuluskan liberalisasi ekonomi meski dengan cara mendukung diktator-diktator anti-komunis seperti Augusto Pinochet di Chile, Soeharto di Indonesia dan Ferdinand Marcos di Filipina.
“Neoliberalisme” menjadi istilah populer pada 1980-an untuk menjelaskan liberalisasi ekonomi Chile di bawah Jenderal Pinochet. Kita tahu, didukung Amerika, Pinochet melakukan kudeta militer terhadap Presiden Salvador Allende, yang berhaluan sosialis, pada 1973.
Tapi, Indonesia lah sebenarnya kelinci percobaan pertama “neoliberalisme”. Kisah naiknya Jenderal Soeharto setelah menyingkirkan Soekarno menjadi inspirasi bagi kudeta di Chile. “Operasi Jakarta” adalah nama sandi operasi kudeta terhadap Allende.
Setelah Soekarno tumbang, Orde Baru memulai liberalisasi ekonomi dengan antara lain membuka lebar investasi asing, khususnya dari Amerika dan Jepang.
Pada 1974, demonstrasi besar sempat marak menentang investasi asing. Namun perlawanan seperti itu surut bersama konsolidasi kekuasaan Soeharto, yang menguat antara lain berkat dukungan Reagan dan Thatcher.
Thatcher, yang berkunjung ke Indonesia pada 1985, mengklaim bahwa ekonomi pasar (kapitalisme) adalah satu-satunya sistem yang bisa diandalkan; tak perlu perdebatan lagi. Thatcher punya slogan terkenal: TINA (“there is no alternative”); tak ada alternatif di luar kapitalisme.
Tiga tahun kemudian, Pemerintahan Soeharto membuat langkah besar lain dalam bidang ekonomi, yakni menerbitkan Paket Oktober (1988), yang pada intinya melakukan liberalisasi sektor keuangan (kemudahan mendirikan bank). Jalan neoliberalisme makin lempang.
Pandangan Hegemonik yang Membelenggu
Tapi sukses penyebaran neoliberalisme baik di Indonesia maupun belahan lain dunia, tak lepas dari peran penting dua lembaga keuangan dunia: Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Dengan kekuatan kapital sangat besar, World Bank dan IMF mendiktekan neoliberalisme ke seluruh dunia.
Mereka menerapkan syarat ketat kepada negara-negara penerima bantuan. Syarat itu meliputi kebijakan privatisasi dan deregulasi; kepatuhan kepada skema perdagangan bebas dunia; serta mengurangi subsidi dan porsi anggaran negara untuk publik demi meningkatkan peran sektor swasta.
Resep liberalisasi itu sering disebut pula sebagai Washington Consensus, tak lain karena merupakan kesepakatan antara World Bank, IMF dan Pemerintah Amerika Serikat yang semuanya bermarkas di Washington DC.
Berkat mereka, pandangan Reagan-Thatcher menjadi wacana dominan tak hanya di sekolah-sekolah ekonomi tapi juga dalam kebijakan publik seluruh dunia, hingga bertahun-tahun kemudian, setelah keduanya meninggal.
Di Indonesia, bahkan sentimen anti-IMF yang marak pada era Presiden Megawati Soekarnoputri tidak mampu menginspirasi arah baru kebijakan ekonomi. Jalan lempang neoliberal terus bertahan, bahkan cenderung menguat, pada era-SBY. Dan justru makin agresif pada era-Jokowi.
Pada periode pertamanya, Pemerintahan Jokowi telah menerbitkan 16 paket deregulasi yang secara umum mengarah pada liberalisasi ekonomi.
Tak puas dengan itu, pada periode kedua Presiden Jokowi mendesakkan liberalisasi lebih jauh dengan menerbitkan Omnibus Law. Omnibus menyederhanakan 70 lebih undang-undang menjadi satu undang-undang payung yang tidak ada dasarnya dalam konstitusi kita (inkonstitusional).
Pembahasan dan pengesahan Omnibus Law di tengah wabah corona sekarang ini menunjukkan betapa Pemerintahan ini benar-benar terobsesi pada liberalisasi ekonomi. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa mantra neoliberalisme ala Washington Consensus telah banyak dikritik sejak 1990-an.
Menelanjangi Borok
Wabah corona menelanjangi borok-borok neoliberalisme di atas, sekaligus menunjukkan kelemahan sosial mendasar kita menghadapi krisis. Di satu sisi memperlemah kapasitas negara dalam melindungi warganya; di sisi lain lunturnya solidaritas sosial akibat individualisme, baik di kota maupun desa.
“Pandemi itu seperti portal atau gerbang, yang membatasi satu dunia lama dengan dunia baru,” kata Arundhati Roy.
Di tengah wabah, yang membuat hidup kita tak normal, sebagian besar kita cenderung merindukan kenormalan segera pulih kembali. Tapi, normalisasi adalah istilah problematik. Merindukan suasana normal seperti masa lalu justru sangat mungkin menjadi reaksi terburuk kita dalam menghadapi corona.
Kita harus keluar dari kenormalan masa lalu dan mulai meretas jalan menuju dunia baru untuk mengoreksi yang lama. Kita perlu mempertanyakan filosofi, prinsip-prinsip dan ukuran-ukuran lama.
Apa sih yang disebut kemajuan? Apa tujuan hakiki dari pembangunan? Layakkah kita mengejar pertumbuhan ekonomi, apalagi jika hasilnya adalah konsumerisme, perluasan ketamakan yang pada gilirannya merusak alam tempat kita hidup?
Meretas Jalan Baru
Suara-suara untuk mengoreksi cara dan pendekatan lama dalam pembangunan kian lantang, baik sebelum maupun setelah corona.
April lalu 170 lebih akademisi Negeri Belanda mengusung usulan strategis pembangunan pasca-Corona, yang pada intinya merupakan koreksi terhadap pendekatan neoliberal. Judul usulan mereka: “Manifesto for post-neoliberal development.”
Di luar itu, dalam satu dasawarsa terakhir juga berkembang pemikiran baru dalam bidang ekonomi, yakni “blue economy” yang dirumuskan oleh Gunter Pauli, ekonom Belgia. Bertumpu pada alam dan menghormati alam, ekonomi biru menjadi koreksi mendasar terhadap neoliberalisme.
Meski dirumuskan secara baru, konsep ekonomi biru sebenarnya telah banyak dipraktekkan oleh kakek-nenek kita dan masyarakat tradisional khususnya di pedesaan. Inilah ekonomi yang ramah alam (menghormati planet kita yang berwarna biru) dan mendorong semangat kooperasi (kerjasama) antar manusia.
Ekonomi biru banyak diilhami oleh pemikiran EF Schumacher, penulis buku “Small is Beautiful” yang terbit pada 1970-an; pandangan Mahatma Gandhi dan Bung Karno tentang swadesi (kemandirian); serta pemikiran Bung Hatta tentang koperasi.
Bersama The Club of Rome, Schumacher mengkritik pendekatan pertumbuhan ekonomi, yang memicu dehumanisasi dan merusak alam.
Dalam beberapa tahun terakhir juga berkembang pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan. Pada kenyataannya, Indonesia sendiri ikut menandatangani deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 tentang Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
Deklarasi itu mencakup 17 sasaran. Tapi bisa disarikan menjadi tiga sasaran utama, yakni ekonomi, sosial, lingkungan, yang harus dicapai secara seimbang. Manifestasi kongkritnya: mengelola modal alam (natural capital) dengan lebih baik; membangun manusia (invest in people); memperkuat sektor ekonomi ramah alam.
Merumuskan Haluan Baru Pembangunan
Saya mencoba merumuskan haluan baru pembangunan dengan menggabungkan sejumlah pikiran di atas.
1 – Dari GDP ke Human Development Index
Belakangan banyak orang memperkenalkan ukuran baru untuk menilai sukses pembangunan: yakni indeks kebahagiaan atau mutu hidup manusia, yang lebih penting dari sekadar statistik ekonomi-makro.
Kita perlu mendesakkan agar Human Development Index (HDI) menjadi tolok ukur utama dalam menakar sukses pembangunan. HDI dikeluarkan United Nations Development Program (UNDP), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejak 1980-an.
HDI tak cuma memasukkan komponen GDP per capita saja. HDI memasukkan pula berbagai komponen sosial: akses terhadap air barsih, angka harapan hidup, indikator pendidikan dan kesehatan, diskriminasi gender. Dengan kata lain, HDI memotret secara lebih komprehensif dan holistik terhadap kinerja pembangunan, dengan manusia sebagai sentralnya.
Gagasan di balik indeks ini adalah menekankan bahwa “mutu manusia” lah yang seharusnya menjadi kriteria utama untuk menilai kinerja pembangunan tiap negara.
Setiap tahun UNDP mengeluarkan laporan tentang perkembangan dan peringkat HDI tiap negara di dunia. Laporan paling mutakhir diterbitkan Desember lalu, dan terlihat kondisi pembangunan manusia kita tak terlalu menggembirakan. Sejak masa Orde Baru hingga kini peringkat kita tak pernah masuk 100 besar, bahkan jauh di bawah Srilanka dan “negara gagal” Venezuela.
2 – Mendorong Industri Ramah Lingkungan
Kita perlu meninggalkan pembangunan yang berfokus pada agregat pertumbuhan (GDP). Kita harus membuat pembedaan antar sektor, lalu memilih mendorong pertumbuhan sektor-sektor publik yang penting: energi terbarukan, pendidikan, kesehatan, ekologi.
Sebaliknya, kita harus menghentikan secara radikal tumbuhnya sektor-sektor yang tidak berkelanjutan, sektor-sektor yang cenderung mendorong konsumsi berlebihan (periklanan misalnya) atau berbahaya bagi ekologi seperti pertambangan batubara dan perkebunan sawit monokultur.
Salah satu kelemahan kita selama ini adalah melihat sumber daya alam terbatas hanya pada minyak-gas dan tambang (emas, nikel, batubara dan pasir), yang alih-alih mensejahterakan justru menimbulkan banyak konflik.
Bahkan hutan hanya kita lihat kayunya, untuk dieksploitasi dengan cara menggundulinya, seperti yang sudah terjadi di Sumatra dan Kalimantan.
Potensi alam kita di luar sektor pertambangan masih sangat luas. Indonesia adalah salah satu megadiversity dunia; negeri dengan keragaman hayati terbesar. Jika Amerika itu superpower politik/militer, Indonesia adalah superpower keragaman hayati.
Beberapa tahun lalu, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menerbitkan buku kecil “Sains untuk Biodiversitas Indonesia”. Intinya bagaimana membangun kesejahteraan bangsa lewat keragaman hayati. Perluasan lapangan kerja justru lebih terjamin jika kita melestarikan alam dan keragaman hayati.
Hutan kita dihuni oleh ribuan jenis tanaman dan satwa; yang sebagian merupakan sumber ekonomi secara langsung (dalam bentuk pangan).
Hutan dan kebun tak cuma berisi kayu dan tanaman besar. Ada jamur, ganggang dan lumut; yang sebagian merupakan sumber protein potensial.
Hutan dan kebun tak hanya berisi satwa besar. Tapi juga serangga dan mikroba. Mereka membantu penyebaran tanaman dan menyuburkan tanah.
Bakteri tak hanya penting dalam industri pengolahan pangan (fermentasi). Riset-riset mikrobiologi mutakhir menunjukkan bahwa bakteri punya peran besar dalam industri hi-tech: mengolah limbah logam berat maupun membentuk biomaterial yang penting.
Hutan dan kebun/taman, di luar itu semua, memiliki peran ekologis yang tak ternilai: sumber air dan udara bersih; pengendali banjir serta longsor; dan sumber energi terbarukan (hidro, biogas, biomassa).
Nikel penting dalam industri baterai mobil listrik. Tapi, kita bahkan punya sumber yang melimpah dari apa yang selama ini kita pandang limbah. Riset mutakhir menunjukkan limbah sekam padi dan tempurung kelapa bisa diolah menjadi graphene, bahan yang penting dalam bidang elektronika, semikonduktor, serta dalam pembuatan baterai listrik yang sangat ringan, cepat diisi kembali, dan bertahan lama.
Dan itu baru hutan. Kita belum bicara laut kita yang luasnya dua per tiga negeri. Intinya, ada banyak potensi bisnis yang ramah alam: yang dengan melestarikannya justru membuat kita makin sejahtera. (Bersambung)
Baca juga: Alternatif dari Omnibus Law (1)
Baca juga: Alternatif dari Omnibus Law (2)