*Oleh Zainal Bintang
Ceknricek.com – Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif mengumumkan mundur dari jabatannya. Kabar itu ia umumkan melalui sebuah tulisan panjang yang juga diunggah ke akun media sosial miliknya ‘Yudi Latif Dua’, hari Jumat (08/06/18). Dalam tulisan tersebut, Yudi membeberkan alasannya pamit dari lembaga yang dahulu bernama Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) termasuk juga kinerjanya yang cuma berumur satu tahun. Akibatnya upaya pembinaan Pancasila terlanda kekacauan.
Salah satu sumber kekacauan itu lantaran berita gaji dan hak keuangan untuk Megawati terangkat ke permukaan publik.
Adalah Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang memantik kegaduhan. Megawati sebagai ketua Dewan Pengarah bersama delapan anggota Dewan Pengarah lainnya menerima angka dikisaran di atas 100 juta rupiah perbulan. Lebih tinggi dari yang diterima presiden dan wakilnya. Padahal, konon gaji dan hak keuangan itu belum pernah cair.
Sayang sekali, kebijakan Jokowi untuk menghidupkan kembali keperkasaan Pancasila dicurigai. Dianggap sebagai upaya pemerintah untuk memonopoli tafsir tentang Pancasila. Dan pada gilirannya BPIP ditengarai akan dijadikan sebagai alat pemukul kepada mereka yang berseberangan. Sesuai sejarahnya, monopoli negara atas tafsir Pancasila pernah dicoba dan gagal di era Orla (Orde Lama) presiden Soekarno dan bernasib buruk di jaman Orba (Orde Baru) presiden Soeharto. Kedua mantan presiden kita itu diturunkan oleh gerakan rakyat justru karena dianggap tidak Pancasilais.
Membodohi Orang Miskin
Berbicara tentang istilah gaji dan hak keuangan yang mengundang kecaman publik itu, menurut Prof. Salim Haji Said, itu adalah jenis eufemisme. Penghalusan suatu tindakan. “Suatu istilah untuk membodohi orang miskin, karena negara tidak punya duit banyak untuk memuaskan semua orang”, kata pengajar Universitas Pertahanan itu. Sementara itu ada juga yang menyebutkan eufemisme adalah sopan santun yang menipu.
Lalu, mengapa Yudi Latif nekat mundur di tengah maraknya orang – orang yang tergila – gila ingin masuk dalam lingkaran Istana?
Sejujurnya keinginan Megawati mau merawat Pancasila sepanjang masa sepatutnya dihormati. Namun karena posisinya sebagai Ketua Dewan Pengarah menjadi tokoh sentral dengan kewenangan yang sangat besar, malah sangat dominan, yang telah menempatkan posisi Yudi Latif – sang penggagas – sebagai “bawahan” itu, kontan saja masyarakat menganggapnya sebagai tindakan yang sangat menghina akal sehat alias mentang – mentang.
Megawati adalah ketua umum parpol besar yang punya agenda politik yang benderang di tahun politik ini. Maka wajar jika masyarakatpun turut cemas akan nasib dan masa depan BPIP di tangan dia.
Alat Penggebuk
Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun, mengkhawatirkan BPIP atas nama Pancasila akan menjadi alat penggebuk negara kepada mereka yang berbeda pendapat. Refly khawatir pengalaman sejarah Pancasila yang disalah gunakan di era Orla dan Orba akan terulang. “Pancasila capture by the state”. Pancasila dibajak oleh negara dan dijadikan alat pemukul bagi yang tidak setuju dengan kebijakan negara”, ujar Refli.
Yang porak poranda sekarang ini adalah citra BPIP. Menuai banyak kecaman.
Sungguh sangat gampang jika hanya sekedar mau menunjuk pengganti Yudi Latif. Cukup lewat selembar Perpres dalam lima menit selesai barang itu. Namun tentunya untuk sosok yang direstui Jokowi plus ketua Dewan Pengarah.
Potret buram atas wajah BPIP telah menguasai jiwa dan fikiran masyarakat. Efek paranoia dari pengunduran diri Yudi Latif tidak mudah dipulihkan. Meskipun dengan ratusan Perpres sekalipun. Yudi Latif effect telah menciptakan benturan keras dan menimbulkan luka memar di sekujur tubuh BPIP. Yang dipertanyakan sebagian besar masyarakat apakah memang niatnya jujur untuk kemaslahatan bangsa yang melandasi pembentukan BPIP itu. Karena konsekwensi logisnya, dipertanyakan juga kejujuran pemerintah sebagai operatornya.
Permasaalahanya, ada indikasi saat ini sebagian masyarakat mulai sering – sering meragukan kejujuran pemerintah. Tentunya gejala ini harus segera dijawab oleh pemerintah dengan meningkatkan resonansi simpatik ke ruang publik. Pemerintah perlu menghindari bentuk komunikasi ala boxer yang malah jadi bumerang dan blunder bagi pemerintah itu sendiri.
Bentuknya, kurangi penugasan juru bicara pemerintah yang bertutur dengan “otot” bukan dengan otak. Karena hal semacam itu malah memperluas wilayah pembenci pemerintah. Rakyat sangat muak kepada pernyataan bombastis yang hiperbolik.
Seperti menyebutkan presiden adalah wakil Tuhan di bumi, ucapan “sikat langsung” dan kata – kata “teror dibalas dengan teror”.
Menghadapi intensitas dan instabilitas politik sekarang ini yang sangat dinamis – bahkan terkadang seperti angin puting beliung – sesungguhnya memang banyak hal yang memerlukan pengawalan akal sehat.
Pancasila itu adalah mesin besar perawat akal sehat bangsa. Pancasila harus dijaga bersama penjaganya sekaligus oleh seluruh stakeholder bangsa ini, supaya selalu berada di jalan yang benar.
BPIP : Apa Pentingnya Buat Kita?, begitu judul topik ILC di TV One.
Zainal Bintang, wartawan senior dan anggota dewan pakar Partai Golkar