Ceknricek.com — Zaman dulu alias jadul, pada saat semua media membuat berita baik, maka berita buruk akan dianggap sebagai good news. Era media memberitakan baik-baik saja itu disebut era pers pembangunan. Pers pembangunan lahir setelah era pers revolusioner/bawah tanah, yaitu pers yang diterbitkan secara sembunyi-sembunyi, dimaksudkan untuk menyemangati perjuangan mencapai kemerdekaan. Setelah merdeka, pers revolusioner bertransformasi menjadi pers pembangunan, membantu pemerintahan yang baru untuk mengisi kemerdekaan.
Di era inilah pers suka memberitakan hasil-hasil pembangunan. Semuanya baik-baik saja. Kita masih ingat 28 tahun TVRI isinya hanya peletakan batu pertama dan pengguntingan pita. Tak ada berita tanggul jebol, jembatan ambruk atau sekolah roboh. Bahkan media punya istilah eufimisme yang popular di masa Orba: tidak ada desa miskin, yang ada desa tertinggal; tak ada busung lapar, yang ada kurang gizi.
Saking walehnya (maaf campur Bahasa Jawa) dengan berita-berita pembangunan yang serba baik-baik saja, barang siapa memeroleh berita buruk akan dielu-elukan bagai pahlawan. Saya pernah jadi assign editor merangkap produser berita merangkap asisten manager pemberitaan di SCTV (yang juga memasok berita ke RCTI-Seputar Indonesia), bolak balik dipanggil pimpinan karena anak buahku bandel-bandel, beritanya bad news melulu.
Baca juga: What is The People’s Right to Know?
Kasus tanah untuk pembangunan CitraLand, anak buahku Troy Pantau dan kameramannya dikejar-kejar penduduk bawa parang. Lapor ke aku dengan ngos-ngosan tapi tanpa ekspresi ketakutan, malah bangga. Kasus Marsinah, liputan anak buahku Bambang Purwadi membuat kami dipanggil Kodim. Bad news itu sesuatu banget. Peliputnya nggak wedi blas, merasa hebat, membawa angin perubahan.
Sejak era reformasi, dimana belenggu sudah dilepas, kebebasan pers didapat, pers jadi luar biasa bebas kayak kuda liar. Yang tadinya berfungsi watch dog (anjing menggonggong, anjing penjaga), kini jadi wild dog bahkan mad dog. Di era reformasi awal (sebelum sampai ke era Jokowi), semua berita adalah bad news. Semua presiden (sekali lagi sebelum Jokowi) jadi bulan-bulanan pers. Lalu saya dan kawan-kawan mulai mempromosikan adagium “Good news is also news”. Kalau ada berita baik, itu berita juga lho.
Nah, saat ini sebetulnya (dua era Jokowi) media sangat pro-pemerintahan sehingga fungsi pilar keempatnya agak terlupakan. Berita-beritanya seperti kembali ke zaman Orba, everyting is fine, semua baik-baik saja. Namun berbeda dengan semangat wartawan Orba yang muak dengan berita baik dan antusias cari berita buruk sampai bertaruh nyawa, pers masa kini tidak tampak mau repot cari kabar buruk. Percaya saja pada kabar baik versi pemerintah.
Aku memang menganjurkan good news is also news, tapi bukan berita presiden bagi-bagi sembako di jalanan atau menteri sosial door to door bawa bantuan ke kampung-kampung. Di tengah berita menyedihkan pandemic Corona, utang bertumpuk, pengangguran massal, inginku ada the real good news. Misalnya: tarif listrik turun, iuran BPJS batal naik, harga BBM turun, Gubernur Anies sepakat dengan Menteri Kesehatan dan Perhubungan, bandara dan terminal dibuka untuk pemudik bukan untuk pendatang asing. Itulah kabar baik yang kami tunggu.
*Sirikit Syah, Dosen dan Pengamat Media
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini