Ceknricek.com–Dewan Kotapraja ibukota Negara Bagian Tasmania, Hobart, Australia, memutuskan untuk membongkar patung yang didirikan dalam tahun 1889, dan yang selama ini menghiasi Alun-Alun Franklin di pusat kota tersebut.
Sebabnya?
Karena itu adalah patung William Crowther, orang yang pernah menjadi Premier alias Menteri Besar sebanding Gubernur di Indonesia, dari Negara Bagian Tasmania, Australia.
Dan William Crowther dianggap pernah menyakiti hati pribumi Australia – Kaum Aborijin – karena dia sempat melakukan mutilasi mayat seorang pribumi Australia, khusus bagian kepalanya, untuk dikirim ke Himpunan Ahli Bedah di London, Inggris. Untuk menutupi perbuatan durjananya itu William Crowther menggantikan kepala mayat yang disembelihnya itu dengan kepala dari mayat seorang pribumi lainnya.
William Crowther kebetulan adalah seorang ahli bedah yang berkecimpung dalam kancah politik dan berhasil menjadi Menteri Besar alias kepala daerah Tasmania. Patungnya itu dibangun Ketika Australia, termasuk Tasmania, masih merupakan bagian dari Inggris.
Itulah untuk pertama kali di Australia sebuah tugu akan dibongkar berkat tekanan kalangan pribumi di Australia. Dan diyakini banyak kalangan itu bukanlah untuk terakhir kalinya hal seperti itu akan dilakukan di benua Australia.
Diduga kepala mayat pribumi itu kemudian dibawa oleh Putera William Crowther ketika ia bertolak ke London untuk meneruskan pendidikannya.
Segala ini secara kebetulan terjadi hampir bersamaan dengan dikenakannya seragam daerah oleh Presiden Joko Widodo ketika ikut merayakan ulang tahun proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 2023 baru lalu.
Pakaian adat itu (menyontoh busana Amangkurat I?) dinilai kurang serasi dan layak, karena menurut sejarawan ketika masih berkuasa Amangkurat I pernah menyuruh bawahannya membantai sampai 6 ribu alim ulama di Mataram dalam jangka waktu hanya 30 menit.
Sebagaimana dilaporkan sebuah media di Indonesia menyusul kasus menghebohkan itu:
“Sedemikian banyak cerita tentang kekejiannya membuat orang wajar keberatan bila Presiden Jokowi pada 17 Agustus lalu dimaksudkan mengenakan busana Amangkurat I. Bila demikian adanya, jelas Istana harus mencari tahu siapa yang memprakarsai, atau punya ide seperti itu. Untuk dihukum? Mungkin terlalu keras untuk zaman ini. Tapi setidaknya orang itu harus dipaksa belajar lagi sejarah, adat istiadat, dan aneka rupa agar bisa lebih “bener” dalam menjalankan tugas.”
Jadi, dalam hal ini ada yang menyimpulkan bahwa kesilapan itu bukan semata-mata merupakan “dosa” Presiden Joko Widodo, melainkan penasihat yang menyarankan agar Presiden Joko Widodo mengenakan busana itu.
Mungkin karena ini adalah “tahun politik” maka banyak kalangan yang lebih mudah dan cenderung terpancing “baper”. Mungkin. Apapun jiwa 6 ribu alim ulama bukanlah perkara sepele.
Dalam Al-Qur’an, ada penggalan ayat yang berarti:
“Bahwa sesungguhnya barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena hukuman pembunuhan, atau karena berbuat bencana di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al Qur’an 5:32 Terjemah Indonesia Karya TNI Angkatan Darat cetakan ke-xx).
Ketika baru setahun menjadi Presiden RI Joko Widodo juga pernah berbuat kekeliruan Ketika menyampaikan sambutan dalam rangka ulang tahun hari lahir Pancasila 1 Juni 2015.
Presiden Joko Widodo waktu itu menghadiri perayaan tersebut di Blitar, tempat Bung Karno dimakamkan.
Ketika itu, Presiden Joko Widodo membacakan pidato yang telah disiapkan oleh pembantunya untuk peristiwa tersebut:
“Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran proklamator kita, bapak bangsa kita, penggali Pancasila, Bung Karno, hati saya selalu bergetar.”
Yang benar adalah bahwa Bung Karno dilahirkan di Surabaya dan diberi nama Koesno Sosrodihardjo. Kesalahan itu kemudian diakui oleh penulis pidato Presiden Joko Widodo, Sukardi Rinakit, sebagai kesilapannya, dan bahwa Presiden hanya sekadar membacakannya.
Berlakukah di sini peringatan orang tua-tua kita bahwa “tangan menyencang bahu memikul?” Wallahu a’lam.#