Ceknricek.com — Dengan berbagai cara, pemerintah dan polisi berupaya mencegah unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di berbagai kota. Pada tanggal 30 September 2019, di tengah ribuan demonstran, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Sultan Rivandi, sudah menduga ada indikasi penggembosan. Jumlah pengunjuk rasa berjaket kampus bakal berkurang.
Di Sumatera Utara, Kapolda Inspektur Jenderal Agus Andrianto menebar ancaman kepada pelajar jika tertangkap. Mereka tidak akan diberi surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) yang biasa dibutuhkan saat hendak melamar kerja. Sementara di Yogyakarta, polisi mendatangi sejumlah sekolah dan merekam pernyataan pelajar yang menolak ikut demonstrasi bertajuk “Gejayan Memanggil Jilid 2″ yang digelar tanggal 30 September itu — (https://majalah.tempo.co/read/158524/gembos-di-ujung-paripurna?hidden=login).
Meski demikian, Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dino Ardiansyah tetap mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang KPK. Dino menyatakan mahasiswa memberi waktu bagi Jokowi mengeluarkan Perppu KPK sampai 14 Oktober. Atau mereka akan turun ke jalan lagi — (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191003205420-32-436599/mahasiswa-desak-jokowi-teken-perppu-kpk-sebelum-14-oktober).
Survei LSI
Hal yang menarik, LSI (Lembaga Survei Indonesia) melakukan jajak pendapat terhadap sejumlah responden tanggal 4-5 Oktober 2019 kemarin. Karena kajian lembaga ini memang sering mendekati kebenaran, temuan mereka tentu layak disimak.
Pertama soal pemahaman respondennya. Bahwa yang berlangsung kemarin adalah demonstrasi mahasiswa. Hampir 60 persen mengatakan demikian. Lalu, sekitar 90% di antara responden yang meyakini mahasiswa yang melalukan demo kemarin, juga memaklumi tujuan demonstrasinya. Yakni sebagai upaya menentang Revisi UU KPK. Ketika ditanya lebih jauh, sekitar 70% menganggap Revisi UU KPK sebagai bagian upaya pelemahan.
Baca Juga: Soal Perpu dan Indikasi Penelikungan Amanah Presiden
Jadi, jumlah responden LSI yang percaya demonstrasi kemarin adalah gerakan mahasiswa — lalu paham bahwa agenda yang diusungnya adalah untuk menentang Revisi UU KPK; sehingga konsekuensinya akan melemahkan institusi anti rasuah itu — mencapai 37 persennya.
Hal itu bukan berarti reponden yang tak percaya demonstrasi kemarin digerakkan mahasiwa, pasti menyetujui Revisi UU KPK dan menganggapkan sebagai penguatan. Mungkin saja diantara responden itu, ada yang menganggap Revisi UU KPK sebagai upaya pelemahan.
Sementara itu, jika melihat jumlah suara responden yang menyetujui Presiden mengeluarkan Perpu — dari kelompok yang mengatakan demonstrasi kemarin adalah mahasiswa dan memahami tujuannya untuk menentang Revisi UU KPK — porsinya malah lebih besar, yakni hampir 40 persen.
Dinamis
Setelah Joko Widodo memberi sinyalemen untuk mempertimbangkan Perpu — berdasarkan keterangan yang dimuat majalah Tempo edisi 5 Oktober 2019, sebetulnya bukan karena desakan para tokoh sepuh, tapi karena Joko Widodo sendiri terkejut ada pasal yang berbunyi tak seperti yang diinginkannya, misalnya peran post audit Dewan Pengawas — peta kekuatan politik memang bergerak sangat dinamis.
Sejumlah partai sempat menyatakan akan mendukung langkah Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu. Diawail oleh Golkar (85 kursi di DPR). Kemudian disusul Gerindra (78), PKS (50), dan PAN (44) yang pada Pemilihan Presiden kemarin, justru berada pada posisi berseberangan. Jumlah kursi yang dikuasai keempat partai tersebut memang belum mencapai setengahnya.
Partai yang justru paling ngotot mendesak Jokowi agar tidak mengeluarkan Perpu, adalah PDIP, pendukungnya saat pencalonan Presiden kemarin yang justru menangguk untung karena suara partainya ikut terdongkrak.
“Moment of Truth”
Jika mengacu pada hasil survei LSI di atas, angka 40 persen responden tersebut — yang setuju kalau demonstasi kemarin merupakan gerakan mahasiswa, serta menganggap revisi UU KPK akan melemahkan sehingga berharap Presiden mengeluarkan Perppu — mestinya tak dianggap enteng.
Siapapun — baik yang kemarin memilih Joko Widodo maupun Prabowo Subianto — kemungkinan besar setuju dan memaklumi jika posisi Presiden hari ini sungguh-sungguh terjepit.
Jadi sebetulnya, saat ini merupakan “moment of truth” Joko Widodo tentang sikap dan warna sejatinya.
Sebagai Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat — sebelum UUD 1945 kita diamandemen dengan ketentuan yang bisa mencabut hak istimewa yang dimilikinya hari ini — Joko Widodo mustahil dilengserkan kecuali melakukan pelanggaran berat dan tindak pidana.
Baca Juga: Siklus Perubahan Politik 20 Tahunan: Adu kuat Jokowi Vs Mahasiswa
Hal yang mungkin membuatnya galau adalah soal dukungan DPR nanti terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Tapi sesungguhnya, sejumlah partai selain PDIP yang hari ini ragu atau belum menentukan sikap tegas, menurut hemat saya, akan segera beralih mendukungnya. Meninggalkan partai yang dipimpin Megawati sendirian. Atau paling banter ditemani oleh PKB.
Bagaimanapun, semua partai sesungguhnya sedang berhitung cermat soal perebutan kekuasaan tahun 2024 nanti. Catatan “sejarah” tentang sikap dan perlakuan PDIP (khususnya Megawati) terhadap sejumlah tokoh utama partai yang lain — Demokrat dan Nasdem misalnya — tentu layak mereka pertimbangkan sebagai cerminan tentang apa yang akan berlangsung di kemudian hari.
Catatan sejarah tahun 2004 yang menimpa partai berlambang Banteng bermoncong putih itu, masih melekat di benak kita.
Susunan Kabinet
Selain urusan jadi atau tidak mengeluarkan Perpu, isu lain yang tak kalah hangat dalam beberapa hari ini, menyangkut soal susunan kabinet yang akan mendukung pemerintahan Joko Widodo para periode 2019-2024 mendatang. Mungkin karena mereka yang sedang kebakaran jenggot, melihat arah pergerakan Joko Widodo yang cenderung mengeluarkan Perppu. Maka tiba-tiba berembus wacana agar pertimbangan Perpu ditunda Presiden hingga usai pelantikan yang akan diselenggarakan tanggal 20 Oktober yang akan datang. Kita pun maklum, setelah pelantikan Joko Widodo memang harus segera mengeluarkan daftar nama-nama yang akan mengisi kabinet beliau.
Peta kabinet Joko Widodo sesungguhnya bisa berbalik 180 derajat jika beliau mengeluarkan Perppu sekarang. Hal tersebut juga memudahkan posisi tawar beliau untuk mengajak serta kader-kader parpol yang duduk di kabinetnya. Tentu saja, partai-partai pendukung Perppu yang paling pantas diakomodasi. Partai yang selama ini “tercium tapi tak terlihat nyata” menyandera dan menelikungnya, sebaiknya ditinggalkan saja.

Hal tersebut kemungkinan besar akan menggoyahkan “iman” partai-partai yang hari ini belum tegas bersikap. Misalnya Nasdem atau Demokrat. Jika salah satu saja yang bergabung maka Joko Widodo sudah memiliki posisi tawar di lembaga legislatif yang hari ini terlihat semakin konyol itu.
Maka saya hanya berani membayangkan, ketulusan dan keikhlasan Joko Widodo untuk mengakui kekhilafannya kemarin, membulatkan tekadnya untuk mengeluarkan Perppu segera. Lalu menyusun kabinet dengan lebih mudah. Sebab partai-partai pendukungnya sudah jelas.
Baca Juga: Pernyataan Lengkap Jokowi Terkait Demo Mahasiswa dan Perppu UU KPK
Demonstrasi yang menyita energi dan sangat tidak produktif tak perlu terjadi. Kecuali oleh para pendukung revisi UU KPK itu sendiri. Hal yang menyebabkan kita semua, termasuk Presiden Joko Widodo, mudah memetakan siapa lawan dan siapa kawan sebenarnya. Dan saya yakin jumlahnya segelintir dan pesertanya lucu-lucu. Seperti terekam dalam video yang beredar saat demonstrasi mendukung pilihan Pansel maupun RUU di depan kantor KPK kemarin.
Terakhir tapi tak kalah penting, Revolusi Mental yang tertunda selama periode 2014-2019 kemarin, mungkin dapat dikebut implementasinya pada periode kedua ini. Sekaligus menyambut Revolusi Industri 4.0 dengan jauh lebih sungguh-sungguh sehingga tak sekedar wacana kosmetika politik semata.
Sekali lagi, inilah “moment of truth” Joko Widodo yang akan dipertontonkan dan sekaligus dikenang Indonesia sepanjang masa.
Kata Almarhum BJ Habibie sebagaimana dikutip sendiri oleh Joko Widodo di TMP Kalibata saat memakamkannya kemarin, “Jangan terlalu banyak diskusi. Jangan cengeng. Tetapi terjunkan diri ke dalam proses nilai tambah. Secara konsisten. Pasti Indonesia akan terkemuka di Asia Tenggara dan di dunia”.
Kutipan itu diucapkan hanya beberapa minggu yang lalu. Belum genap 40 hari setelah kepergian sosok yang dikagumi Joko Widodo, Indonesia, dan bangsa-bangsa dunia lainnya. Karena beliau meletakkan dasar-dasar demokratisasi yang tak pernah kita bayangkan pada era kekuasaan sebelumnya.
Hal yang hari ini justru sedang terancam.
Ayo Pak Presiden.
Jangan terlalu banyak diskusi.
Jangan cengeng.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.