Ceknricek.com–Indonesia sebagai negara demokratis memiliki sistem hukum yang sangat kompleks, dengan melibatkan banyak institusi termasuk lembaga kepresidenan yang lazim disebut cabang kekuasaan eksekutif. Prinsip pemisahan kekuasaan negara tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Montesquieu dalam bukunya L’espirit des Lois (1748). Ajaran Montesquieu (oleh Immanuel Kant, dipopulerkan dengan sebutan Trias Politics).
Hari – hari ini narasi proses suksesi kepemimpinan nasional, terus memenuhi jagat raya ketatanegaraan Indonesi. Dalam pidato pada saat pendaftaran (Kamis, 19/10/2023) yang disebutnya sebagai “awalan” dalam memulai kegiatan agenda pemilu di KPU , Capres / Cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIIN) kembali “mengokohkan” komitmennya untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Itulah gagasan dasar perubahan yang ingin diperjuangkan dan dihadirkan. Yaitu kesetaraan ! dimana kebutuhan pokok rakyat terjangkau: para petani, nelayan, peternak, dan seluruh rakyat kecil yang ada di pelosok – pelosok negeri memiliki hidup kesetaraan.
Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial adalah masalah serius dan menjadi problematik bangsa. Tercatat sekitar 7 dari 10 (68 %) orang Indonesia atau 187 juta warga tidak mampu membeli makanan dengan gizi seimbang. Sekitar 8 dari 10 petani Indonesia tergolong petani kecil dengan penguasaan lahan di bawah 2 hektar. (Data visi – misi Amin). Fakta lain, dijelaskan pula generasi muda belum mendapatkan pendidikan bermutu, bahkan mayoritas hanya lulusan SD. Sekitar 80 % populasi Indonesia berpendidikan terakhir SMP.
Ironis, tentu kata itu patut diucapkan. Jika sektor pendidikan kita hanya memiliki kualitas seperti itu, sehingga sudah barang tentu akan linier dengan mutu pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Padahal, kekuatan terbesar bangsa ini untuk mewujudkan kemajuan adalah “manusianya”.
Seperti diketahui, dari segi jumlah Indonesia masuk lima besar populasi dunia. Saat ini, jumlah penduduk sekitar 278 juta, di bawah India dan Tiongkok (RRC) serta Amerika Serikat. Dengan demikian, membuat Indonesia berpengaruh secara geopolitik dan geo strategis.
Disitulah letak relevansinya, Indonesia emas 2045 ! Hal itu bisa terwujud jika pemimpinnya memiliki komitmen dan arah pembangunan jelas, sehingga bukan slogan indah yang hampa. Akan tetapi, Indonesia adalah cita-cita tentang masa depan yang gemilang buat seluruh anak bangsa. Kita harus mencapai kegemilangan itu, ketika usia proklamasi kemerdekaan RI mencapai 100 tahun. Negara tercinta kita ini akan mencapai tujuan utamanya, yaitu mewujudkan negara yang maju, merdeka, bersatu, adil, dan makmur. Atau dengan kata lain, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal itu, haruslah mendapat perhatian pemimpin Indonesia ke depan, yaitu mewujudkan cita – cita para pendiri bangsa (Foundhing fadhers) sesuai pembukaan UUD NRI tahun 1945 alinea ke 4: “melindungi segenap tumpa darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.”
Yang harus di garis bawahi, Indonesia kenyataannya ‘belum satu kemakmuran”. Tahun ini kita telah memasuki usia kemerdekaan yang ke 78. Kedaulatan sudah bulat, berbagai capaian pun telah di raih sejak Presiden Soekarno hingga Presiden ke 7 RI. Kehidupan kita masih memiliki begitu banyak ketertinggalan yang harus segera di tuntaskan oleh Presiden berikutnya. Kita berhasil menjadi satu bangsa, satu negara, satu NKRI dan satu tanah air. Namun, ada satu hal yang masih samar dalam “mozaik” perjalanan bangsa yaitu belum menyatukan “satu kemakmuran” yang ada terbentang di depan mata / realitas potret kehidupan rakyat Indonesia adalah kesenjangan antara yang kaya (makmur) dengan yang miskin yaitu rakyat yang tidak diuntungkan oleh pembagian ‘kue” pembangunan.
Ke depan, dibutuhkan program kerja dan langkah progresif pemimpin yang diberikan mandat oleh rakyat Indonesia. Karena itu, dibutuhkan pula figur yang mampu beradaptasi dengan situasi dimamis, bukan terjebak pada rencana pragmatis pembangunan mercu suar yang tidak berimfek langsung pada kesejahteraan rakyat. Terlebih, membahayakan masa depan bangsa dan negara. Olehnya itu, dituntut memiliki kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan program kerja lima tahun ke depan, bukan terus menerus terkungkung dalam jerat kekuasaan yang menyesatkan.
Dalam tataran demikian, ada baiknya mengutip tulisan Francis Fukuyama dari Freeman Spogli Institute For Internasional Studies at Stanford University “Melompat ke hari kini” yang dimuat di jurnal Foreign Affairs (edisi Juli/Agustus 2020) menyebutkan bahwa negara yang berhasil hanyalah yang memiliki pemerintah yang dipercaya oleh rakyatnya, yang didengarkan dan diikuti oleh warganya, di samping punya aparatur negara yang kompeten dan kepemimpinan yang efektif.
Terutama faktor kepercayaan sosial dan pemerintah yang didengarkan dan diikuti oleh rakyatnya, perlu dilihat secara mendasar sebagai hal yang terkait erat dengan keterhubungan yang berarti antara rakyat dan pemerintah, yang kemudian mengejawantah dalam keterhubungan berarti dalam antarwarga. Kepercayaan dan kepatuhan terhadap pihak yang dipercaya hanyalah terjadi dalam keterhubungan yang bermakna. Hal itu, haruslah menjadi pilar peradaban sehingga berwibawa di hadapan semua stake holder dan negara (baik di dalam maupun di luar negara).
Selamat berkontestasi program kerja menuju bangsa yang lebih bermartabat !.
*Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta