Ceknricek.com–Baru saja kita melihat dengan kasat mata bahwa betapa common sense kita sebagai bangsa terasa tercederai oleh perbuatan tidak etis oleh seorang ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang ikut menyidangkan bahkan memimpin sidang yang keputusannya melibatkan anggota keluarganya.
Oleh karenanya seluruh komponen bangsa ini merasa lega ketika Majelis Kehormatan MK menjatuhkan sanksi pencopotan ketua MK, bahkan sebagian ada yang berharap sanksi itu seharusnya sampai ke pemberhentian sebagai hakim MK.
Tontonan lain yang juga mengoyak rasa keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlihatkan oleh seorang ketua KPK yang secara pribadi bertemu dengan seorang tersangka Tindak Pidana Korupsi. Selain merupakan pelanggaran etika yang berat, ini juga pelanggaran atas disiplin profesi selaku ketua KPK.
Etika profesi adalah ketentuan tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk dalam pelaksanaan profesi, dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral. Pelanggaran etika belum tentu melanggar peraturan tata kelola atau disiplin pada sebuah Lembaga Tinggi Negara, dan jelas bukan sebuah pelanggaran hukum sehingga tidak bisa dipidana.
Pelanggaran etika dan disiplin profesi ini selanjutnya akan berpotensi menjadi wahana terjadinya tindak pidana/ pelanggaran hukum. Pertemuan pribadi antara seorang penyidik dengan seorang calon tersangka tentu akan memudahkan terjadinya transaksi illegal seperti suap dan pemerasan.
Pembiaran atas pelanggaran etika, pada umumnya akan berlanjut menjadi pelanggaran disiplin profesi sampai ke pelanggaran hukum. Dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, pembiaran atas pelanggaran etika akan merusak sendi-sendi kehidupan kita sebagai bangsa dan ujungnya akan mengoyak rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula pembiaran atas praktek Kedokteran abal-abal yang tidak berbasis bukti sains.
Pentingnya etika dalam penyelenggaraan praktik kedokteran dan riset obat pada manusia
Pelayanan kesehatan modern telah memunculkan banyak dilema etika yang komplek dengan banyak sisi pandang. Praktek kedokteran harus dilakukan diatas landasan etika profesi yang telah disepakati agar para dokter memiliki kepekaan hati dalam menemukan solusi etik atas dilema-dilema tersebut. Salah satu tugas pokok terpenting sebuah Organisasi Profesi (OP) adalah mengawal dan menjaga penerapan etika profesi ini secara terus menerus.
Seorang dokter hanya bisa memulai kerja profesi sebagai praktisi medis setelah mengucap sumpah. Sumpah Dokter adalah sekumpulan janji yang diucapkan atas nama Tuhan (“Demi Allah”, bagi yang beragama Islam) bahwa ybs. akan selalu berpedoman pada etika dan kebenaran dalam menjalankan praktik kedokteran. Isi sumpah dokter ini diambil dari Deklarasi Jenewa tahun 1984 dari World Medical Association yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippocrates (https://id.m.wikipedia.org), dan secara resmi memiliki kedudukan hukum dalam PP No.26 tahun 1960. Isi dari sumpah dokter ini sudah dipakai di seluruh dunia kedokteran selama ratusan tahun sebagai pedoman nilai yang amat luhur.
Isi sumpah dokter antara lain “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan (konsepsi); dan saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam”.
Begitu pentingnya perlindungan terhadap kemanusiaan ini sehingga setiap dokter wajib/harus memiliki kesadaran dan kerendahan hati untuk bertanya kepada diri sendiri “apakah yang saya lakukan benar-benar akan menolong pasien?”. Pertanyaan ini menjadi prinsip dasar dalam upaya pengobatan dan lpeayanan kesehatan, yaitu ‘First, Do No Harm’. Sir Karl Raimund Popper (1902-1994), seorang Filsuf Inggris-Austria, tokoh yang merintis penerapan Prosedur Baku Sains, menyampaikan ‘quote’ nya yang terkenal: “……If we respect truth, we must search for it by persistently searching for our errors……”
Semua ketentuan dalam etika profesi dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari praktek dokter yang tidak beretika, yang memanfaatkan ketidaktahuan dan kepercayaan pasien demi keuntungan materi semata (melakukan operasi pada kasus yang sebenarnya tidak perlu dioperasi, atau meresepkan ‘obat’ yang seolah bisa mempercepat kesembuhan, bahkan mempraktekkan tindakan/ cara pengobatan yang masih uji coba, belum berdasarkan evidence based medicine (EBM), semata hanya berdasarkan testimoni tokoh/ pejabat.
Dalam sains ada prosedur baku dan metodologi yang empiris, nalar, dan teruji. Terkait riset dan penelitian, data dan prosedur harus bersifat terbuka dan transparan, agar dapat diverifikasi oleh komunitas ilmuwan lain yang independen, melalui publikasi yang ‘peer reviewed’ (telaah oleh sejawat) tanpa ada potensi konflik kepentingan dalam penilaiannya. Musuh Sains yang terselubung dan berbahaya adalah orang-orang yang mengaku melakukan Riset Sains, tetapi memanipulasi data dan hasil penelitian, menyembunyikan hasil analisa yang sejak semula memang tidak transparan. Mereka selanjutnya akan menggalang dukungan dari para pejabat maupun tokoh masyarakat yang juga Anti Sains.
Pengembangan Obat (termasuk teknologi pengobatan) dan vaksin adalah proses yang memiliki regulasi paling ketat di dunia, karena berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan umat manusia. Demikian juga penggunaan Teknik Pencitraan pembuluh Darah Otak atau DSA (Digital Subtraction Angiography) yang sudah biasa dikerjakan oleh banyak dokter sebagai tindakan diagnostik termasuk pada pasien Stroke, yang oleh seorang Terawan dijadikan sarana pengobatan/ terapi stroke (dan beberapa penyakit lainnya), bahkan pencegahan stroke, dengan istilah Brain Spa/ Brainwash/ Cuci Otak
Etika dan Disiplin Ilmu Kedokteran pada Tindakan Cuci Otak/ Brainwash
DSA yang dikerjakan oleh Terawan bukan sebagai sarana diagnostik, melainkan sarana terapi Stroke, terutama penyumbatan pembuluh darah otak. Bahkan DSA ini juga dilakukan sebagai sarana pencegahan stroke pada orang sehat, yang oleh Terawan disebut sebagai Brain Spa atau Brainwash (BW). Terawan menambahkan pemberian Heparin kedalam pembuluh darah (Intra Arterial Heparin Flushing atau IAHF) dengan maksud untuk melarutkan/ meluruhkan bekuan darah yang telah menyumbat pembuluh darah bahkan jauh sebelum dilakukannya tindakan BW.
Penggunaan Teknik DSA sebagai prosedur terapi Stroke, terikat erat dengan Etika Kedokteran, serta harus mengikuti Prosedur Baku Sains, yang regulasinya secara rinci termaktub dalam sebuah konsensus level dunia, yang sudah disepakati oleh World Medical Association atau WMA. Konsensus ini disebut Deklarasi Helsinki tentang Ethical Principles for Medical Research involving Human Subject (https://wma-declaration-of-helsinki-ethical-priciples-for-medical-research). Jadi penggunaan DSA sebagai sarana ‘Cuci Otak’ atau BW harus mengikuti tahapan-tahapan mulai Uji Praklinis (pada hewan coba di laboratorium) dan Uji Klinis Fase I, Fase II, dan Fase III, sebelum diperbolehkan untuk diaplikasikan sebagai pengobatan pada masyarakat manusia.
Tidak ada satupun negara di dunia ini yang mengembangkan tindakan DSA sebagai sarana terapetik bahkan preventif untuk Stroke. Masyarakat harus tahu bahwa Heparin bukan zat yang bisa melarutkan bekuan darah yang sudah terbentuk, apalagi yang sudah lama (Machfoed M et al. 2019; BAOJ Neurology; 13). Fakta yang ada, tanpa didasari atas data hasil riset maupun publikasi ilmiah, apalagi uji klinis fase I, II, III, Terawan telah melakukan tindakan BW ini sejak tahun 2011, dan pada tahun 2016 dia mengklaim telah melakukan BW pada lebih dari 40.000 pasien. Dan yang lebih mengejutkan, kalaupun ini masih bisa dianggap sebagai Riset Berbasis Pelayanan ( belum menjadi prosedur pengobatan baku ), seluruh subjek penelitian seharusnya dianggap relawan yang harus mendapat kompensasi, bukan malah diharuskan membayar keikutsertaannya dalam riset/ percobaan pengobatan ini sekitar 30 juta rupiah per orang.
Pada tanggal 4 Oktober 2011, RSCM membentuk Tim yang diketuai oleh Prof. Teguh Ranakusuma, Sp S (K) yang meminta keterangan pada Terawan tentang tindakan BW nya, dan ybs menolak untuk memberikan keterangan. Kontroversi terkait tindakan BW ini terus menyeruak, sehingga Menteri Kesehatan saat itu, Prof Nila Farid Moeloek, meminta Tim HTA (Health Technology Assessment) yang diketuai oleh Prof. Sudigdo Sastroasmoro, dan Satgas Evaluasi metoda pengobatan dr Terawan, yang diketuai oleh Prof. Sukman Tulus Putra, untuk melakukan telaah/ kajian terhadap metoda ‘pengobatan stroke’ Terawan. Berdasarkan atas semua masukan dari Tim HTA dan Satgas ini akhirnya Menkes Prof Nila Moeloek memutuskan untuk memanggil Terawan pd tanggal 10 September 2018, dan meminta Terawan untuk menghentikan dan tidak lagi melanjutkan BW sebagai pengobatan stroke yang kontroversial itu (https://ceknricek.com/a/pemerintah-hentikan-metode-dsa-cuci-otak/1398)
Pembiaran atas Pelanggaran Etika dan Disiplin Ilmu Kedokteran, siapa yang jadi korban?
Sebagaimana kita ketahui tindakan BW atau IAHF sebagai terapi dan pencegahan stroke ini masih terus berlangsung di depan mata, bahkan di rumah sakit besar dan ternama. Secara diam-diam maupun terang-terangan hal ini juga dilakukan di beberapa RS lain, yang terkuak ketika ada tokoh masyarakat yang jadi korban. Cuci Otak/ Brainwash/ Brainspa ini menjadi diminati oleh banyak pejabat dan tokoh masyarakat bukan karena bukti-bukti ilmiah empiris, melainkan karena cerita/ testimoni/ pengalaman pribadi dari tokoh-tokoh seperti Dahlan Iskan, Mahfud MD, dan Yusril Ihza. Jadi, masyarakat/ rakyat kita sengaja dididik untuk percaya bukan pada sains, melainkan pada testimoni ala klinik Tong Fang. Kalau bicara tentang Testimony Based Medicine, Terawan dengan 40.000 pasien, ‘rating ‘nya masih jauh di bawah Ponari yang dengan batu akik nya bisa menyembuhkan lebih dari 45.000 pasien.
Akankah kita sebagai manusia dan sebagai bangsa yang masih memiliki akal sehat ini akan berdiam diri di saat banyak petinggi negeri, khususnya di DPR, yang terus membodohi rakyat banyak dengan Testimony Based Medicine. Lawan dari Testimony Based Medicine adalah Evidence Based Medicine (EBM) yang menjadi landasan pokok bekerjanya seorang dokter dan dipakai di seluruh dunia kedokteran dan sains/ ilmu pengetahuan. Seorang dokter disebut profesional apabila menerapkan EBM, tanpa EBM maka dokter akan sama dengan dukun.
Kepatuhan dalam menjalankan EBM inilah yang menjadi landasan Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK-IDI) untuk menjatuhkan sanksi Etik kepada Terawan, bukan karena alasan kebencian kelompok atau lainnya. Salah satu tugas pokok dari OP adalah ‘Guiding the Profession, Protecting the People”. Sebagai komunitas moral, tindakan MKEK-IDI yang terus mengawal dan tidak membiarkan praktek kedokteran yang tidak berbasis EBM seperti Cuci Otak atau Brainwash, adalah sebuah misi suci kemanusiaan untuk menjaga dan melindungi masyarakat luas.
Pembiaran terhadap pelanggaran Etika dan Disiplin Kedokteran (praktek DSA sebagai terapi dan pencegahan stroke yang tidak berbasis EBM) oleh otoritas kesehatan (Kemkes) adalah bentuk lain dari Pembodohan Masyarakat secara terselubung. Hal ini akan sama berbahayanya manakala kita membiarkan pelanggaran etika dan disiplin profesi yang dilakukan oleh seorang ketua MK maupun seorang ketua KPK.
Pembodohan secara masal ini menjadi semakin sempurna tatkala masyarakat justru terbeli oleh narasi dan jargon Nasionalisme dan Karya Anak Bangsa yang diteriakkan oleh Terawan dan kawan-kawan. Jadilah kubu yang menolak ‘inovasi’ Terawan (BPOM, Prof Nila Moeloek dengan tim HTA-nya, IDI, para ilmuwan dan masyarakat yang mengkritik) dianggap sebagai kelompok yang tidak cinta tanah air dan menghalangi kemajuan anak bangsa. Sempurnalah paradox yang dibangun oleh Terawan dan para pendukungnya yang juga anti sains dalam upaya pembodohan massal bagi bangsa ini.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro